Friday, March 6, 2009

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM ALKITAB

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM ALKITAB[1]

Oleh: Pdt. Stanley R. Rambitan



Pendahuluan
Laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Keduanya memiliki persamaan tetapi juga perbedaan, yaitu sama-sama diciptakan sebagai makhluk yang disebut manusia, tetapi berbeda kelaminnya sebagai laki-laki dan perempuan. Perbedaan kelamin atau gender tersebut mengarah pada adanya perbedaan sifat dan karakter. Manusia laki-laki adalah makhluk yang memiliki sifat dan karakter pemberani, kuat dan tegas. Sedangkan manusia perempuan adalah makhluk yang memiliki sifat dan karakter lemah lembut, halus dan anggun. Untuk itu, kata laki-laki dan perempuan juga dapat dipakai sebagai kata kiasan, misalnya “laki-laki tapi seperti perempuan”. Dalam kalimat tersebut, kata “perempuan” bukan dimaksudkan untuk menunjukkan gender, tetapi kiasan untuk laki-laki yang memiliki sifat lemah lembut, halus dan anggun.
Ada kemungkinan, perbedaan sifat dan karakter tersebut menyebabkan perbedaan status, peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan di masyarakat. Perempuan memiliki status, peran dan kedudukan lebih kecil ataua lebih rendah dari pada laki-laki, karena perempuan dipandang sebagai makhluk yang lemah dan membutuhkan perlindungan dari laki-laki. Dalam masyarakat Jawa, istri seringkali disebut sebagai “kanca wingking” atau teman belakang. Istilah tersebut menunjukkan bahwa istri memiliki kedudukan atau tempat di belakang suami. Dalam kehidupan masyarakat Yahudi, perempuan dan anak-anak tidak pernah diperhitungkan. Jika memperhatikan kisah-kisah dalam Alkitab adanya diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak. Misalnya, dalam menyebutkan daftar silsilah dan keturunan hanya menyebut nama laki-laki, tidak ada tercantum nama perempuan; kisah Yesus memberi makan kepada banyak orang, dikatakan jumlah yang makan adalah lima ribu orang tidak termasuk anak-anak dan perempuan (Mat. 14:21; Mrk. 6:44).



Laki-laki dan Perempuan dalam Perjanjian Lama

Kisah Penciptaan Manusia
Pandangan masyarakat Yahudi, yang merendahkan perempuan, mengatakan bahwa kisah penciptaan jelas menunjukkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dan utama dari pada perempuan. Itu tampak dari kenyataan bahwa Tuhan lebih dulu menciptakan laki-laki baru kemudian perempuan. Berarti laki-laki harus didahulukan atau diutamakan karena ia ada lebih dahulu dari perempuan. Bahkan untuk menguatkan pendapatnya, lakai-laki mengatakan bahwa perempuan diciptakan berdasarkan keinginan Tuhan bukan keinginan laki-laki, sehingga laki-laki hanya terima jadi ciptaan Tuhan tidak sesuai dengan seleranya.
Jika kita perhatikan kisah penciptaan manusia dalam Kej. 1:26-28, tampak bahwa Tuhan tidak membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Bagian tersebut mengatakan bahwa Tuhan menciptakan “manusia”, dalam pengertian laki-laki dan perempuan. Tuhan menciptakan keduanya bersama-sama, memberkati keduanya dan memberikan tugas yang sama. Kalaupun laki-laki lebih dulu disebut baru kemudian perempuan, bukan berarti laki-laki memiliki tempat lebih dulu, tidak ada maksud untuk itu. Sedangkan kisah dalam Kej. 2:18-25, sekalipun laki-laki diciptakan lebih dulu, tetapi justru untuk menunjukkan bahwa laki-laki memerlukan perempuan. Dalam kisah tersebut dikatakan bahwa Tuhan menempatkan Adam (manusia laki-laki) di taman Eden. Tuhan melihat manusia laki-laki itu tidak baik hidup sendiri sebagai laki-laki, maka Tuhan menciptakan penolong yang sepadan dengan dia. Tuhan menciptakan binatang hutan dan burung di udara.
Tuhan menciptakan binatang di hutan dan burung udara sebagai penolong yang sepadan dengan manusia laki-laki, tetapi ternyata manusia (laki-laki) belum menjumpai penolong yang sepadan (ay.20). Bayangkan jika binatang-binatang itu sudah dapat menjadi penolong yang sepadan, maka tidak akan diciptakan perempuan dan laki-laki hidup hanya binatang-binatang. Untuk itulah Tuhan menciptakan perempuan bagi laki-laki. Tuhan menciptakan perempuan tidak seperti menciptakan binatang-binatang, yaitu membentuknya dari tanah (ay.19), melainkan dari tubuh laki-laki, yaitu dari rusuk laki-laki (ay.21). Bukan hanya Tuhan yang memandang perempuan adalah penolong yang sepadan bagi laki-laki, tetapi laki-laki sendiri mengakui perempuan sebagai miliknya yang akan menjadi penolong yang sepadan. Perempuan bukan menjadi milik yang hanya terima diatur oleh laki-laki seperti binatang-binatang yang terima saja diatur dan diberi nama oleh laki-laki. Perempuan memiliki peran, status dan kedudukan yang sama atau sepadan dengan laki-laki; perempuan menjadi teman dan tempat bagi laki-laki untuk berbagi. Aurelius Agustinus, seorang bapa gereja dan filsuf pendidikan agama Kristen, menulis sajak tentang perempuan. Sajak ini kemudian digubah oleh Dale S. Hadley, demikian:

Woman was created from the rib of man Perempuan diciptakan dari laki-laki
not from his head to be above him bukan dari kepalanya untuk menjadi atasan
not from his feet to be walked upon bukan pula dari kakinya untuk dijadikan alas

but from his side to be equal melainkan dari sisinya untuk menjadi mitra
near his arm to be protected dekat pada lengannya untuk dilindungi
and close to his heart to be loved. dan dekat di hatinya untuk dicintai.

Dari kisah penciptaan manusia, tampak bahwa Tuhan tidak membedakan status, peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya diciptakan untuk dapat menjadi mitra kerja atau penolong yang sepadan, saling melengkapi, saling membutuhkan dan saling mendukung.

Kisah-kisah Lain
Bagian-bagian lain dalam Perjanjian Lama juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki status, peran dan kedudukan yang sama dengan perempuan; laki-laki dan perempuan merupakan penolong yang sepadan. Kisah-kisah tersebut antara lain:

1. Kisah Sarai, isteri Abraham (Kej. 12:10-20). Dalam kisah ini, Sarai sebagai seorang isteri, seorang perempuan, dapat bekerja sama dengan Abraham suaminya. Kerelaannya untuk untuk berbohong dan diambil Firaun bukan merupakan ketaatan atau ketidakberdayaannya terhadap kekuasaan Abraham, melainkan merupakan bentuk kerja sama untuk keselamatan bersama. Demikian juga Abraham bukan merendahkan atau melecehkan Sarai, tetapi memperlihatkan bahwa ia membutuhkan Sarai sebagai penolongnya.
Kisah Debora (Hak. 4). Debora adalah isteri Lapidot, seorang perempuan yang berperan sebagai nabi dan memerintah sebagai hakim (ay.4). Sekalipun ia seorang perempuan tetapi ia hakim maka orang Israel, yang adalah laki-laki, datang kepadanya untuk berhakim (ay.5). Bahkan Barak sebagai seorang laki-laki tidak memandang rendah Debora, ia justru akan berani maju perang jika Debora juga ikut maju perang. Demikian juga Debora sebagai seorang perempuan karena dibutuhkan oleh Barak maka ia ikut perang. Dalam kisah tersebut, ditunjukkan juga bahwa perempuan dapat bekerja sama dan menjadi penolong laki-laki. Sisera, seorang panglima tentara yang telah menindas bangsa Israel dengan keras, ternyata mati di tangan seorang perempuan (ay.21).
Kisah Rut, yang menunjukkan bahw Rut sebagai seorang perempuan memiliki ketegaran dan ketegasan dalam hidupnya dengan tetap setia pada pilihannya untuk mengikuti Naomi karena ia sudah memilih Allah Naomi sebagai Allahnya. Dalam kisah tersebut juga tampak bahwa Rut sebagai seorang perempuan membutuhkan laki-laki (Boas) dan Boas sebagai seorang laki-laki menunjukkan sikap mengasihi dan menghargai Rut.

Laki-laki dan Perempuan dalam Perjanjian Baru
Pandangan masyarakat Yahudi, yang mendiskriminasikan perempuan, masih terlihat dalam bagian-bagian Alkitab di Perjanjian Baru. Rasul Paulus melarang perempuan berpartisipasi dalam percakapan jemaat “…perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara … Jika mereka ingin mengetahu sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah” (1 Kor. 14:34-35). Bahkan dalam surat Timotius ada larangan bagi perempuan mengajar di jemaat: “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki…” (1 Tim. 2:12). Dan yang menarik adalah alasan larangan tersebut, yaitu: “Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa” (1 Tim. 2:13).
Bahkan untuk masa sekarang, tidak jarang juga ada bagian-bagian Alkitab yang dipakai untuk membedakan status, perang dan kedudukan perempuan. Misalnya saja Efesus 5:22-23: “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.” Padahal ayat tersebut tidak berhenti di situ tetapi berlanjut ke ayat 25: “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan menyerahkan diri-Nya baginya…”. Artinya, antara suami dan isteri tidak ada yang lebih utama ataupun yang lebih tinggi. Isteri akan tunduk dan hormat kepada suami jika suami mengasihi isterinya, demikian juga suami akan mengasihi isterinya jika isteri menghormati suaminya. Keduanya saling menghormati dan saling mengasihi, saling membutuhkan dan merupakan teman/penolong yang sepadan.

Yesus dan Perempuan
Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengangkat status, peran dan kedudukan perempuan yang oleh masyarakat justru direndahkan. Kisah mertua Simon (Mrk. 1:30) menunjukkan bahwa Yesus menghadirkan seorang perempuan yang melayani. Sikap melayani inilah yang hendak diangkat oleh Yesus, bahwa seorang murid harus mau melayani. Yesus bukan hanya mengangkat perempuan tetapi juga perempuan Syro-Fenisia (Mrk. 7:24-30), seoraang perempuan yang sangat direndahkana tetapi Yesus justru menunjukkan betapa besar iman perempuan ini. Demikian juga pandangan Yesus terhadap perceraian (Mrk. 10:1-12), yang mengubah cakrawala perempuan sebagai pihak yanag direndahkan. Yesus menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan, jika laki-lakai dapat menceraiakan isterinya maka laki-laki tidak dapat begitu saja mengawinkan perempuan lain.

Penutup
Dalam kekristenan, khususnya Alkitab, laki-laki dan perempuan pada dasarnya memiliki status dan peran yang sama. Mereka diciptakan segambar dengan Allah dan berasal dari satu sumber. Laki-laki berasal dari Allah dan perempuan berasal dari laki-laki. Laki-laki dan perempuan ditempat di dunia ini secara bersama-sama dalam satu kesatuan, dalam sebuah relasi baik personal/pribadi maupun kerja. Mereka berfungsi untuk mengelola, memanfaatkan dan memelihara dunia ciptaan Tuhan dan sekaligus berreproduksi untuk melanjutkan keturunan/manusia.
Namun dalam lingkungan umat Kristen sejak awal maupun hingga saat ini, ada saja pandangan dan sikap yang membeda-bedakan kedua jenis kelamin itu. Ini memang dipengaruhi oleh budaya atau adat istiadat di mana umat itu berada. Ini yang perlu dipahami oleh kita sebagai orang Kristen pada masa kini dan dengan begitu kita tidak menerima dan menerapkan begitu saja ajaran dan praktek yang merendahkan salah satu pihak, terutama perempuan. Melihat status dan peran laki-laki dan perempuan sebagaimana diciptakan oleh Tuhan, ada persamaan atau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ini yang perlu diperjuangkan oleh setiap orang percaya.





[1] Makalah ini disampaikan pada acara seminar tentang Gender, oleh PGI Wilayah Banten, di GKJ Tangerang, pada hari Sabtu, 11 November 2006.

11 comments: