Friday, March 6, 2009

ISLAM-KRISTEN DI INDONESIA: Analisis tentang relasi keduanya

HUBUNGAN KRISTEN-ISLAM DI INDONSIA
Sebuah Observasi umum

Oleh : Stanley R. Rambitan



Pengantar

Pertama-tama saya sudah harus mengatakan bahwa sejak awal perjumpaan Islam-Kristen pada abad 16 (yang ditandai oleh kedatangan Portugis dan kemudian Spanyol) dan khususnya sejak kedatangan Belanda/VOC pada awal abad 17, hubungan kedua umat agama itu sudah ditandai oleh ketegangan, konflik dan beragam peristiwa kekerasan. Ini disebabkan oleh salah pengertian, rasa curiga dan penolakan antara satu terhadap yang lain. Bentuk-bentuk kekerasan yang berakar pada agama dan yang menyatu dengan alasan sosial-politik sering terjadi. Di jaman kolonialisme, ini ditandai oleh berbagai kerusuhan atau peperangan bersenjata antara penguasa kolonial dan rakyat pribumi.

Di sekitar (sebelum dan setelah) proklamasi kemerdekaan Indonesia, ketegangan dan konflik dengan kekerasan antar Islam-Kristen tidak terjadi. Yang terjadi adalah konflik di dalam pembicaraan tentang ideologi dan konstitusi negara. Kalangan Islam politik berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, sedangkan kalangan nasionalis (termasuk orang-orang Kristen) menghendaki Indonesia sebagai negara sekoler yang berdasarkan pada ketuhanan. Konflik ini menghasilkan rumusan Piagam Jakarta yang merupakan jalan tengah dari konflik itu. Namun Piagam Jakarta juga ditentang oleh kelompok Kristen dari Indonesia Timur. Mereka mengancam pemerintah pusat yang baru saja terbentuk bahwa jika Piagam jakarta diterima sebagai pembukaan UUD 1945, maka daerah Indonesian Timur (Maluku, Sulawesi Utara) akan memisahkan diri.

Dalam perkembangan selanjutnya di masa pemerintahan presiden Sukarno, terjadi konflik dengan kekerasan yang berlatar belakang politis-separatis (yang juga bersimbol agama, yaitu kasus DI/TII dan RMS. Di jaman Orde Baru, masalah politik (perjuangan separatis) telah sangat berkurang. Namun, masalah dan ketegangan yang berlatar belakang agama, khususnya Islam-Kristen, mulai menonjol. Pada masa ini, perusakan gedung-gedung ibadah, khususnya gereja, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam (khususnya di Jawa) sudah terjadi, walaupun jumlahnya masih kecil.

Mulai awal tahun 1990-an, khususnya sejak tahun 1996 sampai sekarang ini, konflik atau kekerasan berlatar belakang agama sudah sering terjadi dan sudah meluas di berbagai daerah di Indonesia dengan kualitas dan kuantitas gedung ibadah yang dirusak atau dibakar sangat besar. Dimulai dari kasus Situbondo (1996), lalu Solo, Tasikmalaya, Bekasi dan sampai kasus Jakarta/Ketapang (1998) di mana banyak gedung gereja yang dirusak dan dibakar. Di tempat lain, yaitu di Kupang (1998), terjadi kasus kekerasan agama di mana mesjid juga dirusak dan dibakar. Selanjutnya kasus Maluku, Poso dan pemboman gereja-gereja di Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, dan Palu.

Konflik antar umat beragama ini telah menyebabkan korban atau kerusakan yang besar, baik material, psikologis, dan bahkan kehilangan nyawa yang sudah berjumlah ribuan orang. Di samping itu, yang tentunya berbekas juga adalah kerusakan citra agama itu sendiri, baik Islam maupun Kristen. Namun demikian, ada usaha-usaha untuk memajukan hubungan Kristen-Islam ini yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik pihak umat atau tokoh agama maupun pemerintah. Kegiatan-kegiatan dialog dan kerja sama yang nyata sudah sering terjadi.

Sehubungan dengan ketegangan atau konflik antar agama (Kristen-Islam) di Indonesia, saya ingin mengajak kita untuk melihat tidak hanya pada peristiwa-peristiwa kekerasan yang telah terjadi, tetapi juga secara khusus pada alasan atau akar permasalahannya. Juga kita perlu mengetahui apa yang membuat umat Islam dan Kristen pada akhir-akhir ini sangat mudah melakukan tindakan yang kasar dan bahkan sadis antara satu terhadap yang lain. Perlu diperhatikan di sini bahwa apa yang akan saya gambarkan hanya merupakan kecenderuingan-kecenderungan umum yang faktual; jadi bukan gambaran baku dan mutlak dari pandangan atau sikap semua orang Islam atau Kristen. Kita semua mengerti bahwa ajaran dan praktek agama dalam komunitas agama dapat sangat beragam. Komunitas Islam dan Kristen di Indonesia terdiri dari berbagai aliran atau kelompok dengan karakter masing-masing. Secara garis besar, kita dapat membaginya dalam dua kelompok besar, yaitu yang moderat (yang cukup terbuka dan bersedia bekerja sama) dan yang radikal-fundamentalis (yang sangat tertutup, anti pada dan tidak bersedia bekerja sama dengan pihak lain).

Di bawah ini akan dibahas pandangan dan sikap Muslim Indonesia terhadap Kristen dan sebaliknya, lalu keadaan dan pengaruh negara atau pemerintah dalam hubungan antar umat beragama.

1. PANDANGAN DAN SIKAP MUSLIM TERHADAP KRISTEN

Pandangan Muslim terhadap Kekristenan secara relatif masih bercorak negatif. Ini disebabkan oleh kesalahan pengertian, kecurigaan dan intoleransi. Sikap ini ditandai oleh corak polemik dan apologetis dan bahkan antipati terhadap Kekristenan yang dapat ditemukan dalam berbagai tulisan, khotbah atau ceramah dan dalam pernyataan-pernyataan theologis lainnya. Dan cukup sering, pandangan dan sikap negatif itu berakhir pada tindakan kekerasan.

Dalam banyak peristiwa kekerasan, Muslim tampak lebih sering menunjukan sikap reaktif terhadap Kekristenan atau kegiatan-kegiatan orang Kristen. Tindakan raktif ini sering menjadi agresif dan destruktif. Fakta bahwa Muslim di beberapa daerah telah merusak dan membakar banyak gedung gereja (sejak tahun 1945, telah sekitar 650 gedung gereja yang dibakar) menjadi bukti tentang pandangan dan sikap negatif ini. Kebanyakan kekerasan itu terjadi di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam atau di daerah di mana jumlah penduduk Islam dan Kristen berimbang, seperti di Maluku/Ambon dan Poso. Memang, kasus yang sama juga terjadi di daerah mayoritas Kristen seperti di Kupang, di mana orang Kristen juga merusak dan membakar mesjid. Perlu diperhatikan bahwa kasus-kasus kekerasan antar agama yang terjadi belakangan ini, khususnya pada peristiwa Maluku dan Poso, dan pemboman gereja, mulai terjadi setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi, sosial dan politik. Tampaknya untuk peristiwa-peristiwa kekerasan itu, masalah ekonomi, sosial dan politis menjadi penyebab utama.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan pandangan dan sikap negatif itu. Pertama adalah alasan teologis. Ini berakar pada ajaran tradisional-orthodoks yang digali dari Al-Quran. Dalam Quran, agama dan umat Kristen disebut atau dibicarakan, baik yang berisi pandangan positif maupun negatif. Namun gambaran umum yang lebih ditonjolkan oleh kalangan Muslim adalah yang negatif. Agama dan umat Kristen dianggap sebagai agama dan orang kafir, yaitu orang yang tidak beriman, walaupun kata kafir dalam Quran sebenarnya tidak menunjuk kepada orang Kristen. Dalam Quran, orang Kristen dan Yahudi disebuk sebagai kelompok ahl-kita (orang-orang yang memiliki kitab. yaitu bahwa Kekristenan adalah agama yang keliru; kitab sucinya sudah diubah-ubah, jadi bukan asli lagi. Jadi Kekristenan dianggap tidak benar. Ini trutama disebabkan oleh penilaian mereka terhadap ajaran Kristen tentang Trinitas, terutama tentang istilah Anak Allah. (Menurut Islam, tidak mungkin Allah punya anak.). Juga tentang ketuhanan Yesus. Dengan pandangan itu, orang Kristen dianggap sebagai orang yang melakukan syirik atau menyekutukan Allah dengan sesuatu/mahluk ciptaanNya. Berdasarkan penafsiran itu, agama Kristen dan umatnya tidak diakui sebagai agama/kelompok yang memiliki kebenaran, dan terhadapnya, umat Islam harus bersikap waspada. Dalam hubungan dengan ini, misalnya MUI (Majelis Ulama Indonesia), pada tahun 1981, mengeluarkan Fatwa tentang Natal Kristen, yang menghimbau / melarang umat Islam untuk menghadiri perayaan Natakl karena hal itu dianggap akan membahayakan iman dan ibadah umat Islam. Atas himbauan pemerintah, Fatwa ini kemudian ditarik secara resmi pada tahun itu juga, tapi para tokoh MUI tetap mengatakan bahwa isinya tetap berlaku. Akhir tahun 2001 yang baru lalu, Fatwa itu kembali disebar-luaskan di kalangan umat Islam.
Jadi akar masalah theologis ini adalah masalah interpretasi dan pemahaman yang tidak tepat terhadap doktrin Kristen. Dari pemahaman itu, tampaknya akan sangat sulit untuk umat Islam mengubah pandangan dan sikap theologis yang tradisional itu terhadap Kekristenan, kecuali ada kesediaan untuk menerapkan pendekatan baru dalam melakukan penafsiran terhadap ajaran tradisional Islam, khususnya tentang agama Kristen dan juga terhadap doktrin Kristen, khususnya tentang Trinitas.

Alasan kedua bagi pandangan dan sikap negatif kalangan Islam terhadap Kristen adalah bersifat sosial-politik dan historis. Ketika Kekristenan dibawa oleh missionaris dari Barat masuk ke Indonesia, Islam telah menjadi agama kebanyakan rakyat. Di banyak daerah, Islam bahkan telah menjadi agama resmi negara atau kerajaan. Ada beberapa kerajaan Islam yang terkenal di nusantara antara abad 14 dan 17, misalnya Malaka, Demak, Cirebon, Ternate dan Tidore. Ada anggapan bahwa kehadiran Kristen itu merupakan sebuah ancaman, yaitu datangnya musuh baru sekaligus musuh lama. Apalagi Kekristenan datang ke Indonesia bersamaan dengan masuknya kekuatan penjajah Barat, khususnya Belanda. Tambahan lagi, dendam perang salib tentu masih ada. Karena itu, Muslim merasa terancam atau mendapat serangan baik dari sisi sosial-politik-pertahanan maupun teologis-agama. Perasaan ini diungkapkan melalui pernyataan-pernyataan dan sikap sosial-politis dan agama, baik melalui wacana intelektual (polemik dalam tulisan) maupun melalui perjuangan bersenjata atau kekerasan. Peristiwa perang Diponegoro, perang Paderi, perang Aceh, Makasar, dan lain-lain mendangsung unsur sentiment agama juga. Di jaman Indonesia merdeka, sikap itu terlihat dalam penolakan terhadap kegiatan-kegiatan misionaris atau gereja, atau khususnya penolakan terhadap pendirian gedung gereja di daerah yang dianggap daerah Islam. Dalam Islam, agama dan negara/kekuasaan tidak dipisahkan. Suatu daerah yang berpenduduk mayoritas Muslim umumnya dianggap sebagai daerah Muslim. Karena itu, masuknya agama lain dianggap sebagai ancaman daerah Muslim. Karena itu, membangun gedung gereja di daerah Muslim dianggap mendapat penolakan.

Selama jaman kolonial, para misionaris yang membawa agama Kristen ke Indonesia dan kemudian orang Indonesia pribumi sendiri, tidak terlibat dalam urusan politik. Bahkan di tempat tertentu, misalnya di Aceh dan Solo, penginjilan dilarang oleh pemerintah kolonial. Namun, orang Kristen tetap dianggap sebagai kelompok yang pro-penjajahan, atau bahwa agama Kristen adalah agama penjajah. Jadi di sini, perasaan antipati terhadap agama dan umat Kristen merupakan warisan sekaligus beban historis yang berlatar-belakang politis; beban yang harus dipikul bersama oleh kedua umat itu dalam rangka hubungan mereka.

2. PANDANGAN DAN SIKAP KRISTEN TERHADAP ISLAM

Tidak sama dengan dalam Islam, dalam Kekristenan tidak ada dasar Alkitabiah yang jelas sebagai rujukan bagi pandangan Kristen terhadap Islam. Namun banyak orang Kristen menerapkan pandangan teologis tradisional yang eksklusif menyangkut agama-agama lain, yaitu bahwa agama lain tidak memiliki kebenaran dan jaminan keselamatan bagi umatnya; bahwa keselamatan hanya ada dalam Yesus yang hanya ditemukan dalam Kekristenan. Teologi eksklusif ini dipegang oleh orang Kristen sejak masuknya Kekristenan ke Indonesia. Para missionaris Barat yang membawa agam Kristen ke Indonesia (maupun kemudian kalangan pribumi) menganggap Islam sebagai agama dan umatnya sebagai ladang pekerjaan penginjilan, yang harus dikristenkan. Pandangan ini disertai juga dengan anggapan bahwa orang Indonesia pribumi (yang mayoritas Islam) masih terbelakang atau kurang beradab sehingga masih perlu diberadabkan dengan cara mengkristenkan mereka.

Ajaran teologis yang eksklusif itu masih dianut oleh banyak orang Kristen di Indonesia sampai saat ini dan itu yang sering dijadikan alasan bagi kegiatan-kegiatan orang Kristen dalam melaksanakan pekhabaran ini. Tidak jarang pandangan itu mejadikan orang Kristen bersikap yang agresif dan ofensif dalam melakukan pelayanan kristianinya. Tidak jarang, tujuan utama missi mereka adalah mengkristenkan umat beragama lain, termasuk Islam. Misalnya dengan menyebarkan pamflet-pamflet gratis yang berisi propaganda tentang Kekristenan di tempat umum dan program-program orang Kristen seperti ibadah, musik-lagu, baik melalui media film, televisi, radio dan internet yang berisi propaganda tentang Kekristenan. Tidak jarang, kegiatan-kegiatan itu membuat masyarakat, terutama umat Islam meresa terganggu, terancam dan kemudian bereaksi. Di samping itu, prilaku orang Kristen sering menunjukan ketidak-peka-an terhadap keadaan masyarakat sekitar. Misalnya, membangun gedung gereja yang megah di daerah yang dihuni oleh mayoritas penduduk berekonomi lemah. Juga prilaku tidak sedikit orang Kristen yang menghadiri ibadah minggu atau perayaan hari raya Kristen lainnya dengan berkendaraan mobil (bahkan yang mewah) yang diparkir di sekitar gedung gereja menunjukan supremasi di bidang ekonomi. Hal-hal itu telah membuat kalangan Muslim menganggap bahwa orang Kristen adalah orang-orang kaya sedangkan umat Islam adalah miskin. (Di sini soal ekonomi juga teleh membuat jarak dan rasa curiga dari kalangan Islam). Kebanyakan umat Kristen tidak menyadari hal ini.

Akibatnya, umat Islam bersikap reaktif dan ofensif terhadap kegiatan-kegiatan orang Kristen. Kegiatan-kegiatan orang Kristen dianggap sebagai usaha Kristenisasi, termasuk pembangunan gedung ibadah, tempat pendidikan dan kegiatan-kegiatan lainnya, yang umat Islam harus cegah, kalau perlu dengan kekerasan. Jadi dapat kita pahami di sini bahwa teologi Kristen yang tradisional (yang eksklusif dan superior) ditambah lagi dengan sikap umat Kristen yang agresif dalam kegiatan penginjilan dan ketidak-pekaan terhadap masyarakat sekitar juga menjadi penyebab hubungan Islam-Kristen berada dalam ketegangan, saling curiga dan bahkan disertai kekerasan.


3. PERAN NEGARA ATAU PEMERINTAH DAN KONSTITUSI

Dalam rangka hubungan antar umat beradagama atau lebih khusus lagi menyangkut ketegangan atau konflik antar umat beragama di Indonesia, peranan negara/pemerintah dan undang-undang tampaknya belum dapat diandalkan. Sejak kemerdekaan Indonesia, Undang-Undang Dasar yang diberlakukan tidak secara jelas dan rinci mengatur masalah-masalah keagamaan. Di samping itu, ada undang-undang atau aturan lain yang diberlakukan oleh masyarakat menyangkut hal-hal keagamaan, yaitu hukum agama (di tambah lagi dengan hukum adat. Karena itu, sering terjadi bahwa dalam lingkungan umat beragama tertentu, Undang-Undang hanya dianggap dan diberlakukan sebagai pelengkap bagi ajaran atau hukum agama. Sepanjang Undang-Undang itu sesuai dengan hukum agama, itu dapat diterima dan diterapkan, tapi jika tidak, Undang-Undang itu diabaikan atau bahkan dilanggar. Misalnya, Undang-Undang membebaskan orang melaksanakan ajaran agamanya, namun cukup sering terjadi bahwa pendirian rumah ibadah tidak dijinkan karena ada penolakan dari masyarakat sekitar. Jadi di sini masyarakat masih sering mengabaikan atau meremehkan Undang-Undang dan menghargainya sebagai pelengkap bagi ajaran atau hukum agamanya.

Berhubungan dengan lemahnya penerapan Undang-Undang, stabilitas dan kapabilitas pemerintahan juga memiliki pengaruh yang besar dalam masalah hubungan antar umat beragama. Memang, selama ini pemerintah telah memberi dukungan atau bahkan menjadi pelopor atau pelaksana kegiatan-kegiatan yang melibatkan umat yang berbeda agama untuk menciptakan hubungan yang baik, seperti dialog dan kerja sama dalam melaksanakan program-program tertentu. Namun, dukungan itu hanya diberlakukan jika menguntungkan bagi pemerintah, yaitu untuk kestabilan sosial-politik dan demi pembangunan ekonomi. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, agama dan kelompok-kelompok keagamaan hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan politis para elit kekuasaan tertentu. Banyak orang mengerti bahwa kasus kerusuhan antar agama di Maluku, Poso dan tempat-tempat lain disebabkan oleh kelompok-kelompok di tingkat elit kekuasaan yang sedang berseteru.
Dalam kasus-kasus ini, pemerintah resmi tampak tidak memiliki kekuatan dan kemampuan yang berarti dalam usaha penyelesaiannya, atau kasus-kasus kerusuhan itu tidak diberi perhatian khusus.



BEBERAPA PERKEMBANGAN POSITIF

Di balik masalah-masalah Islam-Kristen di atas, kita perlu mengakui bahwa selama ini telah terjadi juga perkembangan yang positif. Dialog antar umat beragama semakin intensif dan sering terjadi, baik yang dipelopori oleh pemerintah, kalangan agama maupun lembaga-lembaga non-pemerintah dan non-institusional agama. Tema dialog juga semakin beragam; tidak saja masalah-masalah keagamaan tapi juga yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang ditinjau dari sudut pandang theologis masing-masing agama. Belakangan ini, karena begitu banyaknya kasus kerusuhan bercorak agama, topik-topik dialog sangat berhubungan dengan kasus-kasus kerusuhan itu.

Di samping dialog intelektual itu, ada juga dialog-dialog dan kerja sama aktif yang terjadi antar umat yang berbeda agama, khususnya setelah terjadi berbagai kasus kerusuhan berlatar belakang agama. Misalnya kerja sama dalam peningkatan ekonomi rakyat melalui bantuan pendidikan keterampilan termasuk dananya, bantuan makanan, dan kerjasama dalam penjagaan keamaan. Di sini, pihak Kristen dan Islam dapat menjalin hubungan yang baik.


KESIMPULAN

Hubungan Kristen-Islam di Indonesia telah diwarnai oleh ketegangan dan konflik, baik yang halus maupun dengan kekerasan. Pandangan teologis (yaitu ajaran tradisional) dan sikap eksklusif dan arogan-superior memainkan peranan yang penting dalam hubungan yang negatif itu. Di samping itu, Undang-Undang yang diterapkan belum menjadi jaminan bagi terciptanya hubungan yang baik antar umat beragama berbeda-beda. Apalagi, sikap pemerintah sering tidak memberi jaminan bagi terjadinya hubungan yang baik atau pun dalam membantu penyelesaian konflik antar umat beragama. Walaupun masalah sering terjadi, namun hubungan baik juga sudah mulai dijalin, yaitu melalui kegiatan-kegiatan dialog dan kerja sama yang telah dilakukan dan yang akan terus dilakukan.

Akhir kata, di samping peranan pemahaman iman umat beragama (Kristen dan Islam), baik-buruknya hubungan antar umat beragama di Indonesia masih sangat tergantung pada baik-buruknya kondisi sosial, politik dan ekonomi Indonesia.
Sekian.

1 comment:

  1. Salam pak Stanley R. Rambitan,

    Terimakasih atas artikel yang singkat dan padat ini. Saya sangat terbantu dalam memahami masalah yang terjadi di Indonesia mulai dari era kolonial sampai sekarang. Namun saya ingin mengetahui rujukan referensi dari artikel ini. Bolehkan Bapak memberikan beberapa literatur yang berhubungan dengan kerjasama antar Islam-Kristen Indonesia?

    Sebelumnya saya ucapkan banyak terimakasih.

    Salam dari Köln, Jerman
    Evalina Pasaribu

    ReplyDelete