Monday, March 2, 2009

Orang Kristen dan Pluralitas Agama

Orang Kristen dan Pluralitas Agama[1]
Beberapa Pokok Pikiran

Stanley R. Rambitan




Indonesia adalah negara-bangsa dengan masyarakat yang majemuk dalam hal ras, bangsa, suku, golongan dan agama. Pluralitas dan atau pluralisme[2] adalah unsur pembentuk dan menjadi bagian yang menyatu dengan kepribadian bangsa Indonesia. Keadaan ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diingkari. Ia mutlak ada, sebagaimana juga hal itu ada di berbagai tempat di penjuru dunia ini. Kondisi agama yang plural dan pluralisme di Indonesia begitu nyata dengan keberadaan agama-agama seperti Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Kristen dan Islam serta berbagai aliran kepercayaan atau agama suku. Undang-Undang Dasar Indonesia menjamin setiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan agama sesuai dengan pemahamannya sendiri. Pluralitas adalah ciptaan Tuhan. Ia harus diterima dengan lapang dada dan bahkan harus disyukuri sebagai suatu berkat atau rahmat Allah. Pluralitas dan pluralisme sebenarnya menampakkan variasi dan keindahan dunia ciptaan Allah. Karena itu, orang harus menjalani hidup di dalamnya dengan penuh tanggung jawab dan tentu dengan menikmatinya.

Kemajemukan agama di dalam suatu masyarakat, mengandung baik sisi positif, maupun negatif. Secara positif, kemajemukan itu menunjukan kekayanan budaya, pengajaran dan sikap atau prilaku yang diajarkannya. Ini dapat dipergunakan untuk saling mengisi dan saling menyempurnakan. Wawasan dan sikap seseorang dapat diperkaya oleh pemahaman atau pengetahuannya tentang paham ajaran dari pihak lain. Di sisi lain, potensi negatif dari pluralitas telah berwujud dalam berbagai persengketaan, konflik dan bahkan kerusuhan dan pertumpahan darah, seperti yang terjadi dalam kasus-kasus permusuhan dan kerusuhan antar umat berbeda suku dan agama beberapa tahun terakhir ini. Misalnya antara suku Dayak dan Madura di kalimantan Barat; antara umat Islam dan Kristen di Maluku dan Poso, dan berbagai kasus kekerasan karena konflik antar umat beragama di berbagai tempat di Indonesia; dan yang masih hangat sekali adalah kasus penutupan banyak gedung ibadah, penyerangan terhadap pemeluk Islam Ahmadiyah (di Parung, Cianjur dan Lombok) dan tekanan atau penghambatan dan bahkan penangkapan terhadap penganut aliran Kerajaan Eden yang dipimpin oleh Lia Aminuddin.

Hidup beragama adalah hidup yang dinamis dan kreatif. Pemikiran dan praktek keagamaan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Hal ini tidak jarang menghasilkan pemikiran atau ajaran dan praktek beragama yang baru dengan komunitas dan nama yang baru. Dari dalam Hinduisme, muncul Buddhisme, agama Sikh, Jainisme dan Tantraisme; dari dalam Buddhisme, muncul aliran-aliran seperti Mahayana, Hinayana, Buddhisme Chen, dsbnya. Kekristenan berkembang menjadi aliran-aliran Orthodoks, Katholik, Anglikan, Protestan, berbagai aliran Pentakosta, Advent, Menthodis dan aliran-aliran Injili dan kharismatik. Islam muncul dari lingkungan agama-agama suku Arab, Yahudi dan Kristen. Di dalam Islam muncul dan berkembang berbagai aliran seperti Sunni, Syiah, Sufi dan Ahmadiyah. Di Indonesia, dari kalangan Islam, muncul berbagai aliran seperti Madi di Sulawesi Tengah dan Kerajaan Eden di Jakarta dan beberapa aliran baru lainnnya.

Pertanyaan bagi orang Kristen adalah: bagaimana ia menyikapi dan hidup di dalam kondisi masyarakat beragama yang plural itu?

Di bawah ini akan diberikan jawabannya.

Pertama, orang Kristen perlu menyadari dan menerima bahwa pluralitas-pluralisme adalah kenyataan mutlak masyarakat Indonesia. Ia ada, tetap ada dan tidak akan terhapus dari dunia ini. Pluralisme adalah ciri utama dinamika hidup manusia, khususnya dinamika dan kreatifitas hidup beragama. Pluralisme adalah keadaan yang diperkenankan oleh Tuhan.
Kedua, kita mengutamakan penghormatan dan pernghargaan kepada sesama manusia; manusia yang memiliki berbagai unsur yang berbeda dengan diri kita; bahwa saya berbeda dengan orang lain, bahkan dengan orang-orang yang dekat, seperti suami, istri, dan anak-anak. Manusia yang berbeda-beda ini adalah ciptaan Tuhan.
Ketiga, kita perlu membiasakan untuk mengutamakan kepentingan bersama sebagai suatu bangsa dan negara. Kepentingan bersama ini tentu adalah yang menjunjung tinggi demokrasi, keadilan, peri kemanusiaan dan hak asasi manusia untuk menganut dan mempraktekan agamanya, termasuk para penganut aliran agama yang dianggap sesat oleh lawan-lawannya (seperti kasus Ahmadiyah dan Kerajaan Eden).

Secara realistis, sikap masing-masing orang Kristen sangat tergantung pada visi dan misi hidupnya. Jika orang ingin menjadi manusia yang mengutamakan hidup dengan saleh dan taat pada aturan agama demi untuk kehidupan sejahtera dan selamat di “akhirat” atau “sorga” maka ada kecenderungan orang itu untuk menghadapi dan menghidupi dunia yang plural ini secara eksklusif dan bahkan dapat menjadi radikal-ekstrem. Ia melihat dirinyalah yang benar sedangkan orang lain salah. Namun, jika orang memiliki visi dan misi untuk hidup di dunia dengan bertanggung jawab dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain di dunia ini dan di akhirat, serta ada rasa keadilan dan kemanusiaan serta nasionalisme yang kuat, maka pandangan dan sikap positif terhadap pluralisme akan diutamakan. Orang akan melihat dirinya dalam fungsi sebagai pembawa damai, persaudaraan, persatuan dan kesatuan dan sebagai pihak yang ikut membangun masyarakat menjadi berbudi-luhur dan berperadaban tinggi. Orang yang bersangkutan akan melihat dirinya sebagai pembawa rahmat Allah bagi manusia dan alam semesta. Inilah yang dikehendaki Allah bagi kita umat-ciptaanNya.

Sebagai dasar teologis-keagamaan, pengakuan dan penerimaan terhadap pluralisme itu didasarkan pada beberapa hal utama, yaitu:

1) Monotheisme, bahwa Tuhan itu hanya satu dan Ia disembah oleh berbagai bangsa dengan menggunakan bahasa, bentuk dan cara yang berbeda-beda. Bahwa Tuhan yang satu itu adalah untuk semua manusia (yang berbeda-beda itu), termasuk bagi kelompok aliran agama yang berbeda dengan kita.
2) Bahwa pluralitas-pluralisme adalah ciptaan Tuhan. Ia menggambarkan kemuliaan dan keindahan Tuhan itu, dan karena itu ia merupakan rahmatNya. Menghargai pluralitas dan pluralisme adalah menghargai dan memuliakan Tuhan yang telah menciptakannya.
3) Pluralitas-pluralisme adalah kenyataan di dalam sejarah dan teologi atau ajaran agama-agama. Ketika manusia diciptakan, dan juga ketika agama muncul, ia sudah berhadapan dengan kondisi plural; karena memang, Allah telah mengadakannya. Dari sisi sejarah, agama atau aliran tertentu muncul dari dalam lingkungan atau dalam pengaruh agama yang sudah ada sebelumnya. Jadi munculnya agama atau aliran baru adalah suatu kewajaran.
4) Cinta-kasih terhadap sesama yang berbeda dalam berbagai hal, bahkan terhadap orang yang memusuhi kita, adalah hukum Tuhan dan yang menjadi dasar, pegangan dan ciri hidup dan iman orang percaya. Penerimaan terhadap pluralisme dan terhadap orang yang memeluk agama lain adalah pelaksanaan hukum Tuhan itu.

Demikianlah pokok-pokok pikiran yang dapat melandasi atau menjadi bahan pertimbangan di dalam kita menyikapi dan menghidupi diri di dalam keadaan masyarakat religius yang majemuk. Kiranya kuasa, kasih dan rahmat Allah selalu kita alami dan rasakan. A m i n.
[1] Tulisan ini adalah hasil revisi dari makalah (dengan judul: Penyuluhan Agama dalam Masyarakat Multi-Kultural) yang disampaikan pada acara Konsultasi tentang Penyuluhan Agama dalam Masyarakat Multi-kultural, yang diadakan oleh Ditjen Bimas Kristen, Departemen Agama RI, 9-12 Februari 2006, Cisarua, Bogor-Jawa Barat.
[2] Dalam tulisan ini, istilah pluralitas dan pluralisme dipergunakan baik secara bersamaan untuk menggambarkan sekaligus keberadaan dan paham agama yang beragam, maupun secara terpisah untuk menggambarkan keberadaan agama dan paham keagamaan yang plural.

No comments:

Post a Comment