Membangun Kesepahaman Lintas SARA
Menuju Indonesia Baru[1]
Stanley R. Rambitan[2]
Pengantar
Tema yang dirumuskan oleh Perki Eropa untuk seminar ini, ”Membangun Kesepahaman Lintas SARA Menuju Indonesia Baru” dengan jelas menyiratkan makna dan realitas Indonesia, bahwa saat ini tidak ada kesepahaman yang jelas dipegangi dan diterapkann bersama oleh masyarakat yang berbeda latar belakang SARA. Dengan kata lain, kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda itu memiliki perbedaan pemikiran, perilaku dan pola hidup yang berbeda satu dengan yang lain. Mungkin penafsiran terhadap tema di atas agak berlebihan karena jika kita melihat dengan teliti kondisi bangsa Indonesia dengan berbagai elemen yang terlibat di dalamnya, sebenarnya sudah ada cukup banyak pihak (pribadi atau lembaga dan pihak pemerintah) yang menunjukkan pemikiran dan sikap yang sepaham, atau paling tidak memiliki idealisme yang serupa dalam hidup bermasyarakat. Ini terbukti dari adanya berbagai kegiatan antar pribadi dan lembaga yang dibentuk bersama oleh kelompok masyarakat lintas SARA, yang memiliki keprihatinan, visi dan missi yang sama bagi kehidupan yang baik. Di samping itu, pemerintah Indonesia (di tingkat pusat dan daerah) juga telah membentuk badan-badan yang mengurusi soal-soal lintas SARA.[3]
Dapat dipahami bahwa walaupun telah ada bentuk-bentuk kegiatan yang mencerminkan adanya kesepahaman lintas SARA, Perki Eropa dan tentu banyak warga Indonesia di dalam dan luar negeri, tampak merasa perlu untuk membahas kesepahaman bersama itu secara terus menerus. Hal ini karena ternyata masalah tersebut belum begitu nyata, meluas dan berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan pada kenyataannya, telah terjadi konflik-kerusuhan lintas SARA yang sangat buruk dengan akibat korban jiwa, fisik dan psikis dan materi-infrastruktur yang begitu besar.[4]
Dalam kerangka persoalan dan kebutuhan di atas, hal penting yang perlu diungkapkan dan dibahas di sini adalah: “Dalam hal apa masyarakat lintas SARA itu berbeda?”, dan, “Kesepahaman dalam hal apa yang diharapkan terbentuk?” Jawaban terhadap masalah itu dapat digali dari realitas ke-Indonesia-an yang dapat diamati sekarang ini, tapi tentu tidak dapat dipisahkan dari realitas historis. Realitas Indonesia adalah pijakan utama bagi seluruh komponen bangsa yang akan dan sedang berjuang membangun Indonesia baru. Dari situlah kita hidup, menggali, memahami dan merumuskan masalah, pergumulan, kebutuhan dan harapan-harapan untuk Indonesia di masa depan. Banyak masalah, konflik dan kegagalan yang terjadi dalam perjalanan bangsa dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia yang disebabkan oleh kekurangan atau kekeliruan pemahaman tehadap konteks atau realitas Indonesia. Karena itu, pemahaman terhadapnya menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan tidak dapat diabaikan dalam kita berusaha memahami dan merumuskan langkah-langkah menuju Indonesia baru.
Realitas Indonesia dan Pergumulannya
1. Geografis-Teritorial
Secara geografis-teritorial, Indonesia adalah negara kepulauan dan kelautan yang membentang dari ujung pulau Sumatera di sebelah paling Barat sampai di separuh pulau Irian di sebelah paling Timur, dan dari kepulauan Sangir Talaud (Sulawesi Utara) di bagian paling Utara sampai pulau Jawa-Madura-NTT di sebelah Selatan. Ia berada di antara dua benua (Australia dan Asia) dan dua samudra (Pasifick dan India), dan berbatasan dengan negara-negara seperti Malaysia-Singapore-Brunai Darussalam, Philipina, Papua Nugini, Australia-Timor Timur. Letak geografis ini tentu berpengaruh pada keberadaan, status dan fungsinya di dunia internasional, khususnya dalam hubungan dengan negara-negara Asia dan Pasifik. Letak ini memberi nilai tambah strategis, yaitu sebagai suatu potensi kekuatan yang menguntungkan Indonesia baik dalam bidang politik-pertahanan-keamanan dan ekonomi di wilayah regional Asia-Pasifik itu. Namun, keberadaan Indonesia juga mengandung potensi lemah karena tentu luasnya daerah membuat kekuatan armada laut, udara dan darat tidak akan mampu mengontrol secara secara efektif seluruh daerah Indonesia, termasuk daerah perbatasan dengan negara-negara tetangga. Orang dapat dengan mudah masuk ke dan keluar dari wilayah Indonesia. Ini misalnya sudah terbukti dengan seringnya terjadi pencurian ikan di laut Indonesia oleh nelayan asing dan penyelundupan barang-barang perdagangan termasuk alat-alat perang/senjata.
Dalam bidang pengembangan ekonomi, keberadaan sebagai negara kepulauan-kelautan membuat Indonesia menghadapi berbagai hambatan dalam melaksanakan pembangunan yang merata. Inefisiensi tidak terhindari. Misalnya, ongkos transportasi antar pulau yang mahal menyebabkan pengeluaran dana ekstra yang besar sehingga terjadi penggembosan terhadap anggaran belanja negara. Tambahan lagi, kebijakan dalam pengelolaan anggaran pembangunan yang masih diwarnai oleh pemusatan perhatian pada kepentingan pusat, serta kekeliruan manajemen dan/atau korupsi baik yang terjadi ditingkat pusat maupun daerah. Ini mengakibatkan ketimpangan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan antara daerah-daerah perkotaan dengan daerah yang terpencil (atau antara pusat dan daerah). Akibatnya terjadi ketegangan sosial-politis antara pusat dan daerah. Bahkan pada daerah-daerah tertentu, ketegangan itu sampai kepada tuntutan yang bersifat pemberontakan dan separatis. Ketegangan dan tuntutan itu telah membuat pemerintah melakukan perubahan kebijakan dalam sistem administrasi nasional dari sentralisasi kepada desentralisasi, seperti yang terjadi sekarang, yaitu dengan adanya otonomi daerah, suatu sistem yang sebenarnya telah menjadi tuntutan gerakan Permesta pada parohan kedua akhir tahun 1950-an.
Indonesia dapat mengatasi masalah ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah itu dengan menjadikan tempat-tempat strategis tertentu sebagai jalur perdagangan nasional baik bagi produk-produk nasional maupun jalur lintas produk perdagangan internasional, khsusunya antara negara-negara di benua Asia dan Australia dan negara-negara Pasifik. Ini tentu dapat menjadi sumber pendapatan daerah dan negara yang besar. Di sini, Indonesia perlu belajar banyak dari negara kecil-mungil Singapura. Negara kepulauan dan kelautan Indonesia masih memiliki potensi kekayaan yang sangat besar. Ini tentu sangat perlu dikelola, dikembangkan dan disiasati dengan bijaksana dan tepat guna. Jika tidak, itu hanya akan menjadikan Indonesia sebagai sarang penyamun, pencuri, penyelundup, pemeras dan bahkan teroris. Dan dalam hal kemakmuran ekonomi, Indonesia kemungkinan hanya akan mampu memandang sambil gigit jari kejayaan ekonomi negara-negara tetangga.
2. Sosial-Politik-Pemerintahan
Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistem pemerintahan yang demokratis, berideologi dan berdasar Pancasila dan berpegang pada UUD 1945. Namun, belakangan ini, ungkapan tersebut seolah-olah hanya menjadi retorika politis kaum nasionalis belaka. Hal ini karena, sekalipun ungkapan itu masih merupakan pengakuan resmi dan konstitusional bangsa Indonesia, berbagai pihak telah memperlihatkan keraguan atau bahkan penolakan terhadapnya secara terang-terangan. Ini nyata dari sikap politis kelompok-kelompok yang hendak memisahkan diri dari Indonesia, a.l. GAM (atau dulu juga kita mengenal adanya gerakan, PRRI-Permesta dan DI/TII), dan pihak-pihak yang sedang memperjuangkan ideologi, UUD atau bentuk negara yang berbeda (misalnya dari kelompok Islam politik). Yang belakangan ini dilakukan melalui perjuangan partai politik di parlemen dan dalam penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah lokal tertentu. Saat ini, banyak orang menjadi ragu, bukan hanya terhadap ideologi-Pancasila, tapi juga terhadap ke-Indonesia-an. Ini disebabkan oleh adanya berbagai konflik-kerusuhan horisontal antar kelompok yang berbeda latar belakang SARA. Tambahan lagi, konflik-konflik politis-pemerintahan internal di pusat-pusat kekuasaan dan perwakilan rakyat, baik di pusat dan daerah-daerah, dan di organisasi-organisasi sosial dan politik (partai politik) tertentu, juga penerapan hukum yang lemah, ekonomi yang krisis, dan belakangan ini, adanya kasus-kasus teroris yang hanya disikapi dengan semangat “suam-suam kuku” oleh pemerintah (khususnya sebelum kasus peledakan bom di Bali dan Menado baru-baru ini) yang memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional, telah semakin mempertinggi instabilitas kesatuan Indonesia dan memperburuk kondisi dan suasana kehidupan rakyat Indonesia. Dengan realitas sosial-politik-pemerintahan Indonesia seperti di atas, kita dapat mengatakan bahwa Indonesia sedang menampakan sinyal redup-redam ketidak-mapanan. Pentas sosial-politik Indonesia berada dalam status yang sangat potensial untuk terjadinya kekacauan massal. Ini berkaitan erat dengan kondisi sosial-ekonomi yang akan digambarkan di bawah ini.
3. Realitas Ekonomi dan Keadilan sosial
Gedung-gedung perkantoran dan mal-mal baru yang megah dan mewah tumbuh bagai jamur. Pada sebuah pameran otomotif di Jakarta, dalam sehari, beberapa mobil berkualifikasi mewah dengan harga miliaran rupiah telah terjual. Mal-mal dan pusat perbelanjaan raksasa seperti Carefour, Goro, Makro dan Hero dipadati oleh manusia yang kebanyakan bukan hanya datang untuk melakukan "windows shopping" (hanya melihat-lihat tapi tidak membeli) tapi yang betul-betul membeli. Jalanan sering macet karena padatnya kendaraan. Gejala ini tampaknya menyangkal pendapat bahwa Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang berat.
Gejala ekonomi-konsumtif di atas sebenarnya sungguh tidak dapat diandalkan sebagai bahan acuan penilaian terhadap ekonomi Indonesia secara menyeluruh. Ini karena gejala "kaya raya" di atas hanya tampak pada daerah perkotaan dan pada kelompok masyarakat tertentu (menengah ke atas yang memiliki modal), yang jumlahnya tidak representatif bagi seluruh rakyat Indonesia.[5] Di balik sikap konsumerisme sebagian warga kota yang memiliki modal, dan kebijakan serta kegiatan "foya-foya" kalangan birokrat dan wakil rakyat, ternyata negara (rakyat Indonesia secara keseluruhan) hidup dalam ancaman hutang yang sangat besar. Saat ini hutang negara (hutang luar negeri dan dalam negeri) sudah lebih dari 150 milliar dollar Amerika. Jumlah hutang tersebut sudah tidak mungkin terbayar dalam waktu kurang dari 100 tahun jika diukur berdasarkan kondisi perekonomian Indonesia sekarang. Dengan jumlah hutang itu, sebenarnya negara Indonesia sudah bisa dikatakan sebagai negara yang berkualifikasi sudah bangkrut dan hidup di bawah garis kemiskinan. Hal yang mungkin dapat memberikan "kebanggaan" dan "penghiburan" kepada bangsa Indonesia adalah bahwa walaupun negara miskin dan bercitra buruk, tapi warga negaranya, terutama kalangan konglomerat, birokrat dan parlemen tingkat atas banyak yang kaya-raya. Juga, bahwa banyak rakyat Indonesia akan “masuk surga” karena pemerintah dan wakil rakyatnya menunjukan sikap beragama yang sangat antusias.
Hal lain yang memprihatinkan adalah kenyataan adanya ketimpangan atau jurang sosial-ekonomi yang besar yang memisahkan antara kelompok yang kaya dan yang miskin, atau juga antara pulau Jawa dan pulau-pula lainnya. Keadilan sosial-ekonomi tidak terwujud. Ini mengakibatkan masalah yang beresiko tinggi, yaitu kecemburuan sosial yang kuat. Kasus-kasus kriminal dan kerusuhan tertentu, khususnya antar ras-etnis (antara pribumi dan Cina, Madura dan Dayak), dan tuntutan-tuntutan otonomi atau bahkan merdeka dari beberapa daerah adalah sedikit banyak diakibatkan oleh ketimpangan ekonomi itu.
4. Budaya dan Agama[6]
Indonesia dibentuk oleh elemen-elemen yang berasal dari komunitas suku-bangsa, ras, budaya dan agama yang berbeda-beda. Masing-masing kelompok memiliki budaya-adat-istiadat dan sistem kepercayaan yang berbeda. Ada sekitar 250 suku yang hidup di Indoensia dengan 250 jenis bahasa suku dan sekitar 500 sub-bahasa/dialek suku. Ini ditambah lagi dengan komuniyas dengan ras yang berbeda-beda (seperti Cina, Melayu, Polinesia, Arab, India dan Eropa). Ada bermacam-macam agama yang dianut oleh beragam masyarakat Indonesia, seperti Hindu, Buddha, Islam, Kristen (Katholik dan Protestan), Kong Hu Cu, dan berbagai aliran kepercayaan lainnya.
Pluralitas budaya dan agama itu tentu merupakan kekayaan yang sangat berharga bagi Indonesia. Keanekaragaman itu adalah suatu berkah yang patut disyukuri dan dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Di pihak lain, pluralitas itu mengandung potensi kelemahan (konflik). Tidak dapat disangkal bahwa masing-masing budaya dan agama memiliki kesadaran dan perasaan diri lebih dari pada yang lain. Atau, yang satu merasa benar atau lebih benar dari yang lain. Sifat dan sikap superior ini ada dan sulit sekali dihilangkan. Dalam hal agama, khususnya agama-agama ekspansionis atau missioner atau agama dakwah seperti Kristen dan Islam, kecenderungan saling bersaing, memperlihatkan kehebatannya dan untuk menarik penganutnya masing-masing itu pasti ada. Dalam perjumpaan antar umat beragama ini, perbedaan pada aspek-aspek teologis-penafsiran dan praktek keagamaan seringkali menjadi sumber ketegangan dan konflik. Ada ketegangan-konflik yang terjadi pada batas-batas intelektual, yaitu dalam polemik, namun tidak jarang konflik terjadi dalam kehidupan praktis. Pembatasan-pembatasan, atau tekanan-tekanan dan kekerasan yang dilakukan oleh satu kelompok agama terhadap kelompok lain, misalnya dalam rangka pembangunan gedung ibadah, atau perusakan dan pembakarannya, menjadi bukti konflik karena keragaman agama itu. Kecenderungan ini tentu merupakan ancaman serius bagi Indonesia jika tidak dicermati dan diperlakukan secara bijak baik pemerintah maupun rakyat Indonesia sendiri.
Pada sisi lain, walaupun pluralitas suatu bangsa atau masyarakat di jaman ini sudah merupakan gejala global, namun kondisi plural Indonesia masih perlu dianggap sebagai yang unik. Disebut unik karena pluralitas/pluralisme itu begitu beragam dan sudah ada sejak lama. Dalam pentas politik, ia juga turut membuahi, melahirkan dan membentuk ke-Indonesia-an yang ada sampai saat ini. Pada masa-masa awal kehidupan Indonesia, potensi konflik dari pluralisme muncul juga, yaitu dalam pembicaraan tentang ideologi, dasar dan UUD negara (1945-1959) khususnya antara kelompok nasionalis sekuler dan kelompok Islam politik, dan dalam bentuk perjuangan separatis dari kelompok RMS, PRRI-Permesta dan DI/TII. Namun, pada periode waktu tertentu (yaitu di jaman kejayaan pemerintahan Suharto), potensi konflik itu dapat diredam. Anehnya, setelah kekuasaan pemerintahan Suharto diganti, ternyata potensi konflik bermunculan lagi dan bahkan meledak dalam berbagai kerusuhan yang berlatar belakang SARA yang lebih dahsyat, seperti di Situbondo, Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Konflik-kerusuhan itu telah memakan korban begitu banyak manusia dan harta benda. Di sini dapat dikatakan bahwa "adem"nya kehidupan masyarakat Indonesia yang plural itu dapat terjadi karena kebijakan pemerintahan Suharto yang represif terhadap potensi konflik yang berlatar belakang SARA. Rakyat yang plural hidup dalam harmoni, dan toleran karena ditekan atau merasa takut pada hukuman dari penguasa. Kerukunan yang terlihat sebelumnya ternyata hanya semu, hanya dalam penampakan luaran saja. Memang, di tempat-tempat tertentu, seperti di Maluku, keragaman budaya-agama, dalam perjalanan waktu yang cukup panjang, tidak memperlihatkan potensi konflik. Sebaliknya umat yang berbeda agama (Kristen dan Islam) dapat berbaur dan hidup dalam harmony, bahkan saling membantu termasuk dalam pendirian rumah ibadah karena terikat oleh adat yang disebut sistem Pela. Namun kenyataannya, sistem itu dapat disusupi dan dihancurkan oleh kekuatan yang memiliki agenda dan kepentingan politis kelompok tertentu, baik yang berskala nasional maupun internasional. Dalam konflik itu, nilai-nilai moral-etik dan kemanusiaan budaya dan agama dikalahkan oleh nilai-nilai politis-ekonomis para bandit. Di sini agama jatuh ke dalam kekuasaan kepentingan politis yang jahat; agama dimanfaatkan. Inilah yang mewarnai berbagai konflik SARA di Indonesia (dan juga dunia internasional) belakangan ini.
5. Indonesia dalam Konteks Pergumulan Global
Indonesia selalu memerlukan dunia lain. Ia tidak dapat hidup dangan mengasingkan diri dari pergaulan internasional. Indonesia perlu masuk dan melibatkan diri dalam pentas keprihatinan dan pergumulan global, yaitu dengan menjadikan pergumulan internasional sebagai pergumulannya juga. Saat ini, selain di bidang ekonomi (pasar bebas) dan lingkungan hidup dan kemiskinan, dunia juga sedang memusatkan perhatian dan pergumulannya pada masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan sosial, serta pemberantasan terorisme. Masalah-masalah ini tentu juga menjadi pergumulan Indonesia. Hanya saja sisi negatif masih tampak secara dominan berlaku di Indonesia.
Dalam hal demokrasi, Indonesia tampak masih baru mulai belajar-merangkak; masih dalam taraf experimen. Saat ini geraknya sering menjadi tidak terkontrol. Dengan dalih demokrasi, orang dapat dengan bebas melakukan sesuatu yang sebenarnya bukan wewenangnya. Dalam sejarah perjalanannya, Indonesia pernah mengalami proses demokrasi (1950-an) dengan bentuk demokrasi liberal. Tapi demokrasi ini gagal karena dikelola secara keliru oleh Sukarno. Di jaman pemerintahan Suharto, demokrasi Indonesia dikenal dengan nama demokrasi Pancasila; tapi juga gagal. Sebenarnya, tidak ada yang keliru dengan demokrasi Pancasila, kecuali kekeliruan pengelolaan oleh Suharto dan rejimnya yang berakibat kejatuhan pemerintahannya, yang sekaligus menjadi awal keruntuhan moralitas dan etika perpolitikan di Indonesia. Demokrasi Indonesia kemudian atau saat ini menjadi demokrasi reformis yang “kebablasan”, demokrasi tanpa konsep dan tanpa arah. Berbagai pihak, terutama para birokrat dan wakil rakyat, hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok. Politik uang (suap-menyuap) dalam parlemen, pemutar-balikan fakta (yang benar disebut salah dan yang salah dianggap benar), keputusan hukum ditentukan oleh kekuasaan politis dan uang, dan berbagai prilaku yang buruk yang dilakukan oleh pemerintah dan wakil rakyat, begitu kasat mata terjadi. Sementara rakyat hanya menjadi penonton yang mengelus dada karena kepentingannya ditelantarkan, dan yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat, yaitu pada saat pemilu saja. Padahal, demokrasi seharusnya adalah kebersamaan dan pemerataan; bukannya pemerintah dan wakil rakyat menjadi subjek dan rakyat hanya menjadi objek pemerasan. Jadi demokrasi di Indonesia masih bermasalah jika diperhadapkan pada konsep demokrasi ideal.
Dalam hal penegakan hak asasi manusia (HAM), yang berkaitan erat dengan penerapan hukum yang konsekuen, Indonesia masih menampakan kekurangan yang besar. Berbagai kasus pelanggaran HAM tidak diselesaikan menurut hukum yang proporsional, seperti kasus Tri Sakti, Timor Timur, Maluku, Poso dan berbagai kasus teror yang terjadi selama ini. Juga dalam kasus-kasus kriminal dan perdata, hukum tidak ditegakan demi hukum itu sendiri. Penegakan hukum masih sangat tergantung pada kepentingan politis-kekuasaan dan uang. Orang yang memiliki kekuatan politis dan uang akan mendapat perlakukan hukum yang berbeda (biasanya menguntungkan) dari pada yang tidak memilikinya. Penegakan HAM dan hukum yang tidak konsekuen ini memunculkan masalah baru yaitu ketidak-adilan.
Belakangan ini, khususnya setelah tragedi WTC dan Pentagon, 11 September di Amerika dan peledakan bom, 12 Oktober, di Bali, kasus terorisme mewarnai pembicaraan dan keprihatinan international. Sebenarnya sebelum tragedi 11 September, Indonesia telah mengalami berbagai tragedi teroris, seperti kerusuhan-kerusuhan di Maluku dan Poso, pemboman berbagai tempat ibadah dan tempat umum, razia terhadap orang Amerika dan perusakan sarana-sarana hiburan sosial. Setelah tragedi 11 September, bukti-bukti adanya hubungan atau jaringan teroris internasional di Indonesia semakin terungkap. Camp-camp pelatihan paramiliter di Jawa dan Sulawesi Tengah yang rekaman videonya ditemukan di camp Al-Qaeda di Afghanistan, kunjungan tokoh-tokoh penting Al-Qaeda ke Indonesia, dan hubungan tokoh-tokoh Islam garis keras di Indonesia (seperti Jaffar Umar Thalib, panglima Laskar Jihad, dan Abu Bakkar Basyir, pimpinan Jamiah Islamiah), tertangkapnya Al-Faroug yang merupakan tokoh penting Al-Qaeda di Indonesia/Asia Tenggara, merupakan bukti kerja sama antara kelompok teroris lokal Indonesia dengan kelompok internasional (Al-Qaeda).
Berbagai peristiwa teroris di Indonesia dan bukti-bukti di atas telah meyakinkan berbagai pihak (luar dan dalam negeri) untuk menerima bahwa kelompok teroris internasional memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok tertentu di Indonesia, atau memiliki jaringannya di Indonesia; bahwa para pelaku teror di dunia internasional dan di Indonesia memiliki hubungan; bahwa tindakan teroris yang terjadi di Amerika, Phillipina dan Indonesia, dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berada pada satu jaringan (Al-Qaedaisme). Mungkin kelompok teroris di Indonesia tidak berada pada satu komando dengan Al-Qaeda, dan bahwa mereka memiliki agenda masing-masing (kelompok teroris di Indonesia misalnya memiliki agenda lokal tersendiri), namun mereka dapat bekerja sama berdasarkan kesamaan ideologi, dan kesatuan sumber dana.
Dunia internasional telah menyoroti dan memperingatkan Indonesia mengenai jaringan teroris itu. Namun pemerintah Indonesia bersikap lunak. Mereka tidak melarang, menangkap orang-orang yang dicurigai atau membekukan organisasi-organisasi yang sudah melakukan kegiatan di luar batas kewenangan organisasinya, seperti memiliki camp pelatihan militer, merazia penduduk Asing/Amerika, atau merazia dan merusak tempat-tempat hiburan yang dituduh mempraktekan kemaksiatan, dan yang menyedihkan sekali adalah pemaksaan penutupan, penghancuran atau pembakaran gedung ibadah yang dianggap menyalahi penggunaan bangunan atau gedung berdiri tanpa ijin. Mungkin sikap lunak itu diambil karena pemerintah takut dituduh anti Islam; atau, bahwa belum adanya hukum yang menjamin; atau memang di dalam kalangan pemerintah-militer atau parlemen, ada orang-orang yang setuju atau mendukung kelompok-kelompok ekstrim itu untuk kepentingan politis mereka. Megawati (dan sekarang SBY) ternyata tidak secerdik Mahatir dan Arroyo, yang setelah tragedi 11 September, dengan cepat menarik simpati internasional dengan menangkap orang-orang yang diduga memiliki hubungan dengan kelompok teroris internasional (Al-Qaeda) dan lokal, dan apalagi yang telah terbukti mengandung potensi dan melakukan tindakan teror. Megawati membiarkan Indonesia dituduh sebagai tempat berlindung dan sarang teoris.
Gambaran tentang Indonesia semakin runyam ketika tragedi pemboman Klub Sari, 13 Oktober lalu di Bali. Tragedi itu menyulut semakin banyak pihak yang menyudutkan, memepersalahkan dan menjadi antipati terhadap Indonesia. Bahwa Indonesia sudah diperingatkan untuk bertindak lebih (ketat dan represif) terhadap kelompok ekstrimis-teroris tapi tidak dilakukan. Citra Indonesia lalu menjadi sangat suram dan buruk di mata dunia internasional. Ini berakibat buruk bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Di samping harga diri sebagai bangsa Indonesia dikoyak-koyak, juga harga barang melambung tinggi; perekonomian menjadi runyam. Dengan tragedi Bali, perekonomian Indonesia semakin mengalami krisis karena investor asing menarik diri dan turis tidak datang bukan hanya di Bali tapi di seluruh Indonesia. Banyak negara (Barat) yang telah mengeluarkan peringatan kepada penduduknya untuk tidak mengadakan perjalanan ke Indonesia.
Pelaksanaan dan penyelesaian masalah pada tiga aspek (demokrasi, penegakan HAM dan pemberantasan terorisme) di atas oleh Indonesia ternyata masih menampakan kekurangan yang mencolok. Dengan begitu, Indonesia masih menjadi sorotan penting dunia, bukan sebagai negara yang diberi pujian, tapi sebaliknya, kritikan tajam dan bahkan memperlakukan kebijakan yang sangat merugikan Indonesia.
Dari pemaparan realitas Indonesia di atas, kita dapat memahami bahwa berbagai kelemahan atau kekurangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia terjadi karena adanya perbedaan pemahaman dan praktek dalam banyak hal. Perbedaan fisik-material yang dapat diamati adalah dalam latar belakang kehidupan geografis (antar pulau; antar kota dan daerah), kondisi sosial-ekonomis (antara yang kaya dan miskin) dan SARA. Di samping itu, perbedaan pola pikir atau cara pandang dan prilaku atau sikap sosial-politis dan religius (penafsiran dan praktek) menjadi corak yang kental dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat. Unsur-unsur, terutama perbedaan SARA serta pola pikir dan prilaku sosial-ekonomis-politis dan religius, inilah yang terutama atau lebih sering menjadi penyebab ketegangan dan konflik.
Unsur-unsur Dasar Pembangunan Kesepahaman Lintas SARA
Melihat realitas Indonesia seperti di atas, mungkin banyak orang yang akan mengatakan bahwa negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasar dan berideologi Pancasila dan UUD 1945 yang dimerdekakan dan didirikan tahun 1945 oleh Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia sudah tidak mempunyai harapan yang panjang untuk tetap eksis secara utuh. Lantas pertanyaan: Masihkah ada harapan untuk membangun Indonesia Baru yang satu, utuh seperti semula dan menentramkan hati ? Jika masih ada harapan, apa saja yang perlu dibangun? Dan, apa yang menjadi dasar bersama untuk pembangunan itu?
Secara pribadi, saya masih merasa optimis terhadap Indonesia. Memang tampaknya tidak gampang, tapi Indonesia yang utuh masih dapat dibangun kembali dan diperbarui. Masih ada potensi-potensi dasar yang dapat dijadikan acuan atau pegangan bersama untuk membangun, yaitu nasionalisme, demokrasi, humanisme, dan religiositas universal.
1. Nasionalisme
Saya percaya, sebagian terbesar masyarakat Indonesia masih memiliki kesadaran dan rasa nasionalisme-kebangsaan dan cinta tanah air yang tinggi. Mereka masih bangga menjadi penduduk Indonesia dan hidup di bawah naungan dan ingin tetap mempertahankan negara kesatuan RI. Kesadaran ini menjadi modal utama dalam pembangunan rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa yang satu. Nasionalisme ini perlu dimunculkan, dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai alat untuk menghasilkan kesadaran dan rasa solidaritas yang tinggi antara satu dengan yang lain tanpa memandang latar belakang geografis, sosial-ekonomis dan SARA. Hal yang dapat membangkitkan kembali nasionalisme ini adalah pergumulan dan perjuanghan bersama, yang telah dimulai atau dicontohkan dalam usaha perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara Indonesia; bahwa bangsa Indonesia yang berbeda-beda itu pernah berjuang bersama berdasar satu idealisme, visi dan misi, yaitu merebut kemerdekaan. Ditandai oleh berbagai perjuangan melawan penjajah, gerakan kebangkitan nasional di awal abad 20, Sumpah Pemuda di tahun 1928, dan perjuangan kemerdekaan dengan melalui pengorbanan tetesan darah dan nyawa begitu banyak manusia, akhirnya usaha bersama bangsa itu membuahkan hasil. Kemerdekaan dicapai dan Indonesia didirikan di atas dasar (yaitu Pancasila) yang diakui oleh sebagian terbesar rakyat Indonesia. Jadi adanya penjajahan sebagai tantangan-musuh bersama telah yang mempersatukan bangsa Indonesia dalam sebuah karya-perjuangan bersama. Jika dulu bangsa Indonesia dapat memiliki idealisme bersama dan bekerja sama melawan penjajahan, tentu saat ini mereka juga dapat memiliki ide dan kemauan untuk bekerja sama dalam menghadapi tantangan masa kini.
Tantangan yang begitu nyata yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kemiskinan-kebodohan, ketimpangan sosial-ekonomi, paham dan praktek ekonomi dan politis yang buruk/demokrasi yang kebabalsan, pemerkosaan/pelanggaran HAM, masalah lingkungan hidup dan ekstrimisme religius yang berkaitan dengan terorisme. Ini semua menjadi keprihatinan bersama sebagai suatu bangsa Indonesia maupun dalam hubungan dengan dunia internasional. Manusia Indonesia yang normal dan sadar akan tantangan itu akan mau menyatukan persepsi dan prilaku dengan sesama bangsa Indonesia yang lain sekalipun berbeda latar belakang SARA dan berjuang melawannya.
2. Demokrasi
Demokrasi adalah pemerintahan oleh, dari dan untuk rakyat. Ia adalah egalitarianisme atau kebersamaan-pemerataan. Demokrasi bergandengan tangan secara erat dengan keadilan sosial-politik dan ekonomi. Tidak ada manusia yang berbudaya dan beragama yang menentang paham demokrasi seperti itu, kecuali orang-orang yang memiliki kepentingan politis sendiri. Setiap orang yang mengerti demokrasi akan memperjuangankan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti digambarkan di atas, di Indonesia saat ini, demokrasi masih menjadi idaman, belum kenyataan. Indonesia masih belajar merangkak; bereksperiment, sehingga cukup sering kegagalan demi kegagalan dialami. Untuk mewujudkan demokrasi atau pemerintahan, kepemimpinan dan pelaksanaan pembangunan yang demokratis dan berkeadilan sosial, bangsa Indonesia lagi-lagi perlu bekerja sama. Di sini yang dibutuhkan pertama adalah kemauan dan kesediaan untuk duduk, berdialog dan merumuskan bersama konsep demokrasi yang dibutuhkan untuk kehidupan bersama. Kedua, dalam proses ini, yang dibutuhkan adalah kesediaan untuk mendengar, menghargai dan menerima pendapat pihak lain yang dinilai tepat, benar dan baik bagi semuanya. Dalam hal ini, demokrasi yang benar tidak mengutamakan unsur atau kepentingan mayoritas dan minoritas. Ini karena, demokrasi, sekali lagi, adalah kebersamaan.
3. Humanisme
Humanisme adalah paham yang menghargai harkat-martabat atau kemanusiaan manusia. Manusia dinilai dan diperlakukan sebagaimana harga manusia dimata manusia yang normal. Dalam humanisme, hak-hak asasi manusia mendapat perhatian utama dan dijunjung tinggi. Terciptanya kemanusiaan yang adil dan beradab atau humanisme menjadi cita-cita setiap manusia. Tidak dapat disangkal bahwa setiap orang ingin atau butuh untuk dihargai dan diperlakukan sebagai manusia yang utuh, yang bermartabat dan berkepribadian. Jika seseorang menginginkan orang lain melakukan yang baik kepadanya, tentu dia juga akan melakukan yang baik untuk orang lain. Ini adalah formula moral-etis kemanusiaan atau humanisme universal. Masyarakat Indonesia juga memahami dan memeganginya. Karena itu, sebagaimana manusia pada umumnya, bangsa Indonesia juga tentu merasa perlu untuk memperjuangkan perwujudan humanisme atau perikemanusiaan itu di dalam kehidupannya. Kesadaran akan kebutuhan ini tentu dapat menjadi dasar bagi pemahaman dan perjuangan bersama.
4. Religiositas Universal
Religiositas adalah rasa beragama atau keberagamaan yang antara lain dibuktikan oleh adanya kepercayaan terhadap sesuatu/oknum yang disebut Tuhan. Religiositas terwujud dalam hidup melalui sistem pemahaman dan praktek keagamaan. Setiap manusia memiliki sifat religius.[7] Dengan kata lain, religiositas adalah bagian dari kehidupan manusia. Ia bersifat universal walau memang dalam penampakannya menjadi partikular dengan ciri masing-masing yang sesuai dengan latar belakang konteks kemunculan dan pembentukannya. Karena itu, ada berbagai macam agama di dunia ini, yang juga kita temukan di Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, karena kepelbagaian religiositas itu, tidak jarang terjadi ketegangan dan konflik antara satu dengan yang lain. Ini lebih umum disebabkan oleh kurangnya pemahaman atau kesalahan dalam pemahaman terhadap satu dengan yang lain. Kekurangan ini disebabkan banyak orang hanya memusatkan perhatian dan pemahamannya pada agamanya sendiri dan mengabaikan pemahaman tentang agama lain. Interpretasi terhadap ajaran agama sendiri dan persepsi terhadap umat /agama lain memainkan peranan penting dalam perjumpaan antara berbagai umat/agama yang berbeda itu. Kekeliruan penafsiran dan pemahaman terhadap agama sendiri dan ajarannya serta penggambaran yang salah terhadap umat/agama lain umumnya menjadi penyebab utama ketegangan dan konflik. Untuk mengatasi kelemahan di atas, pertama perlu dilakukan pembelajaran dan pemberian pemahaman yang benar, objektif dan proporsional tentang agama yang dianut. Kedua, pemberian pengetahuan benar, objektif dan proporsional tentang agama lain dan umatnya. Ketiga, penciptaan suasana dan sarana dialog bagi umat yang berbeda-beda itu. Dialog yang benar dapat membantu orang untuk lebih memahami agamanya sendiri dan agama-umat lain dengan tepat dan benar dan selanjutnya menghasilkan penghargaan yang tulus antara satu dengan yang lain. Melalui proses dialog, orang dapat juga mengambil pelajaran untuk membarui paradigma keberagamaannya menjadi sesuatu yang lebih relevan dan efektif sesuai dengan konteks kehidupan kekiniannya. Sudah terbukti pada kalangan-kalangan tertentu, bahwa proses pembelajaran dan interaksi melalui dialog seperti itu telah menghasilkan manusia yang memiliki religiositas yang proporsional dan benar. Dengan kata lain, orang-orang yang telah mengalami proses itu telah memiliki pandangan dan praktek keagamaan universal. Mereka sudah dapat menerima bahwa “keagamaanku adalah keagamaanku, keagamaanmu adalah keagamaanmu, mari kita melaksanakannya masing-masing dengan benar sambil saling menerima dan menghargai keberadaan satu sama lain.”
Sebenarnya, di Indonesia, dalam hal konseptual-ideologi negara, religiositas universal itu telah dirumuskan dalam sila pertama Pancasila (Ketuhanan yang Maha Esa). Itu telah diterima oleh bangsa Indonesia secara konstitusional-legal. Pengakuan terhadap konsep ketuhanan yang maha esa itu membuktikan bahwa bangsa Indonesia, melalui para pendiri bangsa, mengakui religiositas yang universal itu khususnya dalam hal ini bahwa Tuhan itu hanya satu. Memang, ada pihak-pihak yang masih bimbang terhadap Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, namun tidak ada pihak manapun yang akan bimbang dengan konsep sila pertama itu. Semua umat/agama mengakui bahwa Tuhan itu hanya satu, tidak ada yang lain. Yahudi, Islam dan Kristen mengakui bahwa Tuhan itu satu. Konsep ketuhanan itu menjadi titik temu atau dasar berpijak utama bagi pembicaraan dan usaha pembangunan kesepahaman religius dari umat yang berbeda SARA itu.
Penutup
Membangun kesepahaman lintas SARA untuk mewujudkan Indonesia baru bukanlah uasaha yang gampang. Namun, itu juga bukan usaha dan cita-cita yang tidak mungkin. Memang banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan dilakukan untuk mencapainya. Kesadaran, kemauan, kerelaaan untuk berkorban dan bekerja keras dari segenap komponen bangsa sangat dibutuhkan. Demikian juga, kecermatan dan hikmat dibutuhkan dalam pelaksaan usaha-pembangunan itu, baik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan manusia, maupun dalam melaksanakan konsep-konsep sosial,politik, budaya dan agama yang dianut. Satu hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa Indonesia baru yang bermartabat, maju dan makmur dapat terbangun tidak hanya oleh dan untuk bangsa Indonesia sendiri tapi juga oleh dan untuk dunia internasional. Sekian.
Oktober 2004
--------------------
Eijsselsteinlaan 6
3525 EW Utrecht
N e d e r l a n d
[1] Makalah ini disampaikan pada Seminar Menyambut Perayaan Hari Sumpah Pemuda, yang diselenggarakan oleh Persekutuan Kristen (Perki) Eropa, di Berlin-Jerman, 25-27 Oktober 2002.
[2] Stanley R. Rambitan adalah dosen Ilmu Agama-Agama dan Filsafat Timur
[3] Di tingkat individual, kita mengenal Deklarasi Ciganjur (pertengahan 1990-an), Gerakan Moral Nasional (2002-an); di tingkat institusional kita mengenal lembaga-lembaga studi keagamaan a.l., Interfidei (di Yogyakarta), Madia dan Komunitas Utan Kayu (di Jakarta); juga lembaga sosial-politik-kemanusiaan seperti Kontras, ICW, dll; dan Pemerintah, di bawah koordinasi Departemen Agama, telah lama membentuk Badan Musyawarah antar Umat Beragama; di daerah-daerah atau yang menyangkut konflik berlatar belakang SARA seperti yang terjadi di Kalimantan, Maluku dan Poso, dibentuk gerakan atau forum atau badan kerjasama atas inisiatif bersama berbagai element masyarakat dan pemerintah.
[4] Kasus-kasus kerusuhan seperti di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso merupakan bukti-bukti yang nyata dari konflik SARA itu.
[5] Menurut perkiraan kasar, lebih dari 90% modal-uang yang ada di Indonesia beredar di daerah perkotaan besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Ujung Pandang. Sekitar 90% dari modal-uang itu beredar di kota-kota yang berada di pulau Jawa. Sekitar 80% modal-uang di pulau Jawa itu beredar di Jakarta. Kelompok yang memiliki ekonomi yang kuat-bermodal besar mungkin tidak lebih dari 5% dari seluruh rakyat Indonesia; yang menengah mungkin sekitar 10%, sedangkan yang berekonomi sederhana sekitar 30%. Sisanya, 55%, adalah kelompok masyarakat berekonomi miskin dan di bawah garis kemiskinan.
[6] Budaya dan agama adalah dua hal yang tidak sama, tapi tidak bisa dipisahkan,walau dapat dibedakan. Budaya adalah sistem berpikir, berpola hidup/bersikap yang menyangkut segala aspek kehidupan (sistem sosial-adat istiadat, politik-pemerintahan-kepemimpinan, dan aspek kepercayaan) masyarakat. Agama secara khusus adalah sistem kepercayaan-keimanan dari suatu masyarakat. Dengan kata lain, agama adalah bagian dari budaya secara umum. Namun, dalam komunitas tertentu, budaya dan agama disatukan menjadi sistem budaya sekaligus agama.
[7] Sekalipun seseorang mengaku diri sebagai atheis, tapi ia tetap memiliki religiusitas. Atheisme itu sebenarnya adalah suatu bentuk religiusitas, karena ketidak percayaan akan adanya Theos itu adalah iman/kepercayaan. Namun memang, secara umum, dalam dalam diskusi saat ini, religiusitas dibatasi pada adanya kepercayaan kepada oknum yang dianggap memiliki kekuatan-kekuasaan yang maha tinggi, yaitu Tuhan yang maha esa.
Monday, March 2, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment