Friday, March 6, 2009

AGAMA ISLAM

PENGENALAN SINGKAT AGAMA ISLAM*

Stanley R. Rambitan


Kata “Islam” berakar pada tiga huruf yaitu s l m, sama dengan huruf yang membentuk kata Salam, syalom dan selamat, yang berarti damai, sejahtera atau sentosa. Kata Islam tertulis sebanyak 8 kali di dalam al-Qur'an, yaitu surah Ali Imran/3: 19, 85; al-An'am/6 : 125; al-Zumar/39 : 22; al-Shaff/61 : 7; al-Maidah/5 : 4, al-Hujarat/49 : 17; dan al-Taubah/9 : 25. Ia menunjuk kepada dua pengertian. Pertama, eksklusif, sebagai institusi atau agama (din), yang dipahami sebagai jalan atau filsafat hidup yang benar. Kedua, inklusif, atau arti esensialnya, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, yang diwujudnyatakan dalam sikap tunduk dan patuh kepada hukum Allah yang dibawa oleh nabi Muhammad. Dengan sikap itu maka orang Islam akan memperoleh damai sejahtera. (Dari sini muncul pemahaman bahwa orang yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah disebut orang Islam atau Muslim). Dari dua pengertian itu, Islam secara utuh dipahami sebagai jalan hidup yang mendekatkan diri manusia pada Allah dan yang membawa kepada damai sejahtera atau keselamatan. Islam inilah yang dibawa oleh nabi Muhammad.

Nabi Muhammad lahir di kota Mekkah pada bulan April tahun 570 (tahun Gajah). Orang tuanya berasal dari suku Quraish, suku yang berkuasa di sebagian besar kota Mekah dan sekitarnya. Nama Muhammad berasal dari kata Ahmad yang berarti orang yang dijunjung tinggi. Sejak kecil Muhammad sudah menjadi yatim-piatu dan dipelihara oleh kakek, dan lalu oleh pamannya yang adalah seorang pedagang. Ketika remaja/pemuda, ia bekerja pada seorang pedagang kaya, seorang janda, yaitu Khadijah. Pada usia ke 25 tahun, Muhammad menikahi Khadijah yang berusia 40 tahun. Muhammad tidak menikah sampai setelah Khadijah meninggal.

Di usia ke 40, Muhammad mulai secara giat menjalankan ibadah (agama kaum hanif) yang menekankan hidup saleh dan pertapaan. Ketika ia sedang beribadah, berpuasa dan bertapa di gua Hira, tahun 610 M, Muhammad menerima wahyu dari Tuhan. Pewahyuan adalah pemberian ayat-ayat al-Qur'an oleh Allah (tidak ada yang langsung, tapi umumnya melalui perantaraan malaikat Jibril) kepada Muhammad. Peristiwa turunnya ayat al-Qur'an pertama di ua Hira itu itu diperingati oleh umat Islam sebagai hari Nuzulul-Qur'an.[1]

Muhammad menerima wahyu sampai wafatnya tahun 632 di Mekkah. Sementara menerima wahyu itu, Muhammad mengajarkan itu kepada masyarakat Arab. Tujuan pertama dan utama penyebaran ajaran agam oleh Muhammad adalah pembaruan di bidang agama/kepercayaan, dan pengakuan terhadap dirinya sebagai nabi. Karena itu, ajaran yang ditekankan adalah beriman kepada hanya satu Tuhan saja, yaitu Allah, dan penekanan bahwa Muhammad adalah utusan/rasul Allah. Muhammad mengalami kehidupan masyarakat Arab yang kacau, tidak teratur karena dikuasai oleh kebodohan (jahiliyah). Di bidang agama, kebodohan itu terlihat padanya adanya kepercayaan dan praktek penyembahan terhadap banyak ilah. Di samping itu masing-masing suku memiliki ilah-ilah mereka sendiri. Muhammad melihat bahwa praktek agama ini tidak benar dan yang menyebabkan masyarakat Arab kacau balau.

Muhammad menyampaikan ajaran Islam pertama kepada istrinya, lalu keluarga/kerabat dan sukunya lalu kepada rakyat Mekkah. Mula-mula Muhammad mendapat tantangan yang berat, yaitu penolakan dan bahkan ancaman pembunuhan. Karena itu ia harus menyuruh sebagian pengikutnya untuk mengungsi ke Abissynia (Etiopia; Kerajaan Kristen). Juga kemudia, ia dan pengikutnya harus melarikan diri ke kota Yathrib (kemudian diganti menjadi Medina), tahun 622 M. Di Medina, Muhammad dan ajarannya disambut baik oleh rakyat. Islam lalu berkembang dengan pesat yang lalu menguasai seluruh aspek masyarakat. Islam menjadi agama masyarakat dan Muhammad menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin politik/negara. Setelah komunitas Islam menjadi kuat di Medina, Muhammad lalu kembali ke Mekkah dengan cara merebut kekuasaan melalui peperangan. Mekkah lalu dikuasai Islam dan Muhammad terus melakukan penyebaran Islam sampai wafatnya. Setelah Muhammad meninggal, tidak ada lagi wahyu yang diturunkan. Kedudukan Muhammad sebagai pemimpin umat lalu diganti oleh sahabatnya (para Khalifah), yaitu Abu Bakkar, Umar, Uzman dan Ali. Di jaman kepemimpinan para penggantinya itu (para Khalifah), Islam berkembang semakin pesat dan meluas, tidak hanya di Mekkah dan Medina tapi di seluruh daerah Timur Tengah. Bahkan sebelum masa perang salib (atau sampai sekitar tahun 1000 M), daerah kekuasaan Islam berhasil mencapai Eropa Barat (Spanyol).

Dalam perkembangannya, Islam terbagi menjadi banyak golongan/aliran yang berakar pada perbedaan ajaran/teologi dan praktek keagamaannya atau bahkan kedaerahan/politik. Dari segi karakteristik ajaran dan praktek, Islam dikenal sebagai agama hukum/legalistik, yang menekankan pada ajaran dan pelaksanaan hukum Islam. Dalam aliran terdapat dua kelompok besar sub-aliran, yaitu Syiah (lebih membaur dalam aliran politis, namun dalam teologi lebih moderat, lebih dapat menerima atau berkompromi dengan budaya setempat). Sunni beraliran teologis yang orthodoks dan tidak terbuka terhadap budaya lain. Aliran Syiah dianut oleh sebagian kecil umat Islam yaitu di Iran dan Irak sekarang sedangkan Sunni dianut oleh mayoritas Islam di dunia. Aliran Sunni terbagi lagi dalam banyak golongan, dan empat yang besar adalah Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafii. Aliran Syafii dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Gambaran dan tujuan umum dari Islam Sunni adalah pelaksanaan hukum Islam secara formal dan terbuka. Pemakaian simbol-simbol Islam sangat dipentingkan, mislanya Islam dijadikan agama dan ideologi negara/masyarakat secara tertulis-resmi, penggunaan pakaian Islam, bahasa Arab-Islam dalam berbagai peristiwa dan bahkan ekonomi Islam. Dari kelompok/aliran ini, muncul umumnya kelompok-kelompok ekstrem-fundamentalis sampai sekarang ini. Di samping aliran Syi'ah dan Sunni, ada juga aliran Islam Sufi (Tasawuf), yang menekankan ajaran dan praktek beragama secara mistik, yaitu menekankan hubungan pribadi dengan Tuhan. Aliran Sufi tidak mengutamakan penerapan Islam secara formal di bidang sosial dan politik. Aliran dianut oleh cukup banyak umat Islam dan tersebar di berbagai negara. Ia tidak memiliki organisasi, tapi hanya sebagai aliran pemikiran dan praktek agama. Di sisi lain, dalam hal ajaran-teologis, saat ini, umat Islam juga dapat dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu kalangan Islam yang orthodoks -fundamentalis-radikal (yang eksklusif dan biasanya sangat formalistik dan politis dalam kehidupan sosial-politis) dan yang moderat-liberal (yang inklusif dan terbuka terhadap pandangan/agama lain).

Agama Islam dipraktekan oleh umat Islam dengan cara melakukan 5 (atau 6) rukun Islam, yaitu: Syahadat (lailahailahlah wa muhammad rasullulallah); Shalat (sembahyang lima waktu: maghrib, isah, subuh, ashar dan lohor); Zakat (Pajak); Puasa (di bulan Ramadhan); Haji (ke tanah suci : Mekkah dan Medina); dan (Jihad: akhbar/umum:berjuang dalam mengalami kesulitan dan kejahatan, dan khusus: perang melawan musuh. Praktek agama Islam di atas itu didasari atau ditopang oleh tiang-tiang Iman, yang disebut 5 (atau 6) rukun iman/percaya, yaitu: percaya kepada Allah; percaya kepada malaikat; percaya kepada Rasul-rasul; percaya kepada kitab Suci (Taurat, Mazmur, Injil dan al-Qur'an); percaya kepada Hari Kiamat; (dan percaya kepada Takdir).



ISLAM DAN KERUKUNAN BERAGAMA

Umat Islam memahami bahwa Islam adalah agama yang sangat toleran. Karena itu Islam dianggap sebagai agama yang mendukung ketukunan antar umat beragama. Pandangan ini didasarkan pada baik ajaran Qur’ an dan sikap hidup nabi Muhammad. Al-Qur’ an mengajarkan bahwa Islam menjadi rahmat atas umat manusia dan atas alam semesta. Karena itu, umat Islam perlu menciptakan kerukunan atau harmoni di antara umat manusia dan alam semesta. Kerukunan antar manusia di sini berarti juga kerukunan antar umat yang berbeda agama. Yang sama atau berhubungan dengan itu adalah ajaran Qur’ an yang menyatakan bahwa Allah itu adalah Allah bagi semua manusia, baik yang Muslim maupun yang beragama lain. Ini jelas dikatakan oleh surah As-Syura/42 : 15 : “...katakanlah: Aku beriman kepada segala kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kamu dan Tuhan kami; bagi kami amalan kami dan bagi kamu amalan kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan antara kita, dan kepadanyalah kita.” Ajaran ini didukung juga oleh ayat Qur’ an (surah Al-Kafiruun/109 : 6) yang menyatakan bahwa agamaku agamaku, agamamu agamamu. Jadi di sini, Qur’ an menegaskan bahwa umat Islam diperintahkan untuk menghargai umat dan agama orang lain; bahwa tidak ada paksaan dalam agama.

Di samping ajaran Qur’ an di atas, dalam kehidupan nabi Muhammad, toleransi dan juga penghargaan terhadap umat dan agama lain dapat juga terlihat. Yang paling jelas adalah ketika nabi Muhammad mengijinkan Mesjid di tempatnya dipergunakan oleh orang-orang Kristen dari kota Najran untuk berdoa. Ini karena di samping perintah Qur’an, juga adanya pengaruh latar belakang keluarganya; ada di antara anggota keluarganya, termasuk salah seorang istrinya adalah pemeluk agama Kristen.

Memang di dalam ajaran Qur’ an dan dalam sejarah perkembangan Islam, pandangan negatif dan sikap keras terhadap umat beragama lain juga tampak. Hal ini juga terdapat di dalam Qur’ an maunpun sikap hidup nabi Muhammad. Ayat-ayat Qur’an (surah Al-Kafiruun/109; surah Al-Baqarah/2 : 120; Ali Imran/3 : 56, 69-78; An-Nisaa/4 : 150-152) yang menunjuk bahwa umat beragama lain (khususnya Yahudi dan Kristen) sebagai kafir atau musuh dan haru sisikapi secara keras, dan sikap keras Muhammad terhadap orang-orang (atau kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Arabia) yang tidak menerima tawarannya untuk masuk Islam, tidak jarang dijadikan alasan atau pendorong bagi pandangan negatif dan sikap keras sekelompok umat Islam di masa kini, termasuk dan khususnya di Indonesia.


SEKILAS ISLAM DI INDONESIA

Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan, yang dibawa oleh para pedagang dari Persia dan pantai barat India (Gujarat). Ia masuk pertama-tama di pantai utara Sumatra (Aceh) pada sekitar awal abad 13, lalu menyebar ke hampir seluruh daerah Sumatera, Jawa, kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Islam yang pertama masuk ke Indonesia beraliran Syiah. Ini karena para pedang dari Persia dan Gujarat itu beraliran Syiah. Lama-kelamaan, aliran Sunni mulai mendominasi karena masuknya para pedagang Arab yang beraliran Sunni, apalagi setelah banyak orang Indonesia yang pergi haji dan kembali dengan membawa ajaran Islam yang orthodoks. Mulai abad 15 (tahun 1400-an) Islam mulai menguasai daerah-daerah di nusantara, dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (Mataram, Demak, Cirebon, Ternate, Tidore, dll).

Sampai akhir abad 16 (tahun 1500-an) Islam masih berkembang pesat dan menguasai sebagian besar daerah nusantara/Indonesia. Namun setelah kedatangan penjajah, khususnya Belanda, perkembangan Islam menurun sampai akhir tahun 1800. Mulai tahun 1900, terjadi kebangkitan Islam di dunia internasional, termasuk di Indonesia juga. Lahirlah organisasi-organisasi perjuangan Islam, antara lain di Jawa: Syarikat Islam (1911), Muhammadiyah (tahun 1912) dan Nahdhatul Ulama (1926), dan Sumatra: Sumatera Thawalib. Organisasi-organisasi ini berjuang di berbagai bisang, misalnya sosial-budaya, politik, ekonomi, pendidikan dan agama. Syarikat Islam semula merupakan organisasi dagang lalu menjadi organisasi politik. NU juga kemudian menjadi organisasi politik, namun di jaman orde Baru, kembali lagi menjadi organisasi sosial-agama. Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik. Ia dikenal sebagai organisasi kaum modernis yang berjuang terutama di bisang sosial dan pendidikan. Namun banyak tokohnya yang mendirikan partai politik. Dalam pergerakan politik nasional, ada beberapa partai politik Islam yang sangat berpengaruh, antara lain: Masyumi, Persis dan NU ( di jaman Orde Lama), dan kemudian PPP di jaman Orde Baru, di jaman reformasi yaitu PPP, PKB, PAN dan PBB. Masyumi dan Persis begitu gigih memperjuangkan Islam untuk dijadikan agama Negara atau Indonesia menjadi negara Islam. Cita-cita perjuangan itu dilanjutkan oleh sampai saat ini oleh PPP, PAN dan terutama PBB.

Dalam bidang pemikiran keagamaan, umat Islam di Indonesia terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu yang orthodoks dan yang moderat-liberal. Kelompok orthodoks merupakan mayoritas Muslim Indonesia. Namun mereka tidak identik dengan kelompok fundamentalis-radikal. Memamng, umumnya dari dalam aliran orthodoks inilah lahir kelompok-kelompok yang radikal-fundamentalis, dan bahkan militan, seperti kelompok Ahlusunnah (Laskar Jihad), Front Pembela Islam, Kisdi, dll. Kelompk ini yang memperjaungkan Islam menjadi agama negara atau Indonesia menjadi negara Islam.

Kelompok Islam moderat-liberal biasanya tidak menekankan perjuangannya pada peran politis-formal Islam, tapi pada peran moral-etis dan spiritual. Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan banyak tokoh di NU; juga tokoh/ketua Muhamadiyah, seperti Ahmad Syafii Maarif. Pengaruh aliran moderat ini memang masih terutama pada kalangan intelektual, belum banyak menyentuh kalangan umum. Sebaliknya pengaruh aliran orthodoks mendominasi kalangan umum.


Hubungan Islam-Kristen

Sejak awal perjumpaan Islam-Kristen pada akhir abad 16 (yang ditandai oleh kedatangan Portugis dan kemudian Spanyol) dan khususnya sejak kedatangan Belanda/VOC pada awal abad 17, hubungan kedua umat agama itu sudah ditandai oleh ketegangan, konflik dan beragam peristiwa kekerasan. Ini disebabkan oleh adanya salah pengertian, rasa curiga dan penolakan antara satu terhadap yang lain. Bentuk-bentuk kekerasan yang berakar pada agama dan yang menyatu dengan alasan sosial-politik sering terjadi. Di jaman kolonialisme, ini ditandai oleh berbagai kerusuhan atau peperangan bersenjata antara penguasa kolonial dan rakyat pribumi. Di jaman kemerdekaan, perjumpaan Kristen Islam di Indonesia masih tetap ditandai oleh berbagai peristiwa buruk, seperti penutupan pasa tempat ibadah, perusakan, pembakaran, kerusuhan dan penganiayaan, khusunya yang dilakukan oleh kalangan tertentu dari pihak Islam terhadap Kristen. Berbagai latar belakang atau alasan persoalan itu adalah pemahaman terhadap ajaran agama yang dianut dari kedua belah pihak, sejarah yang masih membekas seperti perang salib dan penjajahan oleh Barat yang dinilai Kristen dan alasan-alasan politik, sosial dan ekonomi. Berbagai persoalan hubungan antar agama, khususnya Islam-Kristen ini, sering tidak mendapat jalan keluar arena berbagai pihak tidak saling mementingkan kebaikan dan kedamaian. Apalagi, negera, atau pemerintah dan undang-undang serta peraturan yang berlaku tidak mendukung penyelesaian masalah yang ada. Bahkan, tampaknya, kebijakan-kebijakan pemerintah atau khususnya peraturan-peraturan yang dikeluarkan, memberi peluang terjadinya konflik. Dan apalagi jika telah terjadi persoalan, pemerintah menempuh jalan yang hanya mementingkan kepentingan sosial-politis, demi ketertiban dan keamanan. Dengan jalan seperti itu, maka akar persoalan tetap tidak diselesaikan. Apalagi, pemerintah atau aparat pemerintah lebih memberi kesan sebagai pihak yang memihak kelompok mayoritas. Ini dapat dilihat pada kasus-kasus penutupan gedung ibadah di mana pemerintah menjadi pihak yang mendukung penutupan tersebut.

Walaupun di satu sisi hubungan Islam-Kristen di Indonesia diwarnai oleh peristiwa-peristiwa buruk, tapi di pihak lain, sudah ada juga perkembangan ke arah yang baik. Berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan saling memahami, menerima dan bekerja sama. Dialog antar umat beragama, yang dipelopori oleh masyarakat/agama dan pemerintah sudah sering dilakukan. Juga kerja sama di dalam mengatasi konflik yang ada. Di dalam struktur pemerintahan, telah ada sekarang lembaga Forum Kerukunan antar Umat Beragama, yang difasilitasi oleh pemerintah melalui Perber dua menter dan Peraturan Gubernur. Ini menunjukkan bahwa masyarakat beragama dan pemerintah memberi perhatian yang cukup terhadap hubungan antara agama dan keharmnisannya.



Daftar bacaan:

Islam Umum:
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Depag, 1984.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
F. Rahman, Islam (Terj). Bandung: Pustaka, 1984.
H.A.R. Gibb, Mohammedanism. An Historical Survey. New York: OUP, 1962.
H. Kraemer, Agama Islam. Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1952.
K. Ahmad, Islam Its Meaning and Message. London: Islamic Council of Europe, 1975.
Kenneth Cragg, Azan, Panggilan dari Menara Mesdjid (Terj.). Djakarta: BPK Gunung Mulia,
1973.
Moh. Assad, The Message of the Qur’an. Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980.
M. H. Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Terj.). Jakarta: Tintamas, 1984.
Rasul Ja’farian, Sejarah Islam: Sejak Wafat Nabi Hingga Runtuhnya Bani Umayah (11-132
H) (Terj.). Jakarta: PT.Lentera Basritama, 2004.
S. H. Nasr, Muhammad Kekasih Allah (Terj.). Bandung: Penerbit Mizan, (Cet. V) 1993.

Islam di Indonesia :
Abdullah, T. (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, 1991.
Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia. Jakarta, 1964.
Aritonang, J.S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK-GM,
2004.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII. (Edisi Revisi). Jakarta: Kencana, 2004.
Atjeh, A., Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia. Semarang: CV Ramadhani, 1971.

Boechari, Sejarah Masuknya Islam dan Beberapa Teori Islamisasi di Indonesia. Jakarta:
STAI Publisistik Thawalib, 2001.
Hasymi, A., Sejarah masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Al-Maarif,
1989.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1994.
Sofwan, Ridin, dkk, Islamisasi di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Schumann, Olaf, Islam di Indonesia dan Tulisan-tulisan lainnya. Jakarta: Litbang PGI,
1985.
Woodward, Mark R., Islam di Jawa.Yogyakarta: LKIS, 1999.
Zuhri, K.H. Syaifudin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya. Bandung:
PT. Alma Arif, 1981.

[1] Ayat-ayat Qur’an dikelompokkan dalam dua bagian sesuai tempat turunnya, yaitu ayat-ayat Makkiah (yang diturunkan di Mekkah) dan ayat-ayat Madaniah (yang diturunkan di Medina). Ayat-ayat Makkiah umumnya berisi ajaran moral dan spiritual, dan yang menekankan pada keesaan Tuhan. Ayat-ayat Madaniah berisi aturan-aturan bagi kehidupan keagamaan-ibadah dan sosial.

*Tulisan ini pernah disampaikan pada acara seminar dan pembinaan Majelis-Warga di GKI Menteng, GKI Kelapa Cengkir dan GKPI Rawamangun

JESUS IN THE QUR'AN

JESUS IN THE QUR’AN*
A brief introduction to the role of Jesus in Muhammad’s message

Stanley R. Rambitan




The Qur’an is the primary source of all islamic teachings. Doctrines and practices in Muslim communities are always based upon its teachings.[1] This is because the Qur'an is regarded as God’s command or message to man which was revealed to His messenger, the Prophet Muhammad. In the Qur'an, we find doctrines of God, other spiritual beings, the Last Judgement, other religions, regulations for the life of the community and prophethood. Most of these qur'anic messages are not new. They are more or less repetitions or refreshed ideas of religious teachings recognized in Judaism, Christianity and Arab paganism. Messages stressed and highlighted in the Qur'an, besides social justice, morality and humanity, are the doctrine of the oneness of God (there is none but God) and that Muhammad is God's messenger. Whithin the framework of these main messages, we can analyze the status and role of other themes of the Qur'an. And in this paper, we will discuss the status and role of Jesus according to the Qur'an or Muhammad's message.

1. Jesus in the Qur’an

Among the non-Christian sacred books, the Qur’an is the only book in which Jesus is mentioned very widely. There are 15 chapters (surah) and 93 verses in which the story of Jesus can be found or at least Jesus' name is mentioned. There are two surahs in which we can find a more detailed story of Jesus and his family, i.e. surah 3 (Ali Imran) and surah 19 (Al Maryam). Surahs whose have more statements or ideas on Jesus are surah 43 (Az Zukhruf), 23 (Al Mu'minuun), 21 (Al Anbiyaa), 42 (Al Asyuura), 6 (Al An'aam), 2 (al Baqara), 57 (Al Hadiid), 61 (Al Shaff) 4 (An Nisaa), 33 (Al Ahzab), 66 (Al Tahrim), 9 (Al Taubah), 76 (Al Insaan), and surah 5 (Al Maidah). In many places we find a number of similar terms and ideas on Jesus. But there are also verses which are different and even in contradiction one towards the other. (Comp. S. 2,136: “We make no difference one another” (i.e. among the prophets), with S. 2,253: “some above others”).

The name of Jesus used in the Qur'an is Isa and it occures 25 times. The name of Isa is mostly followed by ibn Maryam (son of Mary). (In the Bible the designation of son of Mary only occurs once, i.e. in Mark 6,3). Mary is given a very special attention and honour in the Qur'an. Even one of the surahs is named after her, Al Maryam (surah 19). Another designation of Jesus mentioned is Al Masih (Messiah=Christ). But there is no explanation on the meaning of the word Al-Masih. In the Qur’an, some other titles are also given to Jesus according to his work or function. They are prophet ( 2,13; 3,84; 4,163, etc.), apostle (2,87; 2,253; 3,48, etc), servant (of God) (4,172; 19,30; 43,59-61), kalimah (word of God) (3,39,45; 4,171; 19,34), ruh (spirit of God) (2,87, 253; 4,171; 5,110; 19,17; 21,91; 66,12), ayat (Sign) (19,21; 21,91; 23,50; 29,21), and rahma (blessing) (19,21).

In those qur’anic verses, Jesus is considered as an extraordinary man with special status and talent compared to other men, and even to other prophets. He was born without a father but through God’s word (“Be”). He was also strengthened with God’s spirit; and so he is God’s word. Here by the using the elements of “trinity”, it might not be the intention of Muhammad to accept the concept of trinity. He might unconsciously just quote the terms since there are further explanation about this.

2. The Role of Jesus in Muhammad’s Message

The question which may be raised here is: why are there stories and statements on Jesus in the Qur’an or Muhammad’s message ? What are their roles ?
To answer those questions, first of all we need to know the characteristic of the content of the Qur’an. On the one hand, messages of the Qur’an (or Muhammad) have their liturgical characteristics. There are qur’anic verses which can be called as statements of praise (to God) (for instance surah: 1, Al Faatihah). On the other hand, there are also verses used as polemic. And mostly, verses on Jesus and other prophets are used in the polemic atmosphere in his relation to the Jews, Christian and the Quraish (Arab pagans).

Since his early prophethood in Mecca, Muhammad has been involved in conflict with the people both Arabs and Jews-Christians. And in facing such conflict, Muhammad has been trying to defend himself (his prophethood) and his teachings using arguments which were already known in Arab pagans and Jewish religious tradition. It is therefore in a number of polemic verses, that terms, figures and ideas are of those religious tradition are also used by Muhammad. Some Qur’anic verses which are used in a polemic are:
1. S.43,57-61:
“When (Jesus) the son of Mary is held up as an example, behold, thy people raise a clamour threat (in ridicule) and they say, “Are our gods best, or he ?” This they set forth to thee, only by way of disputation: yea, they are a contentious people. He was no more than a servant: We granted our favour to him, and We made him an example to the children of Israel. And if it were Our will, We could make angels from amongst you, succeeding each other on the earth. And (Jesus) shall be a Sign (for the coming of) the Hour (of Judgement): Therefore have no doubt about the (Hour), but follow ye Me: this is a Straight Way.”

The background of this passage is a conflict between Muhammad and the Meccan-Quraish pagan on his prophethood and his teachings. The Meccans in the beginning (later they become muslims) rejected his prophethood. According to them, a prophet should come from a respectful, perfect and rich family. But Muhammad was from a poor family and even he is an orphan. These people also did not accept Jesus since he came from a poor family as well. And that their gods were better than him. They also rejected Muhammad's teaching that a person who does not worship Allah will bee sent to hell, by taking Jesus as an example. Jesus was worshipped by the Christians. Thus, he would then also be in hell.

Toward the challenge, Muhammad gives his answers. Muhammad said that being a prophet is not depended on material features. Muhammad then took Jesus as an example that Jesus himself comes from a poor family; he is only a servant but Allah granted His favour to him and made him example to the children of Israel and even he shall be a Sign for the coming of the Day of Judgement. Thus, here, Jesus was respected by Muhammad. Even though, Muhammad has the intention to make those people to consider him as a prophet, as other people and he respect Jesus. Muhammad here places himself at the same place or parallel to Jesus or other prophets. In other words, Muhammad used Jesus to strenghten his position as a prophet and to support his general message.


2. S. 4: 157-159
“That they said (in boast) “We killed Christ Jesus the son of Mary the apostle of Allah”; but they killed him not, nor crucified him, but so it was made to appear to them, and those who differ therein are full of doubts, with no (certain) knowledge, but only conjecture to follow, for of a surety they killed him not. Nay, Allah raised him up unto Himself; and Allah is exalted in Power, Wise. And there is none of the People of the Book but must believe in him before his death; and on the Day of Judgement he will be a witness againts them”;


These verses have their background in a conflict between Muhammad and the People of the Book (particularly the Jews) in Medina. In this surah (4), issues discussed have been more wider, including regulations in a society. This also proves that the society in which Muhammad was carring out his mission was a more or less stable one. And in this Medinan society, Muhammad was facing challenges from the People of the Book (Jews and Christians, particularly the Jews) (See verses 153-156). This People of the Book also rejected Muhammad as a prophet. They even boast themselves that they have killed prophets sent by God previously. But here (157) Muhammad argued that they actually are boasting themselves of nothing. This is because, according to Muhammad, Jesus who is considered already killed by them, actually did not die. It was not Jesus who died on the cross, but someone who looked like him. Even they themselves were still not sure whether they have killed Jesus or not. According to Muhammad, Jesus was actually raised up by Allah unto Himself. Therefore, you, the Jews should not be proud of or boast yourselves since you actually could not kill a prophet.
Again, Muhammad put a respect on Jesus. In his mind, it was impossible that a prophet like Jesus died in a horrible way as on the cross. Muhammad might have been afraid of him self that he could be persecuted or killed like other previous prophets. Therefore, this Muhammad’s perspective on Jesus could have been a kind of consolation for him as a prophet who was at the moment facing difficulties with the Jews. Here Muhammad uses Jesus as an ideal image for him; that similar to Jesus, he was not going to be killed; that the Jews did not have such a power to kill Allah’s prophet. Similar to Jesus, Allah would raise him unto him.

3. S. 4, 171-173:
“O People of the Book ! Commit no excesses in your religion: nor say of Allah aught but truth. Christ Jesus the son of Mary was (no more than) an apostle of Allah, and His Word, which He bestowed on Mary, and a Spirit proceeding from Him: so believe in Allah and His apostle. Say not “Trinity”: desist: it will be better for you: for Allah is One Allah: glory be to Him: (For Exalted is He) above having son. To Him belong all things in heavens and on earth. And enough is Allah as a Disposer of affairs. Christ disdains His worship and arrogant, He will gather them all together unto Himself to (answer). But those who believe and do deeds of righteousness, He will give their (due) rewards, -and more, out of His bounty: but those who are disdainful and arrogant, He will punish with a grievous penalty; nor will they find, besides Allah, any to protect or help them.”

These verses specifically refer to the People of the Book (particularly the Christians) who also denied the prophethood of Muhammad and whose doctrines were considered by him as untrue, i.e. the doctrine of trinity. These people worshiped Jesus in their life. Muhammad rejected the idea that Jesus is divine. According to him, Jesus is no more than a messenger of God. It is true that Jesus was born by God’s Word and Spirit, but you (the People of the Book) do not have to worship his as you worship God. Jesus is himself a servant of God. There is a slightly changing perspective or attitude of Muhammad towards Jesus. Muhammad reduced the high status of Jesus into a lower one. Although Jesus is extraordinary, he is also an ordinary man; he is a servant of God. Therefore people (the Christians) should not consider and worship him as a divine (as God). Muhammad did not tolerate that people respect Jesus exaggerately and boast themselves. And then he contradicted the attitude of those Christians to the idea of how people would be granted by God, that is those who believe in Allah (and his messenger) and do deeds of righteousness. Thus here, Muhammad was trying to convince the People of the Book that they should worship none but Allah and that they should listen to him as the messenger of Allah.

From the above short analysis it can be concluded that the role of Jesus (and also other prophets) in the Qur’an or in Muhammads’ message is mostly to strenghten Muhammad’s message and his role as a prophet. By mentioning Jesus (and other prophets), Muhammad would like to drive people to accepting him as prophet. Besides, Muhammad also used Jesus as a standard of comparison for himself, especially whenever his life as a prophet was threathened. When his prophethood status was still weak and not recognized yet (in Mecca), the use of Jesus (and also other prophets) were intensified and Jesus was put intu high respect. But when his prophethood was already recognized, strong and authoritative, and he has already got power in society (in Medina), then the use of Jesus (and other prophets) as an ideal figure was reduced. His respect and attitude toward Jesus tended to be reduced and even negative. Thus, Muhammad changed in his ideas and attitude toward Jesus accomodating to his status and role within society. Or, it can be said that Jesus was used in the Qur’an in the framework of general message of Muhammad.


3. Jesus in Indonesian Qur’an Commentaries
Short Introduction to Hamka


In the historical development of Qur’an commentary in Indonesia, there have been a number Qur’an commentaries written by Muslim scholars. Some of these are in completely 30 volumes (30 Juz), and some are only few volumes. These commentaries have been written since the 1930s to 1980s. There are four well known Qur’an commentaries written and published during that period. First, by Hasan, H.A.H., Z.A. Abbas and A. Haitami, Tafsir Al-Qur’anul Karim (5 vols of 7 juz, about 3500 pages), published by Islamiyah in Medan in 1930s. Secondly, Ash-Shiddiqy, J.M.H., Tafsir Al-Qur-anul Majied (30 vols, each 250-300 pages), published by Bulan Bintang in Jakarta between 1955s-1970s. Thirdly, Hamka, Tafsir Al-Azhar (30 vols, over 10.000 pages), published by Pustaka Islam in Surabaya between 1960s-1970s. And fourthly, Departemen Agama RI (The Dept. of Religion of Indonesia), Al Quraan dan Tafsirnya, (11 vols/30 juz, about 7.500 pages), published in Bandung between 1983-1985. Besides those commentaries, there are also translations (interpretation) of the Qur’an written by other individual Indonesian Muslim, published in one volume.

Here, will be given short notes on Hamka’s commentary especially on Jesus. The name Hamka is an abreviation of Haji Abdul-Malik ibn Abdulkarim (1908-1981). He is one of the well known and prominant Muslim scholars in Indonesia. He once studied in Mecca, worked as a religious teacher and reporter. He was also involved in social and political affairs (member of a muslim political party), and his last position (to which he resigned) before he died was the Chairman of the Council of Indonesian Ulama. His theological stand in Islam was not so much legalistic but he was more attracted to the moral teachings of Sufism. He wrote a number of books, articles and novels, covering very widely areas of islamic theological themes. And his biggest work is Tafsir Al-Azhar, of which some parts ere written during he was in jail (in the era of Sukarno in the 1960s).

1. Surah 43 verses 57-61

Concerning these verses, Hamka first explains their background, that is a polemic between Muhammad and a Meccan-Quraish pagan, name Abdullah Az Zab’ari about a person does not worship Allah. Muhammad's teaching is that a person who does not worship God but worship othergods will be in hell. Az Zab'ari then challenged Muhammad by taking Jesus as the example. He asked whether he would also be sent to hell since he was worshipped by the people. Az Zab'ri understood that Jesus was not better than their gods. Towards this challenge, Muhammad gave an answer as writen in verse 59.

Hamka then goes further to explain about Jesus (verse 59) that Jesus will not be sent to hell because of he was worshipped by people (and praised by Muhammad). It is not Jesus’ mistake that he was worshipped. Jesus is just an ordinary man and a servant of God. But he is given wisdom by God and became an example of the people of Israel. Here, Hamka gives logic analysis and understanding on Jesus. By doing that he shows a positive perspective on Jesus as the Qur’an said. But then Hamka adds more historical information on the problem of Jesus who was being worshipped as a divine being. Hamka said that the idea of Jesus being considered one similar to God or being the son of God was formulated in the council of Christian leaders after the death of Jesus. Hence, the mistake is not on Jesus but on his followers. Here Hamka added a polemic element in his commentaries; and thus he involves himself in recent polemic with the Christian (tradition).

2. Surah 4, 157-159 and 171-173

Similar to his commentary on the above verses, Hamka has also a polemic and apologetic comment toward the ideas on Jesus. Again Hamka stresses the rejection of the divinity of Jesus. He says that it was the Jews’ fault when they said they have killed Jesus the messenger of God. But based on the Qur’an, the truth is they did not kill him; they killed somebody who looked like him. And based upon this error, the Christians believed that Jesus was killed by the Jews.

Concerning the word kalimah Allah (word of God) and Ruhul-Qudus (the Spirit) from which Jesus came to alife, Hamka understands them in a logic and common way. The kalimah is God’s word used to give life to Jesus, the same as used when God created Adam, by only with the word “be”. And for the word ruhul-Qudus, he consideres it as (the spirit of) angel, Gabriel. He also uses biblical reference to support his opinion. It is interesting that when Hamka is stressing the humanity of Jesus, he quotes a biblical verse (for instance John 17,3) and most widely he quotes the Gospel of Barnabas. But, when he is denying the divinity of Jesus, he considered the Bible as one being corrupted, so it is unreliable; and he then uses the Qur’an as his reference.

By comparing Hamka’s way of interpreting qur’anic messages by using Christian traditional sources (biblical verses, except the Gospel of Barnabas) and the way used by Muhammad in supporting his message (by referring to previous prophets, in this case to Jesus), it can be said that both have a very similar way of using other sources. Datas or ideas found in the paganism, Jewish and Christianity known widely in community (whether reliable or not) are used to support their ideas, which in Hamka’s case are derived from the Qur’an. Besides, Hamka has positively also analyzed and interpreted terms which are unclear (such as the Word and the Spirit of God) to be rationally and logically understandable. /srr



[1]Unless there are particular practices which are not mentioned in the Qur’an, the sources of islamic teaching refered to are the Sunnah, Ij’ma, Qiyas (and Ijtihad). These references are accepted by especially the four major islamic schools of thought in Sunniites’ stream (i.e. the Sjafii, Maliki, Hanbali and Hanafi).

*Presented at the Postgraduate Seminar, IIMO-Universiteit Utrecht, 2003.

JESUS IN QUR'AN COMMENTARIES IN INDONESIA

Qur’an Commentary in Indonesia
and the Perception of Jesus[1]

Stanley R. Rambitan



The thesis I have been working on is entitled Jesus in Indonesian Qur’an Commentaries. Commentaries that are being studied are published in the 20th century and until early of 21 century. I consider this work a new academic endeavour as so far there is no work published on this matter, both in Indonesia and abroad. There are already works on Quránic commentary published by two Western scholars, namely Jeanne D. McAulife (Qur’anic Christians) and Neal Robinson (Christ in Islam). However their works are dealing particularly with middle eastern classical Muslim interpreters. My work I suppose will add a new panorama in the discourse of contemporary Qur’anic commentary.


Indonesian Qur’an Commentaries

The Qur'anic commentary in Indonesia has begun since the arrival of Islam in Indonesia in 13th century. No spread of Islam without the teaching of the Qur’an, and no teaching of the Qur’an without an interpretation of the Qur’an. However, the written forms of the commentaries were only found in the works of, for instances, Hamzah Fanshuri, Ar-Raniri, Abdurrauf Singkel in the 16th and 17th century, and Syamsuddin al-Pasai in 19th century. Also in 19th century, An-Nawawi al-Bantani produced his works on Islamic jurisprudence and theology, and was widely well known. The specific Qur’an interpretation written by Indonesian Muslim scholar had been published since the end of 19th century in Arabic, Malay and in Javanese.

In 20th century and recent years (of 21st century), there has been a number of translations and commentaries written by Indonesian Muslim scholars. Some of them are in completely 30 volumes (30 Juz) which cover all surahs, and some are only few volumes. Besides, there are many more Qur'an commentaries written by Indonesian Muslims covering either only one or more surahs, and some concerning certain themes. There are five more comprehensive commentaries written by prominent Indonesian scholars. They are chronologically:

1)Tafsir Al-Qur’anul Karim by Halim Hasan, Z.A. Abbas and A. Haitami, firstly published in 1936 in Medan, consisting of 6 vols. covering surah 1- 6, and of 3500 pages.
2) Tafsir Al-Qur-anul Majied by Hasbi Ash-Shiddiqy, firstly published in Jakarta between 1955-1970, consisting of 30 vols. covering all surahs, and all about 7.500 pages.
3)Tafsir Al-Azhar by Hamka, firstly published in Surabaya between 1960-1974, consisting of 30 vols. covering all surahs, and about 10.000 pages.
4)Al Quraan dan Tafsirnya, by a team of Departemen Agama, published in Jakarta between 1983-1985, consisting of 11 vols. covering all surahs, and about 7.500 pages.
5) Tafsir Al-Misbah by Quraish Shihab, published in Jakarta between 2000-2002, consisting of 4 vols. covering 7 surahs, and about 2.000 pages.

Each commentary was written and published in a certain different times ranging from 1930-s to recent years (2002). It is therefore, each has its own characteristic that generally corresponds to its social, political, cultural and religious discourse in its particular context. Besides, the expertise of the interpreter also has influence on the character of the commentary. My ongoing work is particularly examining these five commentaries.

In term of the use of references, Indonesian Qur’an commentaries are still very much depended on the classical Qur’an commentaries published in the Middle East. Here we know names or commentaries such as Ath-Thabari, Ar-Razy, Ibn Katsir, Tafsir Jalalain, Baidawi, Al-Alusi, Muh. Abduh and Rashid Ridha, Tanthawi Jauhari, Sayid Qutb and Tafsis Al-Maraghi. This dependency is caused by three facts, first Indonesian Muslims had a strong relationship to those from Middle East through trading and religious (particularly Hajj), secondly, the Qur’an commentaries were at those times written and published mostly by Middle Eastern scholars, and thirdly, the Arabic-Middle Eastern commentaries were considered more authoritative.


Jesus in the Qur'an

Among the non-Christian sacred books, the Qur’an is the only book in which Jesus is mentioned very widely. There are 15 surahs and 93 verses (out of 6339 verses) in which the story of Jesus can be found, or at least the name of Jesus is mentioned. There are two surahs in which we can find a more detailed story of Jesus and his family, i.e. surah Al-Imran/3 and surah Maryam/19. Surahs that have more statements or ideas on Jesus are surah Az-Zukhruf/43, Al- Mu'minuun/23, Al-Anbiyaa/21, Al-Asyuura/42, Al-An'aam/6, Al-Baqarah/2, Al-Hadiid/57, As-Shaff/61, An-Nisa'/4, Al-Ahzab/33, At-Tahrim/66, At-Taubah/99, Al-Insan/76, and surah Al-Maidah/5.

The name of Jesus used in the Qur'an is Isa. It occurred 25 times. The name of Isa is mostly followed by ibn Maryam (son of Mary). (In the Bible the designation of son of Mary only occurs once, i.e. in Mark 6:3). The Qur'an gives a very special attention and honour to Mary. Even one of the surahs is named after her, namely surah Maryam/19. Another designation of Jesus is Al Masih (the Messiah or the Christ). Some other titles are also given to Jesus according to his work or function. They are nabi (prophet) (2:13; 3:84; 4:163, etc.), rasul (apostle) (2:87; 2:253; 3:48, etc), abdi (servant-of God) (4:172; 19:30; 43:59-61), kalimah (word of God) (3:39,45; 4:171; 19:34), ruh (spirit- of God) (2:87,253; 4:171; 5:110; 19:17; 21:91; 66:12), ayat (Sign) (19:21; 21:91; 23:50; 29:21), and rahma (blessing) (19:21).

In spite of the many Qur'anic verses describing on Jesus, the Qur'an obviously speaks about Jesus not as a retelling story of the historical Jesus, but only as reference of a subject being discussed in a certain Qur'anic section. Thus, the Qur’an has its own objective when it includes Jesus and other prophets in a discussion, i.e., as basic of argumentation to blame the Jews and the Christians. This is understandable when we look at the status and role of the statement on Jesus in the Qur’an. Most of the statement or paragraphs on Jesus (and other previous prophets) as mentioned above are placed in the framework of a polemic between Muhammad and the Jews and the Christians.


The Perception of Jesus in Indonesian Qur'an Commentary

Here I will present example of the perception of Jesus as interpreted by Quraish Shihab.

Jesus and the Word of God

Surah Al-Imran/3:45
When the angels said, “O Mary, God gives you glad tidings of a word from Him whose name is the Messiah, Jesus son of Mary, highly honoured in this world and the next, and one of those brought near to God.

Shihab identifies the word kalimah with the imperative word kun or "be", which is especially used in the creation of Jesus. According to him, the creation of Jesus through a word (of God) kun means that Jesus was created in an extraordinary way, i.e. by just saying “be”. It is not the kalimah itself that became or changed to be Jesus, or in other words, Thus, Jesus is not a word of God, or in a sense that “the word became flesh”. Here Shihab does not mentions any idea concerning incarnation. He understands that the use of the word kun by God was meant only to show how easy for him to create something that He Will. According to Shihab, the word kun is only a metaphor symbolising the ability of God to create something in a very easy and quick way. God does not even need to say a word to create something. However, he adds, the creation of Jesus did not happen quickly. He had to experienced a process of pregnancy of Mary which is common to a mother.


Jesus and the Holy Spirit

Surah Al-Baqarah/2:87
We gave Moses the Book and followed him up with a succession of Messengers; We gave Jesus, the son of Mary, Clear (Signs) and strengthened him with the Holy Spirit. Is it that whenever there comes to you a Messenger with what ye yourselves desire not, ye are puffed up with pride? – Some ye called impostors, and others ye slay!

Quraish explains the word ruhul-qudus (Holy Spirit) as both the angel Gabriel and an enormous power. This power is, with God’s Will, able to conduct extraordinary things (suatu kekuatan yg dahsyat dan dapat melakukan -atas izin Allah- hal-hal yang luar biasa). According to Quraish, the support of this Holy Spirit to Jesus had already been undergone before and during he was in her mother’s womb, then during his childhood and his whole life. Toward this opinion, a further discussion can be pursued particularly concerning the question whether or not Jesus had already existed before he was in the womb of Mary; and if the answer is “Yes”, in what form was the existence of him. However, we will not go further to discuss those questions as Quraish does not elaborate this matter. He only mentions that it is in fact the support of the Holy Spirit was also given to all prophets. The difference between Jesus and the others is only that to Jesus, the support of the Holy Spirit (the enormous power) was more accentuated.


Jesus, his Death and his Ascension

Surah Al-Imran/3:55
Behold! Allah said, “O Jesus, I will take thee and raise thee to Myself and clear thee (of the falsehoofs) ...”.

Shihab views this verse as a deceit of God against the bad deceit of the Jews. He understands God's action to take Jesus (which means to cause Jesus to die) and to lift him up to Him, and purify him from the hands of the unbelievers as a righteous deceit towards the unbelievers. Shihab clarifies the meaning of the Arabic word mutawaffika as "to die" or "to sleep". In the Qur'an to die and to sleep have a similar meaning, namely a state of unconsciousness. People who are sleeping or dead have no consciousness. Beside this definition, the word also means "to take the whole part" (Ind. mengambil secara sempurna). According to Shihab, the variety of meaning of the word have caused Muslim scholars to have different interpretation one another. Moreover, there is difference in the interpretation of a normal death and a murder. Shihab questiones: does someone who died because of murder have reached the perfect age planned by God, or the murderer who make the age of the dead perfect? Shihab presents the opinion of the Mu'tazilah (with Zamakhsyari as a reference) on one side, and on the other side, the other scholars (with Al Sya'rawi as a reference). Mu'tazilah claimed that it was the murderer who complete the age of the murdered, in a sense that the time of death come before one reached the age planned by God. But this does not mean that his soul or spirit disappeared. He is not really dead. Shihab mentions Al Zamakhsyari who interpreted the word mutawaffika as God would make Jesus' age completed, and he would not be killed by the unbelievers. Jesus would live until the age defined by God, not less or more, and whether his death caused by an act of murder or by a normal way. This opinion is, Shihab mentions, rejected by other scholars who understood that a death is a completion of someone's age, whether caused by an act of murder or by nature. A death indicates the completion of God's plan. Within this framework, the word mutawaffika is understood as an act of God to protect Jesus so he would not be harmed and wounded, let alone be killed. The way that God used to save Jesus is raffi'uka, that is to lift him up, meaning God took Jesus, his body and soul, away and placed him by His side. Thus, the latter opinion rejects the death of Jesus.

Shihab does not confirm his own opinion. He says that either Jesus is now living in heaven and will come back to the earth one day, or he has die by normal causes and will not be back to the earth, it is not a matter that relates to the principle teaching of religion. Whether one chooses the first or the second opinion, it will not increase or reduce one's religiosity. The most important thing concerning Jesus, according to Shihab, is that God purified him from the unbelievers, and He places the followers of Jesus above the unbelievers until the end of the day. Finally, Shihab says,
"The ascension of Christ, either in his soul and body or only soul, shows that whatever great the power of creation, and how sophisticated their plan to vanish the truth and its people, its results will always be in the side of the truth. Jesus Christ, whatever belief people have in him, for sure that he has reached the top of his greatness. Isn't it, scientist, war leader and states' leader respect and obey him, whereas he did not use weapon or his physical power? So does God protects the prophets and the protectors of the truth".


Jesus: Human or Divine

Al-Mā’idah/5:17and 72
17.Unbelievers are those who say: “Allah is the Messiah, son of Mary.” Say: “Who could prevent Allah, if He wished, from destroying the Messiah, son of Mary, and his mother too, together with all those on the face of the earth?”…
72. Those who say that Allah is the Messiah, son of Mary, are unbelievers. The Messiah said: “O children of Israel, worship Allah, my Lord and your Lord. Surely, he who associates other gods with Allah, Allah forbids him access to Paradise and his dwelling is Hell. The evil doers have no supporters!


Quraish Shihab begins his interpretation of verse 17 by saying that the main ignorance or heresy (Ind. kesesatan) of the Ahl-Kitab, more particularly the Christians, lays on their belief in God and Jesus. The Qur’an and the prophet Muhammad criticised and corrected this belief. According to Shihab, the Qur’anic identification of Jesus as the son of Mary is a proof that he is not God. This is proved also by the statement of this verse saying that nobody is able to prevent God if He is willing to cause Jesus, his mother and whoever living on earth to die. It is interesting that Shihab further mentions here the perception of the Christian on the Qur’an or the prophet Muhammad. He says, now days the Christians understand that the Qur’an and the prophet are incorrect in their understanding of Christian belief of God. The apology of the Christians is that they do not identify Jesus as God. However Shihab goes further by saying that the teaching of the Christians on God and Jesus is in fact varied. There are groups who disagree with the identification of Jesus as God, but there may be some who agree. Shihab present the historical fact of the Christians’ discourse on Jesus (his status, essence and attribute) that the idea of Jesus was varied. There were people who considered Jesus and Mary as two separated God, or some who believed that Jesus and God are like the fire and its flames (God is the source of fire and Jesus is the flame). There are also people who considered Jesus as a prophet, and some regarded him as the son of and at the same time the creation of God. Shihab says that the belief in the status of Jesus was just decided in 325AC. However, he further says that until now, the idea of the status of Jesus is still debatable in Christian community.

Interpreting the Qur’anic statement regarding the belief of the Christian that God is the Christ, Shihab argues that this statement should be understood in a framework of Christian teaching that in the person Jesus there are divine elements, or, that the divine elements have transformed into the person Jesus. According to Shihab, this understanding brings one to believe that Jesus is God. A support to this perception can be derived from Shihab’s interpretation of verse 73 and the parallel verse, i.e., 72. On verse 72, Shihab explains the meaning of the Arabic word kafirun (the infidels) that its root according to him means ‘to close’ (Ind. menutup). Thus the infidels are people who close their eyes and thought toward the fact that God is one only. In other words, the infidels are those who make association between God and creations. Shihab continues and supports this perception with his discussion on verse 73. According to him, this verse rejects the concept of Trinity. God is not one or part of the three persons; or God does not contains of several persons or parts; He is only One, namely the God. By this perception, Shihab says, this verse is meant to abrogate the idea of Trinity. By accepting the abrogation, here Shihab has indirectly accepted the disqualification of the idea of the divinity of Jesus.

The perception of Shihab above, in terms of the status and role of Jesus, represents the other Indonesian interpretations. Jesus is considered a human being with special status, gifts and role. He was born through an extraordinary way. However, he is not God.


Utrecht, November 2002
[1] Presented at the Symposium on Intercultural Theolygy, run by IIMO-Universiteit Utrecht, 18-21 November 2002.

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM ALKITAB

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM ALKITAB[1]

Oleh: Pdt. Stanley R. Rambitan



Pendahuluan
Laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Keduanya memiliki persamaan tetapi juga perbedaan, yaitu sama-sama diciptakan sebagai makhluk yang disebut manusia, tetapi berbeda kelaminnya sebagai laki-laki dan perempuan. Perbedaan kelamin atau gender tersebut mengarah pada adanya perbedaan sifat dan karakter. Manusia laki-laki adalah makhluk yang memiliki sifat dan karakter pemberani, kuat dan tegas. Sedangkan manusia perempuan adalah makhluk yang memiliki sifat dan karakter lemah lembut, halus dan anggun. Untuk itu, kata laki-laki dan perempuan juga dapat dipakai sebagai kata kiasan, misalnya “laki-laki tapi seperti perempuan”. Dalam kalimat tersebut, kata “perempuan” bukan dimaksudkan untuk menunjukkan gender, tetapi kiasan untuk laki-laki yang memiliki sifat lemah lembut, halus dan anggun.
Ada kemungkinan, perbedaan sifat dan karakter tersebut menyebabkan perbedaan status, peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan di masyarakat. Perempuan memiliki status, peran dan kedudukan lebih kecil ataua lebih rendah dari pada laki-laki, karena perempuan dipandang sebagai makhluk yang lemah dan membutuhkan perlindungan dari laki-laki. Dalam masyarakat Jawa, istri seringkali disebut sebagai “kanca wingking” atau teman belakang. Istilah tersebut menunjukkan bahwa istri memiliki kedudukan atau tempat di belakang suami. Dalam kehidupan masyarakat Yahudi, perempuan dan anak-anak tidak pernah diperhitungkan. Jika memperhatikan kisah-kisah dalam Alkitab adanya diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak. Misalnya, dalam menyebutkan daftar silsilah dan keturunan hanya menyebut nama laki-laki, tidak ada tercantum nama perempuan; kisah Yesus memberi makan kepada banyak orang, dikatakan jumlah yang makan adalah lima ribu orang tidak termasuk anak-anak dan perempuan (Mat. 14:21; Mrk. 6:44).



Laki-laki dan Perempuan dalam Perjanjian Lama

Kisah Penciptaan Manusia
Pandangan masyarakat Yahudi, yang merendahkan perempuan, mengatakan bahwa kisah penciptaan jelas menunjukkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dan utama dari pada perempuan. Itu tampak dari kenyataan bahwa Tuhan lebih dulu menciptakan laki-laki baru kemudian perempuan. Berarti laki-laki harus didahulukan atau diutamakan karena ia ada lebih dahulu dari perempuan. Bahkan untuk menguatkan pendapatnya, lakai-laki mengatakan bahwa perempuan diciptakan berdasarkan keinginan Tuhan bukan keinginan laki-laki, sehingga laki-laki hanya terima jadi ciptaan Tuhan tidak sesuai dengan seleranya.
Jika kita perhatikan kisah penciptaan manusia dalam Kej. 1:26-28, tampak bahwa Tuhan tidak membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Bagian tersebut mengatakan bahwa Tuhan menciptakan “manusia”, dalam pengertian laki-laki dan perempuan. Tuhan menciptakan keduanya bersama-sama, memberkati keduanya dan memberikan tugas yang sama. Kalaupun laki-laki lebih dulu disebut baru kemudian perempuan, bukan berarti laki-laki memiliki tempat lebih dulu, tidak ada maksud untuk itu. Sedangkan kisah dalam Kej. 2:18-25, sekalipun laki-laki diciptakan lebih dulu, tetapi justru untuk menunjukkan bahwa laki-laki memerlukan perempuan. Dalam kisah tersebut dikatakan bahwa Tuhan menempatkan Adam (manusia laki-laki) di taman Eden. Tuhan melihat manusia laki-laki itu tidak baik hidup sendiri sebagai laki-laki, maka Tuhan menciptakan penolong yang sepadan dengan dia. Tuhan menciptakan binatang hutan dan burung di udara.
Tuhan menciptakan binatang di hutan dan burung udara sebagai penolong yang sepadan dengan manusia laki-laki, tetapi ternyata manusia (laki-laki) belum menjumpai penolong yang sepadan (ay.20). Bayangkan jika binatang-binatang itu sudah dapat menjadi penolong yang sepadan, maka tidak akan diciptakan perempuan dan laki-laki hidup hanya binatang-binatang. Untuk itulah Tuhan menciptakan perempuan bagi laki-laki. Tuhan menciptakan perempuan tidak seperti menciptakan binatang-binatang, yaitu membentuknya dari tanah (ay.19), melainkan dari tubuh laki-laki, yaitu dari rusuk laki-laki (ay.21). Bukan hanya Tuhan yang memandang perempuan adalah penolong yang sepadan bagi laki-laki, tetapi laki-laki sendiri mengakui perempuan sebagai miliknya yang akan menjadi penolong yang sepadan. Perempuan bukan menjadi milik yang hanya terima diatur oleh laki-laki seperti binatang-binatang yang terima saja diatur dan diberi nama oleh laki-laki. Perempuan memiliki peran, status dan kedudukan yang sama atau sepadan dengan laki-laki; perempuan menjadi teman dan tempat bagi laki-laki untuk berbagi. Aurelius Agustinus, seorang bapa gereja dan filsuf pendidikan agama Kristen, menulis sajak tentang perempuan. Sajak ini kemudian digubah oleh Dale S. Hadley, demikian:

Woman was created from the rib of man Perempuan diciptakan dari laki-laki
not from his head to be above him bukan dari kepalanya untuk menjadi atasan
not from his feet to be walked upon bukan pula dari kakinya untuk dijadikan alas

but from his side to be equal melainkan dari sisinya untuk menjadi mitra
near his arm to be protected dekat pada lengannya untuk dilindungi
and close to his heart to be loved. dan dekat di hatinya untuk dicintai.

Dari kisah penciptaan manusia, tampak bahwa Tuhan tidak membedakan status, peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya diciptakan untuk dapat menjadi mitra kerja atau penolong yang sepadan, saling melengkapi, saling membutuhkan dan saling mendukung.

Kisah-kisah Lain
Bagian-bagian lain dalam Perjanjian Lama juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki status, peran dan kedudukan yang sama dengan perempuan; laki-laki dan perempuan merupakan penolong yang sepadan. Kisah-kisah tersebut antara lain:

1. Kisah Sarai, isteri Abraham (Kej. 12:10-20). Dalam kisah ini, Sarai sebagai seorang isteri, seorang perempuan, dapat bekerja sama dengan Abraham suaminya. Kerelaannya untuk untuk berbohong dan diambil Firaun bukan merupakan ketaatan atau ketidakberdayaannya terhadap kekuasaan Abraham, melainkan merupakan bentuk kerja sama untuk keselamatan bersama. Demikian juga Abraham bukan merendahkan atau melecehkan Sarai, tetapi memperlihatkan bahwa ia membutuhkan Sarai sebagai penolongnya.
Kisah Debora (Hak. 4). Debora adalah isteri Lapidot, seorang perempuan yang berperan sebagai nabi dan memerintah sebagai hakim (ay.4). Sekalipun ia seorang perempuan tetapi ia hakim maka orang Israel, yang adalah laki-laki, datang kepadanya untuk berhakim (ay.5). Bahkan Barak sebagai seorang laki-laki tidak memandang rendah Debora, ia justru akan berani maju perang jika Debora juga ikut maju perang. Demikian juga Debora sebagai seorang perempuan karena dibutuhkan oleh Barak maka ia ikut perang. Dalam kisah tersebut, ditunjukkan juga bahwa perempuan dapat bekerja sama dan menjadi penolong laki-laki. Sisera, seorang panglima tentara yang telah menindas bangsa Israel dengan keras, ternyata mati di tangan seorang perempuan (ay.21).
Kisah Rut, yang menunjukkan bahw Rut sebagai seorang perempuan memiliki ketegaran dan ketegasan dalam hidupnya dengan tetap setia pada pilihannya untuk mengikuti Naomi karena ia sudah memilih Allah Naomi sebagai Allahnya. Dalam kisah tersebut juga tampak bahwa Rut sebagai seorang perempuan membutuhkan laki-laki (Boas) dan Boas sebagai seorang laki-laki menunjukkan sikap mengasihi dan menghargai Rut.

Laki-laki dan Perempuan dalam Perjanjian Baru
Pandangan masyarakat Yahudi, yang mendiskriminasikan perempuan, masih terlihat dalam bagian-bagian Alkitab di Perjanjian Baru. Rasul Paulus melarang perempuan berpartisipasi dalam percakapan jemaat “…perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara … Jika mereka ingin mengetahu sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah” (1 Kor. 14:34-35). Bahkan dalam surat Timotius ada larangan bagi perempuan mengajar di jemaat: “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki…” (1 Tim. 2:12). Dan yang menarik adalah alasan larangan tersebut, yaitu: “Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa” (1 Tim. 2:13).
Bahkan untuk masa sekarang, tidak jarang juga ada bagian-bagian Alkitab yang dipakai untuk membedakan status, perang dan kedudukan perempuan. Misalnya saja Efesus 5:22-23: “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.” Padahal ayat tersebut tidak berhenti di situ tetapi berlanjut ke ayat 25: “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan menyerahkan diri-Nya baginya…”. Artinya, antara suami dan isteri tidak ada yang lebih utama ataupun yang lebih tinggi. Isteri akan tunduk dan hormat kepada suami jika suami mengasihi isterinya, demikian juga suami akan mengasihi isterinya jika isteri menghormati suaminya. Keduanya saling menghormati dan saling mengasihi, saling membutuhkan dan merupakan teman/penolong yang sepadan.

Yesus dan Perempuan
Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengangkat status, peran dan kedudukan perempuan yang oleh masyarakat justru direndahkan. Kisah mertua Simon (Mrk. 1:30) menunjukkan bahwa Yesus menghadirkan seorang perempuan yang melayani. Sikap melayani inilah yang hendak diangkat oleh Yesus, bahwa seorang murid harus mau melayani. Yesus bukan hanya mengangkat perempuan tetapi juga perempuan Syro-Fenisia (Mrk. 7:24-30), seoraang perempuan yang sangat direndahkana tetapi Yesus justru menunjukkan betapa besar iman perempuan ini. Demikian juga pandangan Yesus terhadap perceraian (Mrk. 10:1-12), yang mengubah cakrawala perempuan sebagai pihak yanag direndahkan. Yesus menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan, jika laki-lakai dapat menceraiakan isterinya maka laki-laki tidak dapat begitu saja mengawinkan perempuan lain.

Penutup
Dalam kekristenan, khususnya Alkitab, laki-laki dan perempuan pada dasarnya memiliki status dan peran yang sama. Mereka diciptakan segambar dengan Allah dan berasal dari satu sumber. Laki-laki berasal dari Allah dan perempuan berasal dari laki-laki. Laki-laki dan perempuan ditempat di dunia ini secara bersama-sama dalam satu kesatuan, dalam sebuah relasi baik personal/pribadi maupun kerja. Mereka berfungsi untuk mengelola, memanfaatkan dan memelihara dunia ciptaan Tuhan dan sekaligus berreproduksi untuk melanjutkan keturunan/manusia.
Namun dalam lingkungan umat Kristen sejak awal maupun hingga saat ini, ada saja pandangan dan sikap yang membeda-bedakan kedua jenis kelamin itu. Ini memang dipengaruhi oleh budaya atau adat istiadat di mana umat itu berada. Ini yang perlu dipahami oleh kita sebagai orang Kristen pada masa kini dan dengan begitu kita tidak menerima dan menerapkan begitu saja ajaran dan praktek yang merendahkan salah satu pihak, terutama perempuan. Melihat status dan peran laki-laki dan perempuan sebagaimana diciptakan oleh Tuhan, ada persamaan atau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ini yang perlu diperjuangkan oleh setiap orang percaya.





[1] Makalah ini disampaikan pada acara seminar tentang Gender, oleh PGI Wilayah Banten, di GKJ Tangerang, pada hari Sabtu, 11 November 2006.

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM ISLAM[1]

Oleh : Pdt. Stanley R. Rambitan




Pendahuluan

Perbedaan jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, dalam kehidupan sosial dan keagamaan umumnya merupakan pokok persoalan yang cukup mengundang perhatian. Di dalam lingkungan umat Islam, masalah ini telah menjadi perbincangan yang cukup lama tampaknya akan tetap dipercakapkan terus-menerus. Hal ini karena adanya pemahaman yang berbeda dan bahkan bertentangan antara kelompok yang menonjolkan perbedaan status dan perlakuan terhadap kedua jenis kelamin yang berbeda ini dan yang menolaknya. Yang mendukung pembedaan itu berdasarkan pada pemahaman mereka terhadap ajaran Qur’an dan ajaran tradisional yang dipengaruhi oleh budaya Timur Tengah, sedangkan yang menolak pembedaan atau yang mendukung perlakuan yang sama mendasarkan pemahamannya pada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan seperti hak asasi manusia.

Sebenarnya di dalam Islam, ada beragam pemahaman dan tentu penafsiran terhadap pandangan tentang manusia dengan jenis kelamin (gender) yang berbeda ini. Agar diperoleh pemahaman yang objektif terhadap persoalan gender ini maka dalam makalah ini akan disampaikan pandangan Al-Qur’an dan pemahaman serta perlakuan di dalam lingkungan umat Islam terhadap manusia yang berjenis kelamin berbeda ini.


Laki-Laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa keberadaan atau status manusia yang berbeda jenis kelamis itu, yaitu laki-laki dan perempuan adalah suatu kodrat manusiawi dan juga ilahi. Ini karena Manusia diciptakan Allah memang terdiri dari dua jenis yang berbeda itu. Pembedaan itu dimaksudkan agar masing-masing dapat hidup bersama dlam sebuah relasi; bahwa mereka diciptakan dengan maksud supaya mereka berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. (QS al-Najm (53):45, “Dan bahwasanya, Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan”. (QS al-Qiyamah (75): 39, “Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan”. QS al-Naba (78): 8, “Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan.” (QS al-Layl (92): 3, “Dan Penciptaan laki-laki dan perempuan.” Di sini juga jelas bahwa, manusia yang diciptakan oleh Tuhan hanya terdiri dari dua jenis, dan karena itu tidak ada jenis yang lain (seperti Waria).

Manusia yang berbeda jenis kelamin itu berasal dari satu sumber, yaitu Allah yang kemudian menciptakan manusia pertama (Adam), dan dari Adam Tuhan membuat manusia pasangannya perempuan (Hawa). QS al-A’raf (7): 189, “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya…(dst); band. QS al-Zumar (39): 6; band. QS al-Rum (30):21, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Di sini jelas bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari satu sumber, satu bahan, karena itu mereka adalah satu (atau berpasang-pasangan). Kesatuan antara keduanya menjadi kodrat atau menjadi sifat/karakter masing-masing. Laki-laki dan perempuan harus atau perlu bersatu untuk mengungkapkan kodrat dan karakternya itu dan untuk dapat memaknai dan menikmati kehidupan kemanusiaannya. (Karena itu orang perlu menikah). Yang menjadi pengikat atau yang mempersatukan mereka adalah adanya rasa cinta, kasih dan sayang. Dengan itu semua, maka terwujudlah maksud dari penyatuan atau hidup berpasang-pasangan bagi laki-laki dan perempuan, yaitu agar mereka merasakan kesenangan dan ketentraman atau kebahagiaan.
Dari penjelasan di atas, dapatlah dikatakan bahwa manusia,laki-laki dan perempuan, saling membutuhkan untuk dapat mengalami dan merasakan hidup yang penuh makna dan dinikmati.

Tuhan menempatkan manusia, laki-laki dan perempuan, Adam dan Hawa di taman Firdaus dengan sebuah tanggung jawab yang sama, yaitu melakukan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya. QS al-A’raf (7):19, “(Dan Allah berfirman) “Hai Adam bertempat tinggalah kamu dan istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan jangan kamu berdua mendekati pohon ini,lalu menjadikan kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim”; band. QS Al-Baqarah (2): 35. Di sini, Tuhan tidak membedakan tugas dan tanggungjawab mereka; pokoknya mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Maksud utamanya adalah agar mereka dapat tetap hidup di Firdaus yang Tuhan berikan untuk mereka. Untuk tujuan ini mereka harus melawan kekuatan atau kekuasaan yang jahat,atau iblis. QS Tha Ha (20):117, mengatakan: “Maka Kami berkata, “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka”.

Dalam menghadapi iblis ini, kesatuan manusia berdua itu diperlukan. Dan dalam pelaksanaan perintah Tuhan atau tugasnya itu, laki-laki dan perempuan diberi status dan peran yang sama yaitu harus berbuat baik. QS al-Nisa (4) 1, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak…dst. QS Luqman (31):14, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya,…dst; band. QS al-Ahqaf (46): 15. Perbuatan baik menjadi tanggungjawab bersama, tidak hanya oleh satu pihak. Dan di sini diperlukan kesatuan dan kerja sama.

Sampai pada hal sini, perbedaan jenis kelamin tidak terlihat. Laki-laki dan perempuan memiliki status, peran, tugas dan tanggung jawab yang sama. Dan perlakuan terhadap masing-masing juga adalah sama. Namun demikian pada bagian lain, ada pemberian kesan di dalam Qur’an tentang pandangan orang (Fir’aun) bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah, yang patut dilindungi tapi juga dapat diperlakukan semena-mena. QS al-A’raf (7):127, “Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun),”Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?” Fir’aun menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka”. Juga, dalam hal lain, ada kesan bahwa perempuan tidak diterima secara layak dalam kehidupan masyarakat dan bahkan diperlakukan secara buruk. Ini perlihatkan dalam Qur’an: QS al-A’raf (7):83, “Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya, dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)” (Band. QS al-Naml (27):57). QS al-Tahrim (66): 10, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir…dst”. Di bagian lain juga digambarkan tentang perempuan yang melakukan peran yang negatif, yaitu sebagai penggoda. QS Yusuf (12):51, “Raja berkata (kepada perempuan-perempuan itu), “Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?” Mereka berkata, “Mahasempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya.” Berkata istri al Aziz, “Sekarang jelaskan kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku) dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” Di sini,perempuan dianggap sebagai pihak yang menjadi alat kejahatan. Namun karena orang yang digoda itu memiliki daya tahan iman yang kuat maka godaanya itu tidak mempan. Yusuf terbukti adalah orang yang benar. Pandangan negatif yang serupa juga terlihat dalam catatan Qur’an yang memperlihatkan bahwa perempuan difungsikan sebagai pemenuh kebutuhan lahiriah atau pemuas nafsu kaum lelaki. QS al-Hijr (15): 71, “Luth berkata, “Inilah putri-putri (negeri)ku, (kawinilah dengan mereka) jika kamu hendak berbuat (secara yang halal).” (Di sini ada tersirat tentang fungsi lembaga perkawinan, yaitu untuk mencegah manusia atau laki-laki memenuhi kebutuhan lahiria-seksualnya dengan tidak menyalahi hukum Tuhan. Jadi,dari pada berbuat dosa,lebih baik kawin).

Di balik penilaian negatif terhadap perempuan di atas, terhadap anak laki-laki diberi penilaian yang positif; bahwa laki-laki lebih bernilai daripada perempuan. QS al-Najm (53):21, “Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?”, dan ayat 27, “sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama-nama perempuan”. QS al-Shaffat (37): 149-150, “Tanyakanlah (ya Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Makkah), “Apakah untuk Tuhanmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak-anak laki-laki, atau apakah Kami menciptakan malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan(nya)?”, dan ayat 153, “Apakah Tuhan memilih mengutamakan anak-anak perempuan daripada anak laki-laki?” Ayat-ayat itu sebenarnya merupakan sindiran terhadap orang-orang yang berbuat dosa, yang sikapnya seolah-olah memberikan sesuatu yang lebih berharga kepada diri sendiri dibandingkan dengan kepada Allah. Dan yang diberi gambaran sesuatu yang lebih berharga laki-laki dan yang kurang bernilai adalah perempuan.

Sebenarnya menurut ajaran Qur’an, laki-laki dan perempuan mestinya diperlakukan secara sama. Mereka juga saling menghargai dan menerima keberadaan masing-masing. QS al-Nisa (4):4, “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada (perempuan yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” Hal ini memperlihatkan bahwa Qur’an menjunjung tinggi kesetaraan gender atau perbedaan jenis kelamin. Dan bahkan terhadap kelebihan masing-masing pihak,Qur’an juga menekankan untuk orang dapat menreima itu dengan lapang dada; bahwa laki-laki memiliki keistimewaannya, dan demikian juga perempuan. Dan ini hendaknya diakui karena ini adalah pemberian Tuhan dan yang diusahakan oleh masing-masing pihak. Jadidi sini ada penghargaan terhadap usaha manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini dapat menghindarkan orang pada sikap yang tidak benar,yaitu iri hati dan dengki. QS al-Nisa (4):32, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) sebagai rang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan,dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Manusia, laki-laki dan perempuan memiliki status, peran dan kemampuan yang sama dalam mengusahakan kelebihannya masing masing. Ini tidak terbatas juga pada kesempatan dan kemampuan untuk menjadi pemimpin. Baik laki-laki diberi hak dan kemapuan yang sama dan perempuan diberi hak dan kesempatan juga untuk menjadi pemimpin. QS al-Naml (27):23, “sesungguhnya aku mempuanyai seorang perempaun yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”. Jadi jika ada orang yang dengan sengaja menghambat perempuan untuk menjadi pemimpin dengan menggunakan dalil-dalil agama atau ajaran adat-budaya maka ia menyalahi kodrat ilahi bagi manusia-perempuan itu dan menyalahi kehendak atau sunnah Allah.

Satu hal yang penting untuk diperhatikan juga adalah bahwa Alla mendengar kebutuhan dan tuntutan perempuan, sebagaimana setiap orang yang beriman kepada-Nya. Perempuan tidak diabaikan atau diperlakukan secara berbeda oleh Tuhan. QS al-Mujadilah (58): 1, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Jadi jika ada orang yang mengabaikan perempuan,memperlakukan merekasecara tidak wajar dan tidak manusiawi, maka sikap ini juga menyalahi dan melawan perintah dan sikap Allah.


Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam

Di dalam kehidupan umat Islam, sejak Nabi Muhammad sampai saat ini, pandangan dan sikap manusia terhadap masalah jenis kelamin ini sangat beragam dan relatif, disesuai dengan keadaan,pergumulan dan pemahaman umat. Pandangan dan sikap yang menganggap superior pihak pria dan menganggap rendah wanita berasal atau dipengaruhi oleh bidaya atau adat masyarakat padang gurun.

Kehidupan yang keras membuat kebutuhan terhadap kaum pria yang memiliki kemampuan fisik yang dapat diandalkan menjadi penting. Sedangkan perempuan yang tidak memiliki fisik yang kuat tidak dianggap penting sehingga mereka mejadi kelompok manusia yang dipinggirkan. Inilah latar belakang pandangan yang diskriminatif, khususnya yang merendahkan perempuan di dalam kalangan Islam. Di samping itu, pandangan negatif secara moral erhadap wanita membuat mereka diperlakukan secara khusus. Misalnya, mereka harus memakai pakaian khusus, untuk menutup bagian-bagian tubuh yang dapat menggoda pria. Jadi di sini perempuan dipahami sebagai pihak yang dapat menjatuhkan kaum pria ke dalam dosa. Sebagai perimbangan lain: sikap Muhammad yang mengambil banyak wanita sebagai istri (poligami), dilihat sebagai suatu sikap positif. Alasanya adalah bahwa Muhammad mengawini wanita-wanita itu karena beban dan tanggung jawab moral dan keagamaannya. Wanita-wanita itu tidak dapat terpelihara dengan baik karena mereka sudah janda atau tidak ada pria lain yang mengawini mereka. Karena itu, agar hidup mereka terjaminbaik secara lahiriah dan batiniah, maka mereka perlu dikawini. Muhammad lalu melakukan hal itu.

Namun demikian, padangan dan perlakuan negatif terhadap wanita di atas mendapat tantangan dari berbagai kalangan. Kalangan yang menentang itu berpendapat perlakuan negatif/rendah terhadap perempuan dan junjungan kepada kaum pria merupakan kebutuhan kontekstual atau situasional, yang tentu akan berbeda di jaman dan masyarakat yang lain. Karena itu, tidaklah sesuai lagi alasan-alasan untuk adanya pandangan dan memperlakukan rendah terhadap wanita. Kelompok ini umumnya datang dari kalangan intelektual yang berusaha memahami dan menerapkan ajaran agama secara benar dan efektif di dalam masyarakat atau pada manusia, dan yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia, juga perempuan.


Penutup

Pandangan terhadap manusia yang berbeda jenis kelamin di dalam Islam ternyata beragam. Namun secara jelas dapat dipahami bahwa Qur’an tidak menonjolkan perbedaan jenis kelamin itu. Bahkan Qurán memperlihatkan dukungan yang kuat terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki status dan peran yang sama di hadapan Allah. Mereka diciptakan setara, dan untuk berpasang-pasangan, bersatu dan bekerja sama untuk menciptakan dan mengalami hidup yang menyenangkan, tentram dan damai. Walaupun demikian, dalamprakltek, memang ada pandangan dan praktek yang memperlihatkan penghargaan yang kurang terhadap perempuan. Ini memang dipengaruhi oleh keadaan, pergumulan, kebutuhan dan pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama. Diperlukan sebuah usahakerja dan pembelajaran agar orang dapat memiliki apresiasi dan penerimaan yang tulus terhadap sesama manusia yang berlainan jenis kelamin yang memiliki hak-hak asasi untuk bebas menjadi manusia dan bebas mengungkapkan kemanusiaanya.


[1] Makalah ini disampaikan pada acara seminar tentang Gender, oleh PGI wilayah Banten, di GKJ Tangerang,pada hari Sabtu, 11 November 2006

GEREJA DAN PELAYANAN

GEREJA DAN MOTIVASI DALAM PELAYANAN
Pokok-pokok Pikiran tentang Keberadaan, Dinamika dan Motivasi dalam Pelayanannya[1]

Stanley R. Rambitan





Pengertian “Gereja”

Kata “gereja” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Portugis igreja yang diambil dari bahasa Yunani ekklesia, yang berarti “kumpulan orang” (Kis. 19:32, 39-40). Di sini, gereja berarti orang. Arti hurufiah yang lain dari kata gereja adalah tempat orang berkumpul, atau rumah Tuhan (Kyriake Oikia), atau synagoge (Kis. 1:14; 2:46; dan Roma 15:6). Gereja lalu dipahami sebagai “kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan dan masuk ke dalam terang Tuhan Yesus dan yang yang mendapatkan keselamatan. Dengan kata lain, gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Tuhan yang ingin beribadah kepada Allah; yang mengungkapkan imannya dalam ibadah itu melalui doa, pujian-sembahan dan permohonan, nyanyian puji-pujian, pemberian persembahan dan yang ingin mendengar dan merenungkan Firman Tuhan, serta yang ingin mendapatkan berkat Tuhan dari ibadah itu. Gereja yang tampak dalam ibadah ini berdasar pada kata-kata Yesus “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20).


Fungsi Gereja

Gereja menjadi tempat umat bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhan. Sehubungan dengan ini, gereja juga menjadi jembatan atau alat penghubung antara Allah dengan manusia pada umumnya atau dunia (termasuk di dalamnya, umat agama atau kepercayaan lain, adat istiadat dan kebudayaan pada umumnya). Di samping itu, secara khusus, gereja juga menjadi tempat orang-orang mengungkapkan diri atau imannya, saling menyapa, mendengar dan menjawab, saling memberi dan menerima. Jadi gereja memiliki makna dan fungsi teologis atau ilahiah (yaitu kehadiran Allah dan hubunganNya dengan umat) dan sosiologis-kemanusiaan yaitu sebagai organisasi atau organisme yang berisi orang-orang beriman.

Di dalam Alkitab, status dan fungsi gereja digambarkan dengan simbol-simbol seperti tubuh Kristus, di mana Kristus menjadi Kepala (1 Kor.12:12; Ef.1:22; 4:15; 5:23; Kol.1:18; 2:19), persekutuan dalam satu roh (1 Kor.12:3; Gal.5:16; Ef.2:16, 18), jemaat yang berkumpul (Mat.18:20; 1 Kor.1:2; Kol.4:16; 1 Tes.1:1, dsb), jemaat yang beriman atau yang mengaku (Mrk 8:29; Rm 10:9-10; 1 Kor.1:3; Fil2:9-11), jemaat yang bersaksi (1 Tim 2:4; Mat.10:1; Mrk 6:7; Mat 28:19-20, dsb) dan jemaat yang melayani (Rm 15:8; Fil 2:7; Luk 22:27 dan Yoh 12:26). Secara fungsional, gereja mengandung makna dan tugas pembentukan dan pengembangan spiritual atau kerohanian dan etika-moral, baik bagi warganya maupun

masyarakat atau dunia. Makna dan tugas inilah yang secara umum dan tradisional kita kenal sebagai tri tugas panggilan gereja, yaitu persekutuan (Koinonia), pelayanan (Diakonia) dan kesaksian (Marturia). Fungsi-fungsi atau tugas panggilan gereja di atas, dalam praktek bergereja dijabarkan dalam berbagai kegiatan, yaitu ibadah (termasuk ibadah kelompok kategorial), pemberitaan Firman, baptisan, perjamuan kudus, doa-doa, pengajaran atau katekisasi, pekabaran injil atau evanglisasi, penggembalaan dan diakonia.


Penatalayanan Gereja

Gereja adalah sebuah organisme yang dipercaya sebagai milik dan dikepalai oleh Yesus Kristus (Kolose 1:18). Gereja tentu memerlukan pengaturan yang berbeda dengan lembaga manusiawi atau sosial umum yang menerapkan prinsip-prinsip managerial yang baku. Pengaturan gereja tentu menyesuaikan dengan ciri, sifat dan dasar gereja. Gereja adalah persekutuan yang berciri manusiawi tetapi juga ilahiah. Dasar dan sifat pelayanannya adalah cinta-kasih, kemurahan dan kerelaan hati dan pelayanan kepada Tuhan dan jemaatNya. Yang menjadi ciri utama pengaturan gereja adalah cinta-kasih dan pelayanan itu. Karena itu, dalam hal istilah, kata yang lebih cocok dipakai untuk menyebut pengaturan gereja bukanlah penataan atau pengaturan atau manajemen, tetapi penata-layanan. Dengan istilah penata-layanan ini, pemutlakan pelaksanaan peraturan di dalam gereja menjadi tidak pantas atau tidak sesuai (dengan sifat gereja).

Penata-layanan bukanlah hal baru dalam kehidupan keagamaan Kristen. DalamAlkitab contoh pemakaian penataan dalam mengelola umat. Ini telah diperlihatkan dalam cerita Musa yang dinasihati oleh Yitro untuk menata kepemimpinan umat (Kel 18:13-27). Juga di dalam Perjanjian Baru, pengaturan tentang jabatan-jabatan gereja juga sudah diberlakukan. Jabatan yang pertama yang diperkenalkan oleh Yesus adalah sebagai diakonos, yaitu pelayan. Yesus sendiri adalah pelayan (Flp.2; Luk. 22:27; Mrk 10:43). Sebagai pelayan, Ia merendahkan diriNya; Yesus membasuh kaki murid-muridNya. Inilah yang diberi contoh oleh Yesus kepada murid-muridNya, yaitu menjadi pelayan dan merendahkan diri dalam melayani orang lain. Di jaman Yesus, ada jabatan-jabatan lain rasul, nabi, guru, penilik jemaat (atau penatua atau presbiter) (Rm 12; Ef. 4; 1 Kor.12; 1 Tim.2; 5:17; 2 Tim 2:2; Tit 1:9,dsb).

Dalam perkembangan kemudian, ada jabatan-jabatan yang tidak dipergunakan lagi, seperti nabi dan rasul, dan digantikan oleh jabatan-jabatan baru yang lebih ditonjolkan, seperti uskup, presbiter/penatua dan diaken/syamas. Penatuan dan diaken dibedakan oleh fungsinya masing-masing. Presbiter bertanggung jawab untuk pendidikan-pengajaran atau pemberitaan firman dan pengelolaan gereja, sedangkan diaken bertugas untuk melayani jemaat yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan sosial-psikologis atau material-spiritual. Kedua jabatan ini digabungkan dalam satu lembaga gerejawi yang disebut Majelis Gereja/Jemaat. Jadi di dalam gereja kemudian terdapat dua kelompok yaitu Majelis Gereja dan Warga Gereja. Majelis Gereja bertanggung jawab atas penyelenggaraan kehidupan bergereja. Di samping penata-layanan, yang perlu diatur di dalam bergereja adalah sistem penatalayanan dan ajarannya. Hal ini untuk memberikan pegangan yang jelas dan pasti kepada jemaat tentang apa yang dipahami oleh gereja tentang mekanisme kerja atau pengorganisasian dan pokok-pokok ajaran iman.


Dinamika Gereja

Gereja sebagai oraganisasi atau organisme ilahiah dan manusiawi tentu memiliki dinamika sendiri. Dinamika gereja adalah gerakan-gerakan atau ungkapan-ungkapan prilaku hidup dan iman orang-orang di dalamnya. Dasar, sifat dan tujuannya adalah ajaran-ajaran Tuhan yang diimani, yaitu cinta kasih dan pelayanan demi kemuliaan Tuhan dan kedamaian-ketentraman dan keselamatan umatNya. Dengan dasar pemikiran ini maka banyak orang yang memahami gereja sebagai tempat mendapatkan kedamaian dan keselamatan; bahwa orang-orang di dalam gereja adalah “orang-orang suci” yang “berhati malaikat”.

Namun, gereja sering dijadikan tempat mengungkapkan diri dengan memperlihatkan prilaku seturut dengan kehendak pribadi atau kelompok yang memiliki pemahaman, idealisme dan keinginan sendiri. Tidak jarang, keinginan itu tidak sesuai dengan ciri dan sifat cinta-kasih dan pelayanan itu. Hal ini dapat membawa malapetaka, yaitu kerusuhan dan perpecahan di dalam gereja. Jadi memang, gereja tidak hanya menjadi tempat berdiamnya dan diperolehnya kedqamaian dan ketentraman, tapi juga tempat di mana orang menemukan ketidak-damaian dan ketidak-tentraman.

Dinamika gereja ditentukan oleh tempat atau lokasi (dengan pengaruh unsur-unsur budaya, sosial, politik dan relasi-relasi dengan umat lain) dan kondisi internal warga jemaat (dengan latar-belakang sosial-ekonomi dan pendidikan tertentu). Kita mengenal jemaat dengan latar belakang suku tertentu dan yang nasional-umum; jemaat kota (kota metropolitan, kota besar, kota sedang, kota kecil) dan jemaat desa (desa yang mudah dijangkau dan yang terpencil); jemaat dengan ekonomi lemah dan kuat; jemaat yang mayoritas kaum intelektual dengan pendidikan tinggi dan yang rata-rata berpendidikan rendah; jemaat dengan ciri khas golongan/pekerjaan tertentu dan yang umum. Dalam lingkup yang lebih kecil, dalam satu jemaat, kita juga menemukan beragamnya latar-belakang keberadaan, pemikiran dan keinginan dan ekspresi-ekspresi diri masing-masing warga jemaat. Para penata-layan gereja tentu perlu memperhatikan hal ini. Demi efektifitas pelayanan, bentuk-bentuk pelayanan yang dilakukan di masing-masing jemaat dan juga individu-individu warga ini tentu akan berbeda satu dengan yang lain.


Motivasi dalam Pelayanan Gereja

Motivasi adalah niat, alasan, dasar atau hal yang mendorong atau menggerakkan seseorang melakukan sesuatu. Intensitas, kesungguhan, keseriusan dan keuletan seseorang di dalam melakukan sesuatu tergantung pada motivasi itu. Motivasi menentukan daya dan kinerja seseorang dan hasilnya. Motivasi ditentukan oleh dua unsur utama, yaitu: pertama, kekuatannya, dan kedua, kebenarannya. Dua unsur ini saling berkaitan atau bergantung. Motivasi yang kuat dan benar akan menghasilkan kinerja dan hasil kerja yang maksimal. Sebaliknya motivasi yang lemah dan tidak benar akan menghasilkan kinerja dan hasil yang minimal atau buruk. Di bawah ini akan dipaparkan berbagai motivasi yang ditemukan pada diri pelayan-pelayan gereja.

Motivasi sosial-kultural

Orang yang memiliki motivasi ini menjadi pelayan dan menjadikan tempat pelayanan sebagai wahana untuk mendapatkan jati diri atau identitas, untuk bergaul mendapatkan teman atau pacar, dan pengakuan diri di dalam komunitas gereja. Orang ini melihat gereja dan pelayanannya sebagai sarana dan kesempatan untuk mendapatkan dan memenuhi kebutuhan sosial-kulturalnya. Jika yang dibutuhkan terpenuhi maka ia akan tinggal dan bahkan akan berusaha untuk mempertahankan peran dan juga bisa lebih aktif. Namun jika tidak maka, ia akan menjadi tidak bersemangat, tidak efektif dan bisa mengundurkan diri.


Motivasi psikologis

Motivasi ini dimiliki oleh orang yang melihat gereja sebagai tempat dan sarana pengungkapkan diri, kemampuan atau talenta yang dirasa dimilikinya. Dengan mendapatkan sarana dan kesempatan pengungkapan diri itu, orang yang bersangkutan mendapatkan kepuasan batin. Jadi motivasi ini adalah demi kepuasan batin. Karena itu, banyak juga orang yang terlibat di dalam pelayanan adalah orang-orang yang mengalami kegagalan dan ketidak puasan di tempat lain; atau orang-orang yang mengalami persoalan di keluarga, sekolah, tempat kerja, dsb. Jadi di sini, gereja dan pelayanannya dijadikan sebagai tempat pelarian.

Motivasi politis

Motivasi ini ada pada orang yang melihat gereja sebagai lembaga yang dapat memberikan dukungan bagi kepentingan pribadi-politisnya. Dengan motivasi ini, orang yang bersangkutan mengaktifkan diri di dalam pelayanan gereja karena dia ingin mendapatkan dukungan dari warga gereja untuk kepentingan posisinya baik di masyarakat, tempat kerja, di keluarga atau di dalam pergaulan pribadinya.

Motivasi bisnis-ekonomis

Orang dengan motivasi ini melihat gereja sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang dapat dijadikan partner bisnis. Keterlibatannya di dalam pelayanan adalah dalam rangka mencari orang yang dapat diajak berbisnis bersama atau yang dapat menjadi pendukung bisnisnya. Dengan demikian, tempat dan pelayanannya di gereja dianggap menguntungkan secara ekonomis segingga dia mau terlibat di dalamnya.

Motivasi teologis-iman

Orang yang memiliki motivasi teologis atau iman adalah orang yang melihat gereja dan pelayanannya sebagai tempat untuk melayani Tuhan dan jemaatNya. Motivasi pelayanannya didasari pada pemahaman bahwa ia telah diselamatkan oleh Tuhan, dan ia telah menjadi murid atau pengikut Tuhan yang setia. Karena itu sebagai tanda ungkapan syukur dan sebagai murid Tuhan, ia melibatkan diri secara aktif dalam pelayanan. Di samping merupakan ungkapan syukur dan pengabdian, motivasi ini juga adalah tanda pelaksanaan tanggung tugas dan jawab yang diberikan Tuhan kerpadanya sebagai anak dan hamba Tuhan yang memuliakan Tuhan. Dalam lingkup motivasi teologis-iman ini kita juga dapat memasukkan nazar atau janji yang pernah diungkapkan kepada Tuhan. Nazar atau janji juga menjadi motivasi orang untuk aktif dalam pelayanan gereja, dan ini adalah motivasi teologis-iman karena hal itu disampaikan kepada Tuhan dan dilakukan berdasarkan pemahaman-iman kepada Tuhan.

Motivasi yang benar dan ideal adalah motivasi teologis-iman. Namun tidak bisa disangkali bahwa motivasi-motivasi yang lain itu ada di dalam pelayanan gereja. Itu tidak dapat dibuang atau dikatakan dilarang karena jika demikian maka orang-orang yang memiliki motivasi bukan teologis-iman itu tidak akan datang ke gereja. Karena itu, adalah lebih baik jika menerima motivasi-motivasi lain itu dan kemudian ditundukkan di bawah kekuasaan motivasi teologis-iman, sehingga sekalipun motivasi-motivasi lain itu ada tetapi ia tidak menguasai pemikiran dan pelayanan orang yang bersangkutan. Orang yang melayani itu mengutamakan pelayanan bagi Tuhan dan jemaatnya.

Profil Ideal Para Pelayan

Secara umum warga menghendaki para pelayan sebagai figur-figur dengan perilaku dan penampilan yang ideal dari segi kemampuan dalam pelayanan praktis seperti pengetahuan Alkitab dan ajaran gereja, kesalehannya, komitmen dan dedikasinya. Secara rinci profil yang diharapkan kalangan umum jemaat adalah orang yang berpengetahuan dan keterampilan (tentang Alkitab, tentang ajaran dan praktek/ibadah gereja dan pengetahuan umum), berhikmat, rendah hati, tidak sombong, pengasih-penyayang, berani, setia, sabar, takut pada Tuhan dan dengar-dengaran pada FirmanNya, tidak pemarah, tegas, rajin, rela berkorban, penggembira dan selalu bersuka cita dalam melakukan pelayanan. Tentu keberadaan, ciri dan sifat pelayan yang diharapkan itu tidak dapat dipenuhi oleh seseorang. Tetapi tentu orang yang terlibat dalam pelayanan itu diberi Tuhan kemampuan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Inilah pengharapan iman seorang Kristen apalagi seorang yang melayani Tuhan.

Sebagai pahala untuk pelayan Tuhan dan jemaatNya, kita meyakini bahwa kepenuhan kemanusiaan yang dari Tuhan, suatu kebahagiaan sejati Dia telah berikan. Firman Tuhan katakan “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1 Kor.15:58).

Demikianlah pokok-pokok pikiran untuk dapat menjadi pemikiran atau pertimbangan dan bahan percakapan dalam kehidupan bergereja. Sekian.






/srr/Agusts2008



[1] Makalah ini disampaikan pada acara Pembinaan Calon Majelis GKO Perum. Klender, Selasa, 05 Agustus 2008.

FORUM KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

Forum Kerukunan Umat Beragama
dan Persoalan Mendirikan Gedung Ibadah

Pdt. Stanley R. Rambitan[1]


Pengantar
Pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia membuat masing-masing umat beragama tidak bisa tidak harus saling berjumpa dan berinteraksi. Perjumpaan ini, di samping hal-hal positif seperti saling mengenal, membagi pengalaman dan bekerja sama, tidak jarang juga menimbulkan konflik dan bahkan kerusuhan. Tentu tidak ada pihak yang menghendaki sisi negatif perjumpaan antar umat beragama itu terjadi, termasuk pihak pemerintah. Karena itu, di dalam sejarah Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan yang mengatur kehidupan dan hubungan antar umat beragama.[2] Yang terbaru dan sangat populer di kalangan umat beragama adalah Peraturan Bersama Dua Menteri (atau PB2M), yang dikeluarkan oleh menteri agama dan menteri dalam negeri, tahun 2006.[3]

Ada empat pokok isi dari PB2M, yaitu mengenai :
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, atas nama Pemerintah
Pemeliharaan kerukunan Umat Beragama
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan
Pendirian Rumah Ibadat.

Mengenai FKUB tertulis di Bab III, pasal 8 sampai 12, sedangkan mengenai perdirian rumah ibadat terdapat dalam Bab IV, pasal 13 sampai 17. Kedua hal itu saling terkait karena FKUB termasuk pihak yang diberi hak dan wewenang untuk memberikan rekomendasi sebagai syarat untuk mendapatkan IMB gedung ibadat.

PB2M dipahami banyak kalangan sebagai bentuk baru dari Surat Keputusan Bersama dua Menteri (SKB 2 Menteri) No. 1, tahun 1969.[4] Seperti SKB 2 Menteri, PB2M juga adalah peraturan yang sangat kontroversial. Hal ini karena di dalam praktek justru tidak jarang konflik antar umat beragama, khususnya penutupan rumah ibadah, muncul akibat penerapan peraturan-peraturan itu yang tidak konsisten dan objektif oleh pihak-pihak yang tidak berwenang. Namun, berbeda dengan SKB 2 Menteri, yang disusun sendiri oleh pemerintah, PB2M disusun dengan melibatkan perwakilan-perwakilan pimpinan agama-agama yang ada di Indonesia, dan rumusan peraturan itu adalah hasil kesepakatan dan keputusan bersama.

PB2M dan khususnya adanya FKUB adalah produk hukum negara atau pemerintah. Jadi peraturan yang berlaku adalah mengikat bagi seluruh warga negara Indonesia, dalam hal ini seluruh umat beragama. FKUB sendiri dipahami sebagai lembaga “semi plat merah”, karena sekalipun para anggotanya adalah utusan-utusan dari lembaga keagamaan (dari enam agama: Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, Islam, Kristen dan Katholik), namun keberadaan dan keabsahan status dan peran mereka ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur; dan lembaga ini berkedudukan di kantor pemerintah, baik di provinsi maupun di kabupaten dan kotamadya. Dalam struktur pemerintahan daerah, sesuai PB2M, FKUB terdapat di tingkat provinsi dan di kabupates dan kotamadya. Status dan peran strukturalnya, khususnya menyangkut anggaran, FKUB berhubungan dengan Dinas Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial (DisBintalKesos). Jadi anggaran operasional FKUB menjadi tanggungan dalam APBD. Jumlah anggota FKUB, yaitu: provinsi sebanyak 21 orang dan kabupaten dan kotamadya sebanyak 17 orang. Di samping itu, ada dewan penasihat yang diketuai oleh Wakil Gubernur untuk tingkat provinsi dan wakil bupati atau walikota untuk tingkat kabupaten dan kotamadya.

Tugas-tugas FKUB provinsi dan kabupaten/kotamadya adalah sebagai berikut (dikutip langsung dari PB2M):
melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat
menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan
melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.
(untuk kabupaten dan kotamadya ditambag satu tugas, yaitu:)
memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.


Sesuai dengan tugasnya, khususnya tingkat Kabupaten dan Kotamadya, dalam hal pendirian rumah ibadat, FKUB memiliki hak dan wewenang memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat. Rekomendasi FKUB yang dimaksud adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pemohon untuk mendapatkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah. Di dalam pelaksanaannya, rekomendasi dari FKUB adalah syarat terakhir dan menentukan, setelah persyaratan-persyaratan lain terpenuhi, seperti diatur dalam bab IV PB2M, yaitu: 1) syarat adminstratif dan teknis bangunan, 2) daftar 90 nama beserta foto copy KTP pengguna bangunan, 3) dukungan sedikitnya 60 warga masyarakat sekitar gedung yang disahkan oleh aparat pemerintah (RT, RW dan Kepala Desa/Lurah), dan 4) rekomendasi tertulis kepala kantor Departemen Agama kabupaten/kotamadya.

FKUB akan memberikan rekomendasi dimaksud setelah memeriksa kelengkapan dari empat persyaratan tersebut di atas dan juga setelah melakukan pemeriksaan di lapangan, baik terhadap keadaan tempat dan juga melalui dialog dengan pipinan dan tokoh masyarakat sekitar. Rekomendasi disampaikan kepada Bupati/Walikota, yang nanti dengan mempertimbangan berbagai persyaratan dan rekomendasi itu, mengeluarkan IMB yang diminta.

Di dalam praktek pelaksanaan peran dan tugas FKUB, sejak PB2M dikeluarkan sampai saat ini, masih belum sesuai dengan yang tertulis di dalam peraturan tersebut dan di dalam keputusan Gubernur (khususnya DKI Jakarta). Hal ini karena masih banyak kendala administratif dan teknis yang ada, seperti anggaran dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya belum terrealisasi secara keseluruhan. Jadi FKUB di banyak tempat dan dalam banyak hal belum dapat berfungsi. Di pihak lain, telah cukup banyak persoalan yang muncul menyangkut peraturan dalam PB2M, khususnya mengenai pendirian rumah ibadat. Bahkan dalam kenyataan, justru persoalan-persoalan muncul, seperti penutupan tempat-tempat ibadat, karena pihak-pihak yang melakukan penutupan itu menggunakan PB2M (sebelumnya yang digunakan adalah SKB 2 Menteri No. 1, Tahun 1969) sebagai dasar hukum mereka.

Dalam menghadapi keadaan ini tentu berbagai pihak perlu besikap sabar dan bijak. Pihak-pihak yang memohon IMB dan ijin penggunaan gedung ibadah perlu bersabar, menunggu proses pelaksanaan tugas pihak-pihak terkait, khususnya FKUB. Demikian juga, pihak-pihak yang selama ini mempersoalkan keberadaan sebuah gedung ibadah dan atau ibadah yang dilakukan di dalam gedung-gedung yang diperuntukkan bukan untuk ibadah, agar menahan diri dan menyerahkan penanganan persoalannya kepada pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang. Dan tentu, diharapkan bahwa pemerinta dan pihak-pihak yang berwenang bertindak objektif dan sesuai hukum atau peraturan yang berlaku. Di dalam persoalan keagamaan dan hubungan antar umat beragama, pihak umat beragama dan pemerintah serta pihak berwenang lainnya, perlu lebih mengedepankan penegakan hukum secara objektif, berkeadilan dan berperikemanusiaan. Sekian.

/Jakarta, Januari 2008


[1] Stanley R. Rambitan adalah Wakil Sekretaris FKUB Jakarta Timur periode 2006-2011 (satu-satunya utusan Agama Kristen Protestan).
[2] Lihat: Weinata Sairin, Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994; khusus peraturan pendirian rumah ibadah di DKI Jakarta, lihat: Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Sub Dinas Bina Mental Spiritual, Kumpulan Peraturan Pembangunan Tempat Ibadah dan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan di Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Jakarta, tahun 2003.
[3] Lihat: Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No : 9 Tahun 2006 dan No : 8 Tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Jakarta, Tahun 2006.
[4] Lihat SKB 2 Menteri No. 1, Tahun 1969 dalam: Weinata Sairin, op.cit., hal. 3-6.