Tuesday, August 16, 2011

KEMERDEKAAN SEJATI

KEMERDEKAAN SEJATI[1]

Oleh : Stanley R. Rambitan

Keadaan merdeka, bebas dari kekuasaan, tekanan dan penindasan pihak lain tentu sangat melegakan dan menentramkan. Merdeka membuat orang dapat menjadi dan mengatur diri sendiri sesuai dengan keadaan, kebutuhan dan keinginan sendiri. Tanggal 17 Agustus 2011, bangsa Indonesia memperingati Proklamasi Kemerdekaan yang ke-66. Pada tanggal ini bangsa Indonesia memproklamasikan pembebasan diri dari kekuasaan dan penindasan bangsa lain atau penjajah, Belanda dan Jepang. Peringatan HUT kemerdekaan yang dilaksanakan itu dimengerti sebagai hari dan suasana syukur dan sukacita yang menyenangkan. Tanda syukur itu pertama-tama diperlihatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menyebut bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia ini adalah atas berkat rahmat Allah. Ungkapan syukur ini selalu dibacakan pada upacara peringatan hari kemerdekaan, setiap 17 Agustus. Sebagai suatu sukacita, perayaan kemerdekaan ini ditandai oleh adanya pesta-parade, perlombaan seni dan olah raga dan upacara bendera.

Kemerdekaan merupakan peristiwa penting yang menyebabkan perubahan pada keadaan atau suasana tempat, mentalitas, pola pikir dan sikap hidup pada manusianya; perubahan dari yang buruk atau kurang baik menjadi baik; dari yang kurang bermanfaat menjadi bermanfaat; dari keterbelakangan/ketertinggalan kepada perkembangan dan kemajuan; dari duka cita menjadi suka cita; dari kesengsaraan-kemiskinan menjadi kemakmuran-kekayaan. Inilah makna dan fungsi kemerdekaan itu. Keadaan merdeka dalam hal-hal itu tentunya dan secara ideal sudah harus dialami oleh bangsa Indonesia secara umum setelag 66 tahun merdeka. Namun kenyataannya, masih banyak sekali penduduk Indonesia yang menderita karena kemiskinan, kebodohan dan penindasan sosial-politik. Ini karena harta kekayaan negara dan kemakmuran yang didapat darinya hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang, terutama para penguasa (birokrat dan politisi) dan konglomerat dengan cara memperolehnya yang kebanyakan tidak halal, dan yang terbanyak adalah dengan cara korupsi-komisi, pungutan liar dan pemerasan. Kebanyakan warga yang menikmati kemakmuran sebagai manfaat dari kemerdekaan adalah bandi-bandit dan mafia-mafia kekuasaan (kalangan esekutif, legislatif dan yudikatif), mafia dan bandit pajak, mafia dan bandit proyek-proyek dari dana APBN dan APBD (yang sebenarnya adalah uang milik Negara/rakyat). Lihatlah antara lain kasus-kasus Cek Pelawat (Miranda Gultom-Nunun Nurbaeti), Susno Duadji, Gayus Tambunan dan Muhammad Nazaruddin. Negara Indonesia secara formal konstitusional memang sudah merdeka, mandiri dan berdikari. Tetapi bangsa dan masyarakat Indonesia sebenarnya belum sesungguhnya merdeka. Kita memang sudah merdeka dari Belanda dan Jepang sejak 17 Agustus 1945, tetapi bangsa ini masih dijajah oleh bandit-bandit dan mafia-mafis dari bangsa sendiri.

Ajaran Alkitab, Firman Tuhan mengatakan, kemerdekaan yang sesungguhnya terjadi ketika orang tidak lagi dikenakan kuk perhambaan; ketika orang tidak lagi dibebani atau dipersulit oleh berbagai aturan atau kewajiban tradisi atau adat-istiadat, nilai-nilai, pandangan dan praktek hidup yang kaku, yang menekan, yang menjadikan hidup orang menjadi rumit dan sulit. Dalam adat Yahudi, kuk perhambaan atau penindasan itu tampak dalam aturan-aturan, misalnya: tidak boleh menyembuhkan orang sakit atau memetik gandum pada hari sabat, memberi persembahan korban (harus sapi atau domba yang gemuk) dan membayar perpuluhan. Dalam tradisi Kristen mula-mula, misalnya, orang dipaksa harus bersunat, perempuan harus diam dalam pertemuan jemaat dan sebagainya. Atau juga dalam perkembangan dan tradisi gereja tertentu, ada aturan-aturan seperti tidak boleh tepuk tangan, atau memakai alat musik dalam ibadah ; ibadah harus hening, pendeta harus memakai pakaian khusus. Jadi ada pemutlakan; absolutisme atau otoriterianisme terhadap hal-hal yang bukan prinsipil yang dapat menyebabkan kerusakan terhadap hubungan dengan Tuhan dan terhadap manusia atau kemanusiaan. Inilah yang dikritik oleh Firman Tuhan dalam.

Alkitab (Galatia 5 :1-15) mengatakan, orang Kristen sudah dimerdekakan oleh Kristus, jadi tidak ada lagi perhambaan ; tidak ada lagi aturan-aturan yang membebani dan menyulitkan. Yang ada adalah kebebasan berpikir dan bertindak berdasarkan cinta kasih dan pelayanan kepada manusia dan dunia. Tuhan di sini hendak mengatakan bahwa aturan-aturan adat atau agama seharusnya membuat manusia tertolong atau terbebaskan dari kesulitan dan penderitaan. Peraturan dibuat untuk kebaikan manusia, bukan sebaliknya, manusia bisa dikorbankan demi peraturan. Namun ini bukan berarti bahwa kita dapat dengan sebebas-bebasnya melakukan apa yang diinginkan, termasuk berbuat dosa ; yaitu membuat diri sendiri dan orang lain menderita. Kemerdekaan Kristen itu memperhitungkan kebaikan atau manfaat suatu tindakan bagi diri sendiri dan orang lain. Inilah kemerdekaan yang bertanggung jawab, kemerdekaan yang sesungguhnya ; kemerdekaan sejati.

Jika kita hidup dalam keadaan, pola pikir dan sikap-prilaku yang merdeka seperti itu maka begitu indah sebenarnya hidup ini. Jika orang, dalam bertindak, dalam melakukan sesuatu, memperhatikan, memperdulikan dan mengasihi-menyayangi diri sendiri dan orang lain atau dunia ini maka diri kita dan apa yang dilakukan itu akan membawa sukacita, kesenangan, kelegaan dan kedamaian bagi siapapun; baik bagi diri sendiri maupun orang lain; tentu bagi Tuhan juga. Sekian. /srr/17082011.



[1] Tulisan ini direvisi dari artikel saya yang sudah diterbitkan di Majalah DILAH, GKJ Jakarta.

Thursday, July 21, 2011

Okultisme dan Agama Suku

OKULTISME, MANUSIA DAN AGAMA[1]

Stanley R. Rambitan[2]

Pendahuluan

Kehidupan masyarakat saat ini, baik di Indonesia maupun global, diwarnai oleh banyaknya paham dan praktek keagamaan. Di Indonesia, agama-agama yang ada itu terdiri dari beberapa corak, yaitu: Pertama, agama-agama umum dan konvensional, seperti Hindu, Buddha, Islam dan Kristen; kedua, agama (dan budaya-adat) yang masih dianut dan dipraktekkan di dalam masyarakat-suku tertentu, seperti Parmalim (Batak), Kaharingan (Dayak), Marapu (Sumba) dan Kejawen (Jawa); ketiga, agama atau gerakan-gerakan keagamaan yang menekankan spiritualitas atau keagamaan oribadi (atau agama diri, the religion of the Self), atau kelompok yang digolongkan ke dalam gerakan zaman baru (New Age Movement), seperti (yang di Indonesia) Brahma Kumaris, Anand Ashram, dan kelompok-kelompok Yoga; keempat, aliran keagamaan yang berakar pada agama suku/ asli Indonesia dan agama Hindu, Buddha, Islam dan Kristen, yaitu aliran-aliran kepercayaan atau kebatinan (seperti Pangestu, Sumarah, Sapta Dharma dan Subud); kelima, aliran keagamaan yang dianggap sesat oleh mayoritas penganut agamanya, seperti yang muncul dari dalam Islam misalnya Kerajaan Eden (Lia Eden) dan Satrio Piningit Wedang Buwono; sedangkan yang muncul dari dalam agama Kristen seperti Children of God dan Satanic Church.

Dari dalam umat agama atau aliran keagamaan di atas, beredar paham dan praktek yang berdasarkan kepercayaan kepada adanya alam supranatural atau alam lain yang tidak tampak dengan mata, serta adanya mahluk-mahluk supranatural (atau mahluk halus) yang memiliki kekuatan atau kesaktian, atau juga adanya mahluk asing yang berasal dari alam semesta lain. Di dalam alam ini terdapat baik oknum atau sosok kuat dan sakti atau sosok satanik, dan energi atau kekuatan yang tidak kelihatan namun dapat berpengaruh (baik atau buruk) kepada manusia dan yang dimanfaatkan oleh orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk itu, misalnya sosok atau mahluk halus seperti hantu atau setan, roh atau arwah, jin, tuyul, mayat hidup (Zombie), benda-benda yang dipercayai memiliki kesaktian, atau benda-benda yang menjadi tempat berdiam mahluk halus. Paham dan praktek kepercayaan inilah yang saat ini disebut sebagai Okultisme. Pembahasan yang lebih lengkap tentang Okultisme akan diberikan di bagian selanjutnya.

Okultisme: Arti, Keberadaan dan Perkembangannya

Kata Indonesia “Okultisme” dibentuk dari kata Inggris “Occultism” dan Perancis “Occultisme”, yang berasal dari kata Latin “Occultus”, artinya yang tersembunyi, yang tidak kelihatan, rahasia atau misteri; juga berarti yang di luar atau melampaui alam atau natur, karena itu ia di sebut juga yang supra-natural. Dari pengertian asal katanya itu, Okultisme lalu didefinisikan sebagai paham atau kepercayaan terhadap alam supranatural, atau yang misterius, rahasia atau yang gaib, dengan berbagai sosok gaib dan misterius, yang diikuti oleh berbagai ritual atau ritus dengan tujuan tertentu. Bahwa di balik kenyataan hidup yang kelihatan ini, ada dunia atau oknum atau hal-hal yang tidak kelihatan, tetapi yang dapat mempengaruhi hidup manusia yang nyata; dan bahwa hal-hal misterius itu dapat dimanfaatkan bagi kepentingan manusia.

Kata “okultisme” diduga dipergunakan untuk pertama kali oleh seorang Perancis, yaitu Eliphas Levi (1810-1875) dengan istilah occultisme. Kemudian seorang Inggris, yaitu A.P. Sinnet (1881) menggunakan istilah occultism. (Kata Indonesia “okultisme” tampaknya berasal dari kata Inggris tersebut). Setelah pengunaan di Perancis dan Inggris itu, istilah Okultisme mulai banyak digunakan. Tahun 1940-an mulai menjadi topik yang marak dibicarakan dan tahun 1951, kata itu dimasukkan sebagai salah satu kata dalam Encylopedia of Religion and Ethics.

Di dalam masyarakat Barat, khususnya Eropah, yang dipengaruhi oleh rasionalisme dan ilmu pengetahuan, khususnya setelah masa renaisans dan kebangkitan, Okultisme dikembangkan lebih ke arah sebuah ilmu atau menjadi ilmu dan seni. Karena itu, di tempat munculnya pembahasan yang serius dan sistematis tentang Okultisme, atau di Eropah, pada masa-masa awal, yaitu mulai sekitar akhir tahun 1600-an, Okultisme diakui dan dikelompokkan sebagai ilmu dan seni. Ketika itu Okultisme dibahas di dalam bidang Esoterisme (serupa ilmu kebatinan), yaitu paham atau ajaran dan ilmu tentang hal-hal yang tersembunyi atau rahasia atau misterius di dalam alam ini. Hal-hal itu hanya dapat dipahami oleh orang tertentu atau yang memiliki pengetahuan khusus. Misalnya, astrologi-horoskop dan al-kimia (seperti membuat logam biasa menjadi emas). Namun tahun 1700-an, Okultisme tidak lagi diakui sebagai ilmu oleh para ilmuan di Perancis. Ini dipengaruhi oleh rasionalisme absolut dan ilmu pengetahuan yang mulai berjaya ketika itu. Okultisme kemudian terpinggirkan dan mengalami kemandekan sebagai ilmu dan seni, dan apalagi Okultisme sebagai unsur/agama. Sebagai agama, Okultisme, sebagaimana juga agama Kristen, tidak sanggup menjawab tantangan rasionalisme dan ilmu pengetahuan. Okultisme baru muncul lagi sebagai ilmu, seni dan agama ketika masa revolusi industri di Eropah abad 18/19. Ternyata rasio dan ilmu pengetahuan dan agama institusional, dalam hal ini, Kristen, tidak dapat menjawab berbagai kebutuhan spiritual/batin manusia. Kemajuan industri dan kemakmuran hidup tidak memberikan kepuasan batin kepada manusia; kebutuhan batin ini yang kemudian diusahakan dipenuhi melalui paham-paham dan usaha-usaha pencarian, penemuan dan penyatuan dengan hal-hal atau sosok-sosok yang bersifat gaib/supranatural atau yang rahasia atau misterius. Dengan begitu, di Eropah, Okultisme, baik sebagai ilmu, seni dan agama, kemudian tumbuh dan berkembang lagi sampai saat ini. Namun, Okultisme di Eropah saat ini lebih berkaraktek agama atau seni pengolah batin atau spiritualitas untuk kesempurnaan diri. Karena itu, bentuk Okultisme seperti Yoga sangat digemari.

Di dalam masyarakat barat yang lain, yaitu Amerika, khususnya Amerika Utara (USA dan Kanada), Okultisme muncul dan berkembang pesat di saat yang Eropah terpinggirkan, yaitu mulai sekitar tahun 1700-an. Namun Okultisme di Amerika itu berkembang ke arah yang lebih bersifat keagamaan; belum menjadi paham yang dikembangkan sebagai seni dan ilmu. Di Amerika, Okultisme lebih menonjolkan spiritisme dan terutama satanisme atau demonisme. Hal ini karena pengaruh agama Kristen (yang kemudian diwarnai juga oleh aliran-aliran pentakostal, injili dan kharismatik) dengan ajaran-ajarannya yang menonjolkan tentang roh (kudus dan jahat/iblis) dan penekanan pada ajaran anti-demonik, anti setan dan anti roh jahat. Nanti di jaman modern, Okultisme di Amerika berkembang juga ke arah ilmu, yaitu usaha mencari dan menemukan serta memahami adanya alam dan mahluk-mahluk misterius yang mendiami tempat atau barang tertentu atau yang berasal dari dunia lain seperti UFO. jadi, Okultisme di Amerika memiliki dua corak, yaitu ilmu-seni dan agama.

Di dunia Timur atau pada masyarakat yang menekankan agama, paham dan praktek Okultisme seperti di atas menjadi lebih menonjol sebagai sebuah realitas dan aktifitas keagamaan. Unsur-unsur Okultisme yang dominan atau yang umumnya dipraktekkan adalah unsur-unsur agama. Ada kelompok yang mempercayai UFO, namun jumlahnya sangat kecil. Memang, Okultisme sebagai seni-ilmu tampaknya mulai mengalami perkembangan, khususnya dengan tersebarnya ajaran-ajaran filsafat-agama dari India.

Sebagai seni dan ilmu/pengetahuan, Okultisme dapat disebut sebagai bidang atau unsur kehidupan yang berdiri sendiri. Ia dengan begitu memiliki kebebasan untuk hidup dan mengekspresikan keberadaan/kehidupannya dengan tujuan memberi manfaat kepada penganutnya. Sebagai seni Okultisme dipahami sebagai seni batiniah, di dalam hati manusia. Dan ia membangkitkan dan memberi inspirasi kepeda batin manusia. Sebagai Ilmu, ia memberi pengetahuan dan mendorong kehidupan eksternal manusia. Di sini Okultisme menolong orang untuk menyempurnakan hidup batin maupun lahir. Saat ini, Okultisme digolongkan sebagai paham keagamaan dan juga ilmu-seni yang meliputi banyak bidang, seperti mistik, astrologi, misteri, magi/magisme/sihir/tenung, kekuatan-kekuatan penyembuhan, tahyul, penyembahan leluhur, mitologi, satanisme-demonisme, spiritisme, kepercayaan kepada Alien/UFO dan bahkan kelompok-kelompok spiritualitasatau sekte-sekte atau kult.

Okultisme, Manusia dan Agama

Secara psikologis, manusia mengandung unsur yang misterius, yaitu jiwa (atau roh menurut teologi) yang menghidupkan. Juga yang masih dianggap misterius (walaupun sudah dapat dijelaskan dengan ilmu sosial dan kejiwaan) adalah hal-hal yang tidak kelihatan di alam ini tetapi yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian atau terutama keadaan atau nasib hidup. Karena unsur yang misterius inlah maka manusia umumnya dekat dengan atau memiliki kecenderungan untuk mempercayai hal-hal yang miterius, baik seseorang itu memiliki agama/kepercayaan (sebagai sebuah sistem) atau tidak. Hal-hal yang misterius ini mendapatkan konsep atau formatnya melalui pemikiran, refleksi dan kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh manusia. Misalnya kemudian manusia menyimpulkan bahwa ada kekuatan (ilahiah kalau dalam agama) yang menyebabkan gunung meletus, atau banjir bandang, atau topan tornado. Bahwa ada mahluk yang tidak kelihatan yang sedang menunggui mata air atau sebuah pohon yang besar. Bahwa seseorang meninggal karena arwahnya meninggalkan tubuhnya dan pada saat tertentu arwah orang yang telah meninggal itu bergentayangan dan akan mengajak saudaranya untuk ikut pergi. Terhadap pemahaman atau kepercayaan-kepercayaan ini, orang lalu melakukan ritus dengan tujuannya sendiri-sendiri. Umumnya kepercayaan dan ritualseperti itu diungkapkan dan atau ditemukan di dalam ajaran-ajaran dan praktek agama.

Dari ajaran dan praktek yang dijalankan penganutnya, Okultisme tampak memiliki unsur-unsur utama yang juga ada di dalam agama yang sudah melembaga atau agama institusional seperti Hindu, Buddha, yahudi, Islam dan Kristen, serta agama-agama suku, yaitu ajaran tentang alam dan sosok supranatural, kekuatan-kekuatan (spiritisme dan satanisme) yang tidak kelihatan dan ritus-ritus yang dilakukan dalam rangka kepercayaannya itu. Karena itu, ia dapat disebut juga sebagai agama. Melihat kesamaan unsur-unsur yang merupakan ajaran-ajaran agama, maka Okultisme dapat juga disebut sebagai unsur pembentuk atau bagian dari agama. Okultisme berbeda dari agama institusional secara umum karena ada unsur-unsur utama di dalam agama yang tidak diajarkan di dalam Okultisme, seperti tentang Tuhan-Allah, Surga dan Neraka, Kitab Suci dan umat serta aturan yang tertata sebagai sebuah lembaga. Namun karena statusnya sebagai agama ataua bagian dari agama, Okultisme tidak dapat dipisahkan dari agama. Di bawah ini akan diperlihatkan unsur dan ajaran agama-agama umumnya yang sama dengan ajaran Okultisme.

1. Dinamisme, kepercayaan tentang adanya kekuatan atau kekuasaan atau kesaktian pada segala sesuatu yang ada di dalam alam ini, yaitu pada manusia, hewan maupun benda. Kekuatan ini di dalam agama-agama suku disebut juga dengan “mana” atau kesaktian. Lalu dipahami bahwa mana terutama ada di dalam benda-benda yang dikeramatkan atau yang dianggap memiliki kesaktian. Kekuatan ini melebihi kekuatan alamiah atau natural. Jadi ia merupakan kekuatan supernatural. Mana tidak berpribadi sehingga tidak dapat melakukan sesuatu dengan kemauan dan kemampuan sendiri. Harus ada pihak lain yang menggerakan dan memanfaatkan kekuatan itu. Mana atau kekuatan ini dapat menyebabkan hal baik atau buruk pada manusia. Karena itu, kekuatan ini menimbulkan rasa takut, heran, takjub atau rasa hikmat pada manusia. Benda atau hewan atau manusia yang dianggap memiliki mana selalu diperhatikan atau diistimewakan.Terhadap kekuatan-kekuatan ini manusia berusaha untuk menguasai atau menjinakkannya dengan berbagai cara dan penangkal. Penangkal itu diperoleh melalui upacara-upacara/ritus.

2. Animisme, kepercayaan kepada adanya kekuatan yang berpribadi di dalam dunia ini atau pada sesuatu atau benda. Sesuatu itu adalah subjek, jadi ia dapat melakukan sesuatu dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Di dalam agama, sosok ini ditunjuk kepada Sang Ilahi, Tuhan atau Dewa-dewi, atau mahluk-mahluk halus lainnya seperti Malaikat, Jin dan tuyul; dalam agama suku umumnya, sesuatu yang berjiwa ini biasanya ditunjuk kepada hewan (misalnyanya ular, burung, kerbau dan buaya), atau benda-benda yang dapat bergerak dan melakukan sesuatu (misalnya gunung, pohon, air, api, angin, halilintar dan hujan). Mahluk atau benad-benda ini dipercayai memiliki jiwa dan kehendak karena itu mereka dapat berbuat hal-hal yang baik dan bermanfaat tapi juga yang buruk dan merugikan.

3. Spiritisme, kepercayaan kepada roh, arwah orang yang sudah meninggal. Roh ini bisa berasal dari orang yang baru meninggal atau yang sudah lama meninggal, atau roh leluhur. Arwah ini dapat mendatangi manusia dan dapat melakukan sesuatu, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Terhadap arwah yang dapat berbuat jahat, manusia harus memiliki penangkal yang mencegah roh atau arwah itu mendekat atau melakukan hal buruk. Untuk menjalin hubungan baik dengan arwah ini, orang melakukan upacara dan memberikan berbagai persembahan atau sesajen. Juga orang dapat memanggil arwah tertentu dengan cara melakukan upacara/ritus mendatangkan arwah, seperti jailangkung.

4. Demonisme atau Satanisme, yaitu kepercayaan pada adanya mahluk halus (yang disebut hantu atau setan, atau juga iblis). Mahluk halus ini dapat dilihat oleh manusia atau pun tidak dapat dilihat. Manusia yang dapat melihat mahluk ini adalah yang memiliki kelebihan khusus. Atau, demon ini, dengan kemauannya sendiri dapat menampakan diri pada orang-orang tertentu, dan dapat melakukan sesuatu yang buruk pada manusia. Demon biasanya dipercayai sebagai sosok yang menakutkan dan jahat. Karena itu, biasanya orang merasa takut kepadanya; atau sosok itu dipakai untuk menakut-nakuti orang (biasanya anak kecil). Hantu atau setan ini berbeda dengan Iblis. Iblis lebih menunjuk kepada kekuatan atau kuasa jahat yang menggerakkan atau menguasai keadaan atau seseorang. Iblis muncul dalam perkataan dan perbuatan buruk atau jahat dari seseorang atau hewan yang dikuasainya (seperti ular dalam cerita Alkitab/Kejadian). Sedangkan setan atau hantu tampak dalam penampilannya sebagai mahluk aneh, buruk dan menakutkan, atau dalam bentuk atau penjelmaan dari seseorang yang sudah meninggal.

5. Totemisme; totem adalah benda, terutama bagian dari hewan, seperti kepala, tanduk atau bulunya, atau patung orang-orangan, yang dipercayai sebagai perwujudan dari nenek moyang atau leluhur orang atau suku yang bersangkutan. Totem ini dipercayai memiliki kekuatan atau kesaktian karena ia adalah atau berisi roh nenek moyang yang menjadi pelindung mereka. Ada totem perseorangan dan totem kelompok/suku. Totem perorangan biasanya selalu dibawa atau berada bersama-sama dengan orang yang bersangkutan. Misalnya, orang yang bersangkutan selalu membawa tongkat dengan ujung atasnya berbentuk kepala ular atau tanduk hewan. Atau, seseorang dapat menjadi bagian dari nenek moyang itu dengan menggunakan benda-benda yang disembah sebagai totem dan bersikap sebagaimana nenek moyang itu di dalam hidupnya pada masa lampau. Atau juga, seseorang itu menjadi perwujudan dari nenek moyangnya dengan berperan sebagai nenek moyangnya dalam peristiwa-peristiwa tertentu, seperti di dalam upacara-upacara keagamaan. Orang yang bersangkutan biasanya menggunakan bagian tubuh hewan, terutama kepala, tanduk atau bulu hewan itu, pada kepala atau bagian tubuh orang tersebut, dan lalu memerankan prilaku sebagai nenek moyang itu. Sedangkan, totem suku biasanya diletakkan di pintu-pintu rumah atau gerbang pemukiman suku itu. Benda-benda atau hewan yang biasanya dijadikan totem dalam kebanyakan suku adalah ular, buaya, kera, bison, rusa, kerbau, sapi, burung, dsb.

6. Fetisisme, paham tentang benda-benda tertentu (yang diramu dan dibungkus bersama-sama) yang memiliki kekuatan atau kesaktian. Biasanya ini dipergunakan untuk perlindungan atau untuk memberi kekuatan sehingga orang yang memilikinya dapat terhindar dari ancaman bahaya atau selalu beruntung di dalam usaha, cita-cita atau keinginannya.

7. Magisme, yaitu kepercayaan kepada ilmu atau kekutan gaib atau dunia magi atau sihir; bahwa ada kekuatan-kekuatan yang tidak kelihatan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain. Biasanya orang yang dapat memanfaatkan kekuatan itu adalah mereka yang memiliki kesaktian seperti dukun. Magisme ini dipraktikan misalnya dalam santet, pelet, susuk dan penyembuhan dengan tenaga atau benda magis.

8. Mistisisme, yaitu kepercayaan atau paham bahwa manusia dapat menjadi satu atau melebur dengan sosok atau kekuatan gaib atau ilahiah. Paham ini kemudian memiliki dan mengajarkan cara tersendiri untuk mencapai penyatuan itu atau untuk mendapatkan kekuatan yang ada pada sosok gaib itu, seperti berpuasa, pantang makan makanan tertentu dan dalam periode tertentu, semedi atau bertapa, atau melakukan ritus/ritual khusus.

9. Numerisme dan Simbolisme, yaitu kepercayaan terhadap angka-angka atau simbol-simbol yang memiliki makna atau kekuatan-kesaktian tertentu yang dpat mempengaruhi kehidupan orang yang memiliki atau mempercayainya, misalnya angka 13, 666-6 dan horoskop.

10. Tahyul atau Superstisi, yaitu kepercayaan kepada sesuatu atau benda atau kejadian yang dimiliki atau dialami seseorang, yang menjadi tanda akan terjadinya sesuatu pada orang yang bersangkutan atau pada keluarganya. Kepercayaan atau tahyul ini sering terbentuk atau didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain yang sudah terjadi sebelumnya, atau yang sudah ada tanda-tanda yang tidak biasa. Dengan kata lain, ada kepercayaan terhadap terjadinya peristiwa tertentu yang merupakan efek atau akibat dari persitiwa yang terjadi sebelumnya, atau yang sudah ada tanda-tandanya sebelumnya.

Karena tahyul didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan secara kebetulan dan dialami oleh orang-tertentu maka kebenarannya tidak dapat dipastikan, atau kebenarnnya tidak berlaku umum. Tahyul adalah kepercayaan misterius. Jadi ia adalah misteri, sama dengan berbagai kepercayaan secara umum dalam agama-agama (agama suku). Yang menonjol dalam tahyul adalah kepercayaan yang menyebabkan ketakutan atau kekuatiran yang tidak wajar atau tidak rasional terahadap kejadian buruk yang mungkin terjadi tapi yang masih misterius atau belum pasti. Jadi tahyul dipercayai secara umum tetapi yang tidak dapat dibuktikan. Tahyul tidak mengenal pencetusnya. Kepercayaan atau tahyul ini tersebar atau diwariskan secara turun temurun oleh orang perorang lalu oleh masyarakat, dan menjadi kepercayaan umum. Condoth-contoh tahyul: Angka 13, kejatuhan cicak di kepala, atau di depan seseorang, sikap/membunyikan suara jika melewati tempat khusus/keramat, telinga mendengung, mata berkedip, rambut alis jatuh, larangan memotong atau menggunting kuku pada malam hari, gadis tidak boleh duduk di depan pintu, orang tidak boleh berjalan/berdiri/duduk di bawah tangga, bersin satu kali ketika akan memulai perjalanan, bersin yang harus disambut dengan kata-kata tertentu (Inggris: blessed you), larangan mengencingi kotoran hewan dan manusia, memanggil orang pada malam hari di luar rumah dengan berteriak, larangan membunuh / menabrak kucing, kucing hitam, larangan membunuh ular, suara anjing mengaum pada siang/malam hari, serta, mimpi, firasat dan tanda-tanda.

11. Partisipasi, kepercayaan kepada kemampuan seseorang untuk mengambil bagian atau berpartisipasi dalam kehidupan seseorang yang lain di waktu yang sama sekalipun mereka berdua berada pada tempat yang berbeda. Potensi partisipasi ini dapat terjadi atau dialami oleh dua orang yang memiliki hubungan personal/pribadi yang dekat sekali; jadi dua orang itu memiliki ikatan baik batin maupun material/fisik. Misalnya antara suami dan istri, antara ayah dan anak, dll. Ketika partisipasi ini terjadi, seseorang ini dapat merasakan perasaan atau mengalami kejadian seperti yang dialami oleh orang yang menjadi partnernya berpartisipasi. Misalnya, seorang ayah yang tiba-tiba merasa sakit/badan karena anaknya yang ada di rumah jatuh sakit; atau seorang suami yang merasakan sakit perut ketika istrinya sedang menstruasi; atau suami yang mengidam atau sangat ingin makan sesuatu yang aneh ketika istrinya sedang mengandung.

Di dalam masyarakat Indonesia, bentuk-bentuk Okultisme yang paling sering dipraktekkan adalah : pertama, kepercayaan kepada adanya mahluk-mahluk satanik (satanisme), seperti iblis, setan atau hantu, pocong, dan mahluk jadi-jadian; terutama setan yang merasuki manusia atau menjelma sebagai hewan atau mahluk lain, dan spiritisme atau kepercayaan kepada adanya arwah atau roh orang yang sudah meninggal yang menampakkan diri atau merasuki manusia; dan kedua, dunia perdukunan yang di dalamnya terdapat praktek-praktek seperti penyembuhan oleh kekuatan gaib, sihir, santet, pelet atau tenung; ketiga, ramalan berdasarkan astrologi atau horoskop; dan keempat, kepercayaan kepada adanya mahluk lain selain yang ada di bumi. Mahluk ini disebut UFO, yang dipercayai berasal dari planet atau galaxi lain.

Keberadaan (paham-ajaran dan praktek) Okultisme, dalam hal ini yang mengajarkan alam gaib atau kuasa-kuasa dan kekuatan-kekuatannya, serta ajaran tentang hal yang misterius lainnya (seperti kesaktian pada benda-benda tertentu dan UFO) dapat dilihat pada ajaran dan aktivitas-aktivitas perkumpulanya, pada berbagai literatur (yang bersifat fiksi) dan dalam acara-acara di televisi di Indonesia (seperti acara Dunia Lain, Alam Gaib, Cakrawala, dan Memburu Hantu) dan film-film Indonesia (antara lain Nyi Blorong, Sundal Bolong, Dukun Beranak, Ratu Pantai Selatan, Jenglot Pantai Selatan, Suster Ngesot, Pocong Ngesot, Terowongan Qasablanca, Rumah Hantu, Dedemit Gunung Kidul dan 13 Cara Memanggil Setan) dan film Barat (seperti Ghost, Exorcism, The Last Exorcism, Harry Potter, The Legion, Zombie Land, After Life, The Grave Dancer, Contamination dan After Life).

Okultisme dan Gereja di Indonesia

Di dalam wacana keagamaan, khususnya dalam teologi Kristen, isu tentang Okultisme mendapat perhatian yang sangat besar. Dimulai pada akhir tahun 1940-an dan khususnya pada awal tahun 1950-an, pembicaraan mengenai topik ini muncul di berbagai tulisan. Mead dalam tulisannya tahun 1951 menyebut istilah Okultisme sebagai penemuan baru. Dan menurutnya, istilah itu masih tidak ditemukan di dalam banyak kamus pada saat itu. Tahun 1970-an memperlihatkan giatnya kalangan Kristen, khususnya di Amerika, dalam menaggapi Okultisme. Saat ini, banyak buku yang ditulis tentang Okultisme, khususnya dari kelompok pentakostal dan kharismatik. Sampai tahun-tahun terakhir, di kalangan Kristen dunia, khususnya yang memiliki hubungan dengan aliran-aliran gereja pentakostal dan kharismatik di Amerika, termasuk yang di Indonesia, isu tentang Okultisme mendapat perhatian yang serius. Di pihak lain, gereja-gereja yang beraliran tradisional (khususnya anggota PGI), topik ini tidak diberi perhatian yang berarti.

Di dalam pemikiran keagamaan, khususnya Kristen, Okultisme berasal dari yang jahat yang bertentangan dengan Tuhan yang disembah. Okultisme dinilai sebagai paham dan paktek hidup yang salah. Bahwa unsur-unsur Okultisme, misalnya setan/hantu yang mengganggu atau menyengsarakan manusia harus dihadapi, diusir, dikalahkan dan dibinasakan, seperti Yesus mengusir roh jahat dari seorang perempuan. Okultisme kini merupakan kelanjutan dari Okultisme di zaman Yesus, di mana Yesus mencontohkan sikap yang anti-okultisme dan sosok-sosok gaib seperti roh jahat dan iblis. Karena itu, di dalam praktek banyak kalangan Kristen, baik di Indonesia maupun di luar negeri, khususnya di kalangan aliran pentakostal, injili dan kharismatik, soal pengusiran setan (exorcism) dari tubuh manusia atau benda tertentu atau juga penyembuhan ilahi dengan mengusir roh jahat merupakan hal yang penting dan dilakukan di dalam ibadah-ibadah.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas jelas bahwa Okultisme adalah sebuah realitas baik keagamaan dan juga seni-ilmu yang ada, beraktifitas dan berpengaruh di dalam kehidupan masyarakat. Ajaran-ajaran dan prakteknya yang memberi jawaban atau pemenuhan terhadap kebutuhan spiritual/rohani dan bahkan lahiriah/material bagi orang-orang tertentu. Karena itu, bagi kalangan itu, Okultisme adalah agama, jalan hidup yang benar menuju pemenuhan kebutuhan dan kesempurnaan hidup. Umumnya agama-agama universal menentang atau menolak Okultisme. Namun, keadaan zaman saat ini di mana terjadi pertentangan antara ilmu dan agama dan kemakmuran karena industri dan kemajuan ekonomi tidak memberi jawab kepada kebutuhan spiritual-batin dan lahiriah manusia, maka Okultisme masih akan tetap ada dan diikuti oleh banyak kalangan. Sekian.

/SRR-April2011

Daftar Bacaan:

Buku dan Artikel:

1. Durkheim, E., The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press, 1965.

2. Dhavamony, M., Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

3. Dister, Nico Sy., Psikologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

4. Evans-Protchard, E.E., Theories of Primitive Religion. Oxford: OUP, 1975.

5. Faivre, Antoine, “Occultism” dalam Eliade, M. (ed), The Encyclopedia of Religion. (11). New York: Macmillan Publishing Co., 1987.

6. Hadiwijono, H., Religi Suku Murba di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977.

7. Hadikusumah, H.Hilman, Antropologi Agama. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

8. Hawkins, Craig, Seluk-Beluk Sihir: Tenung, Santet, Mantra, Ramalan, Jampi-Jampi, Pelet. (Trj). Yogyakarta: (PBMR) Andi, 2004.

9. Honig, A.G., Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1959.

10. Hoover, David W., How To respond to The Occult. St.louis: Concordia Publishing House, 1977.

11. Hopes, Michael, Ilmu: Magic and Divination amongst the Benuaq and Tunjung Dayak. Jakarta: Puspa Swara, 1997.

12. James, E.O., The Beginnings of Religion. Westport-Connecticut: 1975.

13. Kartoatmodjo, Soesanto, Parapsikologi Sebuah Tinjauan. Jakarta: Haji Masagung, 1987.

14. Kelompok Minat “Rural Mission”, Pedukunan. Yogyakarta: Lembaga Pendidikan Kader GKJ/GKI, 1982.

15. Koch, Kurt E., Occult ABC. Germany: Literature Mission Aglasterhausen Inc., 1978.

16. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1971.

17. Lehrich, Christopher I., The Occult Mind: Magic in The Theory and Practice. Ithaca and London: Cornell University Press, 2007.

18. Mead, G.R.S., “Occultism” dalam Hastings, J. (ed), Encyclopaedia of Religion and Ethichs. (IX). New York: Charles Schribner’s Son, 1951.

19. Min, Suh Sung, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang. Yogyakarta: Media Pressindo,

2001.

20. Paranormal: Kenyataan dan Gejala Kehidupan. (Saduran dari buku Waarheid en Lungen Bij Paranormale Verschijn Selen oleh Willem Hogendoorn). Semarang: Dahara Prize, 1991.

21. Passantino, Bob and Gretchen, Satanism. Grand Rapids-Michigan: Zondervan Publishing House, 1995.

22. Pasi, Marco, “Occultism” dalam von Stuckrad, Kocku (ed), The Brill Dictionary of Religion. (III). Leiden: E.J. Brill, 2007.

23. Sadhu, Mouni, Ways to Self-Realization. A Modern Evaluation of Occultism and Spiritual Paths. Holliwood-California: Wilshire Book Company, 1975.

24. Samudera, Andreas (Bersama Team Revival), Barang-Barang Tumpas. Bandung; Revival Total Ministry, 1998.

25. Schimmel, Annemarie, The Mistery of Numbers. Misteri Angka-angka dalam Berbagai Peradaban Kuno dan Tradisi Agama Islam, Yahudi dan Kristen. (Trj). Bandung: Pustaka Hidayah, 2006.

26. Smart, Ninian, The Religious Experience of Mankind. New York: 1984.

27. Subagya, R., Agama Asli Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan-Yayasan Cipta Loka Caraka, 1981.

28. Subagya, R., Kepercayaan dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1977.

Website:

http://www.kheper.net/topics/occultism.html

http://www.answers.com/topic/occult#ixzz1IdTv8200

http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/occultism

http://www.newadvent.org/cathen/11197b.htm

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/424235/occultism

http://www.theosociety.org/pasadena/hpb-sio/sio-occ.htm

http://www.theosophy-nw.org/theosnw/occult/ot-kvm.htm

http://www.theosophy-nw.org/theosnw/path/oc-gdep2.htm

http://www.wikipedia-



[1] Disampaikan pada Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Palangkaraya, Senin, 11 April 2011.

[2] Dosen Ilmu Agama (dan Agama-agama: Islam, Hindu, Buddha, Agama Suku dan Kebatinan) dan Filsafat Timur, di STT Jakarta; dan Dosen Tamu dalam bidang studi Agama-agama Semitik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Indonesia dan Kebebasan Beragama

KEBEBASAN BERAGAMA, PENODAAN AGAMA

DAN POSISI NEGARA[1]

Oleh: Pdt. Stanley R. Rambitan[2]

Suatu fakta yang tak terbantahkan adalah bahwa Indonesia adalah bangsa-negara yang sangat beragama. Kehadiran dan pengaruh agama begitu nyata di dalam masyarakatnya; bahwa agama hadir hampir di seluruh sudut dan aspek kehidupan. Hal ini dapat terjadi karena manusia Indonesia adalah manusia beragama, sejak di kandungan ibu, lahir, hidup, bertumbuh, berkarya, berhasil guna atau berbuah, dan sampai mati di bumi pertiwi ini. Dengan kata lain, agama sudah menjadi unsur yang menyatu dengan kemanusiaan manusia Indonesia. Ia sudah menjadi darah daging, sifat, karakter, kebutuhan, hak, dan bahkan kewajiban hidup. Jadi agama sudah menjadi bagian hidup dan mati manusia secara fisikal, psikologis, sosial dan budaya. Tambahan lagi adalah bahwa ada dukungan dan jaminan politik-konstitusional, yaitu dari UUD 1945, yang memberikan kebebasan kepada manusia Indonesia untuk beragama, berkeyakinan dan mengungkapkannya.

Walaupun demikian, fakta bahwa masyarakat Indonesia begitu beragam, seperti dalam hal suku, ras, tingkat pendidikan, ekonomi, dan agama. Fakta juga adalah bahwa agama yang ada sangat banyak dan beragama; bahkan satu agama memiliki aliran yang banyak juga. Sebagai bagian dari masyarakat plural ini, apakah keberagamaan dan kebebasan beragama yang ada itu betul-betul mutlak dapat diterapkan, atau tidak. Bagaimana seharusnya agama itu diungkapkan sehingga tidak menimbulkan persoalan? Juga bagaimana ketika ada pihak yang dianggap sesat atau menodai agama? dan bagaimana posisi atau sikap negara/pemerintah sehubungan dengan hal-hal ini? Beberapa pertanyaan di atas akan dijawab dalam tulisan ini. Namun sebelumnya akan dijelaskan tentang apa itu agama.

Agama, Apakah Itu?

Secara umum dan substansial, agama didefinisikan sebagai sistem ajaran (doktrin) dan praktek hidup (ritus/ibadah dan prilaku) yang didasarkan pada kepercayaan atau keyakinan terhadap sosok ilahi yang diyakini memiliki kekuatan dan kekuasaan tertinggi yang jauh melebihi kemampuan manusia, sosok ilahi yang dipercayai sebagai pencipta alam semesta, sumber kehidupan, dsb.[3] Agama adalah perwujudan atau ekspresi iman/kepercayaan seseorang atau kelompok terhadap sosok ilahi (atau selanjutnya disebut Tuhan), yang diyakini sebagai sesuatu yang benar. Sebagai perwujudan hubungan dengan Tuhan ini, agama merupakan bagian hidup manusia yang sangat personal atau pribadi. Di dalam agama, ada keintiman yang dalam sekali antara manusia dan Tuhan, yang diketahui, dialami dan dirasakan hanya oleh kedua pihak itu. Dalam hubungan yang intim dengan Tuhan, manusia mengalami beragam situasi, baik atau buruk. Jika relasi baik, maka keadaan yang baik (atau berkat) yang dilami, tapi jika relasi buruk, maka keadaan buruk (kutuk) yang dialami. Dalam hal ini manusialah yang berperan. Karena itu, untuk mendapat keadan yang baik, berbagai hal, yang dianggap dapat membuat Tuhan berbaik hati, misalnya upacara, doa, dan berprilaku baik, dilakukan oleh manusia. Dalam hal ini, nilai-nilai, aturan atau pedoman hidup yang dipercayai sebagai berasal dari Tuhan harus dilaksanakan. Dari sini, jelas bahwa agama menjadi sumber nilai kehidupan untuk segala bidang kehidupan manusia. Umumnya, sebagai ungkapan kepercayaan pribadi, kebenaran agama ditentukan oleh pemahaman dan penghayatan dari si penganut, yang dibentuk oleh pengalaman hidup, kemampuan berpikir, pendidikan yang diterima dan lingkungan hidup atau pergaulan dalam lingkungan umat beragama yang dialami. Pihak lain tidak dapat menentukan kebenaran agama untuk seseorang, kecuali seseorang ini menerima ajaran pihak lain dan menjadikannya sebagai pegangan hidup. (Dalam hal ini, diperlukan para guru atau ahli agama yang dipercayai memiliki wibawa, pengetahuan dan kemampuan[4]). Nilai-nilai ajaran dan praktek agama ini dipegangi manusia atau masyarakat sebagai prinsip-prinsip, jalan atau filsafat hidup baik untuk hidup kini dan nanti di akhirat, sebagaimana yang dipercayai penganutnya.

Beragama secara bebas; seperti apa?

Sebagai ekspresi iman pribadi dalam pikiran dan perkataan (sebagai doktrin/ajaran), dalam praktek hidup (sebagai ritus dan prilaku etis-moral dan spiritual), manusia betul-betul mengalami dan menikmati kebebasan beragama. Seseorang, di ruang pribadinya, dapat berdoa kepada Tuhan, melaksanakan ritual dengan menggunakan gaya dan kata-kata yang sesuai keinginannya. Tidak ada pihak lain yang melihat dan mempengaruhi, sekalipun itu pihak terdekat seperti suami, istri, atau anak. Sehubungan dengan ini, misalnya seorang istri dapat memiliki paham yang berbeda dengan suami tentang konsep Tuhan, hidup, atau tentang yang baik dan yang benar. Demikian juga, kebebasan itu akan ada sekalipun agama itu diungkapkan di dalam kelompok atau komunitas yang memiliki dan menganut paham yang sama. Di dalam kelompok yang memiliki dan menerima ajaran dan praktek agama yang sama, setiap anggota dapat dengan bebas melakukannya karena tidak ada yang salah atau yang dipersalahkan dari prilaku beragamanya.

Namun, kebebasan beragama akan dapat menemui masalah jika paham dan praktek agama yang dianut seseorang atau kelompok hendak diterapkan di dalam masyarakat di mana ada pihak atau umat yang memiliki agama lain. Di dalam masyarakat plural ini, tentu ada kaidah-kaidah sosial kultural yang berlaku dan perlu dipertimbangkan dan bisa menentukan bagi setiap orang atau kelompok yang akan menerapkan ajaran agamanya, misalnya memelihara dan memperkuat rasa persaudaraan dan persatuan, menjaga kerukunan dan perdamaian, menjaga kebersihan dan ketertiban lingkungan, serta tidak menghina, menyerang umat/agama pihak lain, dan tidak menciptakan masalah atau konflik.

Demikian juga, di dalam negara yang memberlakukan hukum atau aturan menyangkut kehidupan bersama masyarakat, bisa saja ada yang membatasi orang atau kelompok agama dalam melaksanakan ajaran dan praktek agama, misalnya larangan dan mengkriminalisasi tindakan menghina ajaran atau praktek agama lain, larangan untuk umat beragama menghasut penduduk untuk memberontak terhadap negara, larangan melakukan tindakan kriminal, seperti memiliki senjata dengan maksud menyerang pihak lain atau pemerintah, pembunuhan terhadap orang lain, atau mengajak bunuh diri bersama, dengan alasan agama. Aturan-aturan itu dapat menjadi penghalang bagi kebebasan beragama jika umat/agama yang bersangkutan memiliki ajaran seperti itu.[5] Mengenai hal ini, tentu pandangan bahwa ada hambatan terhadap kebebasan beragama tidak dapat dibenarkan. Hukum atau aturan yang diberlakukan itu tentu lebih berwenang dan dibenarkan karena ia menjaga dan melindungi manusia dan kemanusiaan yang lebih luas dan sejati. Jadi dapat dikatakan bahwa kebebasan beragama, dapat mengalami hambatan jika ajaran dan praktek yang dilakukan bertentangan dengan nilai-nilai sosial-budaya dalam masyarakat, dan dengan hukum atau aturan yang diberlakukan oleh negara. Kebebasan beragama dapat dilakukan sejauh itu tidak melanggar norma sosial-budaya dan aturan-aturan/hukum yang berlaku. Inilah yang dapat disebut sebagai kebebasan beragama yang bertanggung jawab.

Penodaan Agama: apa itu?

Penodaan agama adalah tindakan (pikiran, perkataan dan perbuatan) yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dari suatu agama yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran atau praktek agama yang dianut mereka. Umumnya, tindakan penodaan agama terjadi karena pemahaman/penafsiran yang berbeda tentang ajaran atau praktek agama yang umum atau yang dipegangi oleh kalangan mayoritas. Istilah penodaan agama tidak dipergunakan dalam kerangka hubungan satu agama dengan agama lain. Ini berbeda dengan istilah penghinaan agama, yang ditujukan kepada tindakan yang dilakukan seorang anggota satu agama terhadap agama lain. Jadi penodaan agama adalah masalah internal umat-agama yang bersangkutan. Persoalan ini tentu harus diselesaikan oleh umat agama itu dengan menggunakan nilai-nilai, kaidah, atau aturan-aturan yang diberlakukan oleh agama itu. Pihak lain tidak memiliki hak untuk mencampuri masalah ajaran dan praktek agama dari suatu umat.

Secara lebih prinsipil, istilah penodaan agama dapat ditunjuk kepada prilaku manusia atau seorang penganut agama yang tidak mengikuti ajaran moral-etis-spiritual agama itu. Berbohong, mencuri, memfitnah, membunuh, mengambil hak orang lain, menyakiti orang, dsb, adalah perbuatan-perbuatan yang menodai agama, yang sama dengan tindakan melawan Tuhan. Penyelesaian terhadap prilaku penodaan agama ini tentu pertama-tama harus dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Hal ini karena, sebagaimana makna agama yang disebut di atas, ia adalah urusan personal antara orang yang bersangkutan dengan Tuhan. Kemudian bisa dengan pertolongan orang lain sesama umat beragama, dan khususnya para pemimpin/pembimbing agama yang diakui wibawa dan wewenangnya, dan dengan menggunakan nilai-nilai atau aturan yang diberlakukan di dalam agama itu. Pihak lain di luar diri seseorang itu atau di luar komunitas agamanya tidak dapat dan tidak memiliki hak untuk memaksakan pemikiran atau aturannya, termasuk pihak negara.

Posisi Negara, bagaimana?

Seperti telah disinggung di atas, bahwa masyarakat Indonesia sangat beragama; dan negara Indonesia melalui undang-undang dasarnya sangat menjamin kehidupan beragama. Undang-Undang Dasar 1945 (yang sudah diamandemen), khususnya pasal 28 (E:1-3) dan pasal 29 betul-betul memperlihatkan dukungan dan jaminan negara terhadap kebebasan beragama, berkeyakinan dan pelaksaannya.[6] Ini berarti bahwa di dalam menjalankan tugasnya, negara khususnya pemerintah, harus betul-betul memberikan kebebasan bagi warganya untuk memiliki agama dan menjalankan ajaran agamanya, agama apapun itu (termasuk aliran kepercayaan dan agama suku). Kelanjutan dari itu, negara juga harus menjamin bahwa hak-hak beragama ini dapat dilaksanakan oleh penganutnya secara bebas. Jaminan kebebasan beragama dari pemerintah ini dapat berwujud dalam pengakuan dan penerimaan secara resmi agama-agama atau umatnya yang menyatakan dirinya sebagai agama, dan yang beraktifitas sebagai suatu organisasi agama. Selanjutanya, jaminan dari pemerintah terhadap kebebasan beragama dapat menyangkut penyediaan fasilitas agama (misalnya lahan untuk pendirian tempat atau pusat kegiatan agama), keamanan dan kedamaian dalam beragama, serta pembinaan umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pemberian kebebasan dan penjaminan pelaksanaan kehidupan beragama oleh negara atau pemerintah kepada masyarakat yang seturut dengan UUD di atas, tentu tidak memberikan kebebasan sebebas-bebasnya. Seperti disinggung di atas, umat beragama di Indonesia sangat banyak dan beragam. Indonesia adalah negara dengan masyarakat plural. Kebebasan mutlak bagi kelompok umat satu agama dapat menyebabkan masalah jika itu dilakukan dengan tidak mngindahkan kaidah-kaidah sosial-budaya dan hukum yang ada. Oleh karena itu, kaidah dan aturan yang ada itu perlu mendapat perhatian dari umat beragama dan perlindungan dari negara. Ketika kaidah dan aturan itu dilanggar maka di sini negara (masyarakat dan pemerintah) harus bertindak secata tegas. Ini adalah wewenang negara, yang melindungi masyarakat, hak-hak-asasi manusia, kemanusiaan yang universal dan peradaban yang tinggi.[7]

Secara prinsipil negara tidak dapat mencampuri urusan internal agama, khususnya dalam hal penentuan pokok-pokok ajaran, mana yang benar dan yang salah.[8] Tetapi di dalam hal penyimpangan atau penodaan agama tertentu, negara/pemerintah berhak dan berwenang melakukan tindakan tegas. Hal itu misalnya ketika pemahaman atau ajaran dan praktek yang dilakukan umat beragama sudah mengarah kepada dan atau sudah merupakan tindakan kriminal, atau yang memperkosa dan menganiaya hak-hak asasi manusia, seperti penghinaan terhadap agama lain, pembunuhan, penganjuran pembunuhan massal, tindakan teroris, perlawanan atau pemberontakan bersenjata melawan negara-pemerintah, dsb. Dalam kasus inilah, negara harus melaksanakan tugasnya, yaitu mengamankan, mendamaikan dan mensejahterakan dengan menegakkan hukum demi kemenusiaan. Di sini, negara berhak membawa orang yang bersalah dan melanggar hukum untuk “go to cell” tapi tidak untuk “go to hell” (yang merupakan urusan umat beragama).

Dari catatan-catatan di atas jelas bahwa kebebasan beragama di Indonesia ini dijamin oleh negara atau UUD. Bahwa setiap orang, warga negara, bebas beragama dan bebas menjalankan ibadahnya. Namun kebebasan itu tentu tidak berlaku mutlak; bahwa ada rambu-rambu (baik sosial-budaya dan hukum) yang perlu diperhatikan. Bahwa negara bertugas menjamin pelaksanaan agama oleh umatnya secara bebas, damai, aman dan tentram. Dan untuk itu, negara harus menjunjung tinggi dan menerapkan aturan/hukum dan undang-undang secara konsisten, adil, tegas dan bertanggung jawab. Sekian

Jakarta, Agustus 2010



[1] Disampaikan pada acara Diskusi Terbatas dengan tema “Kebebasan Beragama dan Penodaan Agama”, yang diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia, Bidang Hubungan Antar Agama, pada hari Jumat, 27 Agustus 2010, bertempat di Ruang Sidang Utama, Kantor Dewan Pertimbangan Presiden, Jl. Veteran III, No. 2 Jakarta.

[2] Pemakalah adalah Dosen Studi Agama-Agama dan Filsafat Timur pada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.

[3] Atau, untuk agama tertentu, seperti Buddha dan kalangan Kebatinan, agama adalah suatu kepercayaan terhadap adanya suatu tingkat pencapaian atau realitas mutlak/tertinggi). (Lih. Eliade, Wach, Honig, Harun, Subagya, dll).

[4] Namun, ada resiko dari keadaan ini, yaitu jika terjadi perbedaan atau apalagi pertentangan pemahaman/pendapat/penafsiran tentang ajaran dan praktek agama yang dianggap benar. Itu biasanya menyebabkan pertentangan, konflik, perpecahan dan juga kerusuhan. Akan ada tuduhan “sesat” antara yang satu terhadap yang lain. Biasanya dalam hal ini, terjadi penghakiman, penghukuman dan pemaksaan. Dan bahwa, selalu, pihak yang menang adalah yang kuat, besar, atau dominan.

[5] Misalnya kasus David Koresh di USA tahun 1990-an yang lalu, yang mengajarkan sikap anti pemerintah dan telah memperlengkapi anggotanya dengan senjata dan melakukan latihan militer; lalu yang mengembangkan ide bunuh diri massal. Hal ini tentu bertentangan dengan hukum di USA dan karena itu mereka ditindak oleh negara. Atau, contoh lain, di kalangan agama suku yang memiliki ajaran penyembahan kepala manusia untuk dewa matahari agar ia tetap bersinar (Film Apocalipse). Atau, tradisi Anak Perdamaian di kalangan suku tertentu di Papua, yang menjadikan seorang anak sebagai korban uantuk perdamaian suku.

[6] UUD 1945 pasal 28E: 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, …dst;

2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; 3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat…, dst; Pasal 29: 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

[7] Hal ini yang dilakukan oleh presiden USA, BH Obama (beserta kalangan agama Yahudi dan Kristen dan kalangan umum), yang mendukung dan menyetujui pendirian Islamic Centre di dekat Ground Zero, tempat ternjadinya serangan teroris yang membunuh ribuan orang di dua gedung WDC di New York tahun 2001 lalu. Ini juga yang saya yakini dilakukan oleh presiden RI, SBY, yang menggaungkan toleransi beragama di Indonesia.

[8] Banyak kalangan Kristen sampai saat ini yang menyadari dan menyesali bahwa di dalam sejarahnya, khususnya ketika pembentukan ajaran-ajaran pokok (abad-abad 3- 5, misalnya menyangkut siapa Yesus), penguasa ikut camput dan menentukan. Pertimbangan utama oleh penguasa adalah demi kestabilan sosial-politik, demi keamanan dan ketenangan. Namun dengan keputusan itu, ada pihak yang menjadi korban karena mereka memiliki paham yang berbeda. Tuduhan sesat dan tindakan penghakiman, penghukuman dan penganiayaan terjadi. Semoga ini tidak terjadi di negara Indonesia.