Tuesday, July 19, 2011

Dialog Agama

Pluralitas Agama

Sebagai Motivasi Bagi Dialog Antar Umat Beragama[1]

Stanley R. Rambitan[2]

Dalam wacana ilmu-ilmu sosial, politik, ekonomi dan agama/teologi, lingkungan tempat manusia hidup saat ini sudah diberi julukan sebagai “Global Village” (Kampung Global). Bahwa kehidupan dunia-bumi/globe menjadi layaknya sebuah kampung, di mana orang dapat saling terhubungkan, dapat dengan mudah berkomunikasi dan saling mengetahui walaupun terpisah oleh jarak yang sangat jauh, dengan bantuan berbagai hasil IPTEK. Di pihak lain, lingkungan masyarakat kita saat ini menjadi bagaikan sebuah kampung yang mendunia; artinya bahwa berbagai fasilitas dan nilai yang ada dan dipergunakan di tempat atau di sisi dunia yang lain, dapat ditemukan dan dipergunakan di dalam lingkungan masyarakat kita walaupun di sebuah daerah yang jauh. Realita dan nilai-nilai global seperti IPTEK, demokrasi dan pluralitas/pluralism[3] sudah ada di dalam masyarakat kita. Pluralitas, dalam hal ini agama, menjadi kenyataan dan gambaran umum masyarakat kita di Indonesia.

Efek dari kondisi kampong global ini pada kehidupan beragama (yang pluralis) adalah munculnya dua kelompok/karakter orang, yaitu: pertama, yang terbuka dan membuka diri bagi kehadiran pihak lain, dan kedua, orang yang tertutup atau menutup diri dari atau tidak dapat menerima kehadiran pihak lain. Kelompk yang terakhir ini biasanya menjadipihak yang radikal/ekstrim dan menyetujui penggunaan kekerasan terhadap pihak lain. Ini adalah potensi negatif dari global village dan pluralitas yaitu sebagai sumber konflik dan kerusuhan. Pluralitas dan pluraisme tentu mengandung potensi posisif, yaitu sebagai unsur yang memperkaya budaya, wawasan dan peradaban Dalam menghadapi dan menghidupi kenyataan plural ini, apa yang perlu dilakukan umat beragama, khususnya di sini umat Kristen, agar yang dihasilkan oleh kenyataan keanekaragaman agama itu adalah yang positif tadi, sedangkan potensi negatif terhindarkan. Juga agar umat/iman Kristen dapat berperan dan berpengaruh secara nyata di dalam masyarakat. Saling berkomunikasi atau berdialog antar umat berbeda agama menjadi cara yang efektif untuk mencapai harapan itu. Pembahasan lebih jauh tentang pluralitas agama di Indonesia dan dialog antar umat beragama akan dipaparkan di bawah.

Indonesia dan Pluralitas Agama dan Kepercayaan

Indonesia adalah negara-bangsa dengan masyarakat yang majemuk dalam hal ras, bangsa, suku, golongan dan agama. Pluralitas dan atau pluralisme adalah unsur pembentuk dan menjadi bagian yang menyatu dengan kepribadian bangsa Indonesia. Keadaan ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diingkari. Ia mutlak ada, sebagaimana juga hal itu ada di berbagai tempat di penjuru dunia ini. Dalam hal agama, keanekaragaman begitu nyata dengan keberadaan agama-agama seperti Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, Kristen dan Islam serta berbagai aliran kepercayaan (saat ada sekitar 400-an) dan agama suku (seperti Kejawen, Paralim, Kaharingan, Marapu dan agama suku Toraja). Di samping itu, saat ini muncul berbagai aliran spiritual yang mengutamakan pengembangan dan pembangunan spiritualitas tanpa menerima dan mempraktekan unsur-unsur yang diutamakan di dalam agama-agama umumnya (seperti doktrin tentang Tuhan, ibadah dan organisasi formal). Aliran yang terakhir ini sedang menjadi gejala umum atau trend di dalam masyarakat baik di Amerika, Eropa dan Asia, (termasuk di Indonesia).

Kemajemukan agama di dalam suatu masyarakat, mengandung baik sisi positif, maupun negatif. Secara positif, keanekaragaman itu menunjukan kekayaan budaya dan atau peradaban masyarakat. Ini dapat dipergunakan untuk saling mengisi dan saling menyempurnakan. Wawasan dan sikap seseorang dapat diperkaya oleh pemahaman atau pengetahuannya tentang paham ajaran dari pihak lain. Di sisi lain, potensi negatif dari pluralitas agama telah berwujud dalam berbagai persengketaan, konflik dan bahkan kerusuhan dan pertumpahan darah, seperti yang terjadi dalam kasus-kasus permusuhan dan kerusuhan antar umat berbeda agama, mulai dari kasus Situbondo, Ketapang-Jakarta, Maluku dan Poso. Selanjutnya, terjadi berbagai kasus kekerasan dan penindasan antar umat beragama di berbagai tempat di Indonesia, seperti peristiwa penutupan banyak gedung ibadah khusus di daerah Jawa Barat. Yang masih hangat adalah kasus HKBP di Bekasi, GKI Taman Yasmin di Bogor. Peristiwa lain juga adalah penyerangan terhadap pemeluk Islam Ahmadiyah (di Parung, Cianjur, Lombok dan terakhir di Cikeusik-Banten dan di Bogor, dan disusul oleh kasus penyerangan terhadap gedung gereja di Temanggung, dan Pondok Pesantren di Pasuruan. Juga yang pernah terjadi adalah tekanan atau penghambatan dan bahkan penangkapan terhadap penganut aliran Kerajaan Eden yang dipimpin oleh Lia Aminuddin.

Sebenarnya, UUD RI (Pada pasal 28 dan 29) dengan jelas dan tegas menjamin kebebasan setiap warga negara untuk menganut agama dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Namun kenyataan, hak kebebasan itu tidak dijunjung dan dilindungi oleh negara/pemerintah. Masih banyak orang atau kelompok yang dilarang untuk menganut agamanya bahkan yang dipencara kartena keyakinannya (seperti kasus Ahmadiyah dan Lia Eden). Agama dan beragama, apapun itu, adalah hak asasi manusia. Dan soal agama-iman, itu menyangkut hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan yang diyakininya. Karena itu, penyebutan dan penghakiman sebagai aliran sesat atau aliran benar bukanlah wewenang manusia dan pihak lain, termasuk negara/pemerintah (kecuali umat/pemimpin organisasi agama di mana seseorang yang dituduh sesat itu menjadi anggota).

Hidup beragama adalah hidup yang dinamis. Di situ terkandung kreatif dan juga agresifitas. Pemikiran dan praktek keagamaan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Hal ini tidak jarang menghasilkan pemikiran atau ajaran dan praktek beragama yang baru dengan komunitas dan nama yang baru. Dari dalam Hinduisme, muncul Buddhisme, agama Sikh, Jainisme dan Tantraisme; dari dalam Buddhisme, muncul aliran-aliran seperti Mahayana, Hinayana-Theravada, Buddhisme Zen, Nichiren, dsbnya. Kekristenan berkembang menjadi aliran-aliran Orthodoks, Katholik, Anglikan, Protestan, berbagai aliran Pentakosta, Advent, Menthodis dan aliran-aliran Injili dan Kharismatik. Islam muncul dari lingkungan agama-agama suku Arab, Yahudi dan Kristen. Di dalam Islam muncul dan berkembang berbagai aliran seperti Sunni, Syiah, Sufi dan Ahmadiyah. Di Indonesia, dari kalangan Islam, muncul berbagai aliran seperti Madi di Sulawesi Tengah dan Selatan, Naqsabandiyah di Sumatera Barat dan Jawa Timur, Kerajaan Eden di Jakarta, Satrio Piningit Wedang Wibowo di Kebagusan-Jakarta, dsb. Di samping itu, dari kalangan agama-agama, muncul aliran-aliran spiritualitas, seperti Brahma Kumaris, Anand Ashram dan Kelompok Sufi Modern. Di Indonesia, salah satu trend dalam kebangkitan agama adalah bangkitnya agama-agama suku (baik melalui upacara-upacara adat maupun paham-paham dan praktek agama suku, seperti tampak pada berbagai progam-entertainman di TV maupun film-film di bioskop, serta praktek perdukunan). Ini tampaknya sejalan dengan usaha untuk membangkitkan kembali warisan budaya dan adat istiadat masyarakat lokal. Di samping paham dan praktek agama atau aliran kepercayaan yang berbeda-beda itu, dalam kenyataa dunia saat ini, rasionalisme yang menghasilkan atheisme juga ada atau sudah muncul di dalam wacana keberagamaan kita. Ini jelas sekali terlihat di dalam diskusi-diskusi di internet dan juga di kalangan mahasiswa yang mengikuti kuliah agama. Setiap agama atau aliran kepercayaan dan bahkan paham atheis ini berusaha melakukan tugas, tanggung jawab dan misinya, baik yang ditujukan kepada umatnya sendiri maupun kepada pihak atau umat agama lain.

Dari uraian di atas, jelas bahwa di Indonesia dan juga di belahan dunia yang lain, keanekaragaman berlaku dalam hal antar agama, di mana ada banyak agama yang hidup dan beraktifitas, dan juga intra agama, bahwa di dalam satu agama, ada banyak aliran/kelompok yang berbeda. Bahkan di dalam satu kelompok pun terdapat individu-individu yang memiliki paham dan praktek yang berbeda, Bahkan, kenyataan memperlihatkan bahwa di dalam keluarga pun kita dapat menemukan anggota-anggotanya yang memiliki agama atau paham dan praktek yang berbeda-beda.

Bagaimana Sikap Kristen?

Pluralitas/pluralisme agama, aliran kepercayaan dan paham atheis di atas adalah kenyataan yang ada di dalam lingkungan kehidupan kita sebagai umat beragama, khususnya di sini umat Kristen. Pertanyaan bagi kita orang Kristen adalah: bagaimana kita menyikapi dan hidup di dalam kondisi masyarakat beragama yang plural itu?

Pertama, kita perlu menyadari dan menerima bahwa pluralitas-pluralisme adalah kenyataan mutlak masyarakat kita. Ia ada, tetap ada dan tidak akan terhapus dari dunia ini. Pluralisme adalah ciri utama dinamika manusia, khususnya dinamika dan kreatifitas hidup beragama. Pluralisme adalah keadaan yang direstui oleh Tuhan.

Kedua, kita mengutamakan penghormatan dan pernghargaan kepada sesama manusia; manusia yang memiliki berbagai unsur yang berbeda dengan diri kita; bahwa saya berbeda dengan orang lain, bahkan dengan orang-orang yang dekat, seperti suami, istri, dan anak-anak. Manusia yang berbeda-beda ini adalah ciptaan Tuhan.

Ketiga, kita perlu membiasakan untuk mengutamakan kepentingan bersama sebagai suatu bangsa dan negara. Kepentingan bersama ini tentu adalah yang menjunjung tinggi demokrasi, keadilan, peri kemanusiaan dan hak asasi manusia untuk menganut dan mempraktekan agamanya, termasuk para penganut aliran agama yang dianggap sesat oleh lawan-lawannya (seperti kasus Ahmadiyah).

Keempat, bersedia dan berinisiatif untuk berdialog dengan agama dan kepecayaan lain. Dialog berfungsi untuk menjelaskan diri/agama sendiri kepada pihak lain dan sebaliknya kita mendapat penjelasan dari pihak lain tentang diri/agamanya. Tujuan pertama dan terutama adalah terjadi saling memahami, menghindari salah paham, rasa curiga dan saling menghakimi, dan menciptakan kerukunan dan perdamaian. Tujuan lain dari dialog adalah, kita mengkomunikasikan dan mengekpresikan diri kepada pihak lain, dengan harapan, kita dipahami, diterima (dan diikuti).

Dialog Agama

Sebagaimana disinggung di atas, dialog adalah percakapan antara dua pihak untuk saling menjelaskan pendapat, paham, dan pendirian masing-masing. Syarat terjadinya dialog yang benar dan bermanfaat adalah kesetaraan, keterbukaan, kejujuran dan ketulusan antar dua pihak yang berdialog untuk saling memberi dan menerima informasi dan untuk saling menghargai, menghormati dan menerima keberadaan, pendapat dan paham pihak lain. Rasa superioritas, ketidak jujuran, rasa curiga dan penolakan terhadap pihak lain adalah hal-hal yang akan menjadikan dialog tidak efektif atau bermanfaat bagi kedua belah pihak. Juga apabila di dalam dialog, satu pihak menjadikan pihak lain sebagai objek atau sasaran untuk kepentingannya. Yang menjadi tujuan utama dialog adalah terjadinya saling paham dan mengakui serta menerima adanya pendapat pihak lain seklipun hal itu berbeda atau bertentangan. Dialog juga kemudian dapat bertujuan untuk saling bekerja sama antara ke dua pihak, tergantung pada tema-tema yang didialogkan.

Dialog adalah satu cara yang sangat penting dan berarti di dalam rangka kehidupan beragama. Ia memberikan pemahaman yang benar terhadap pihak lain, termasuk juga pemahaman terhadap diri/agama sendiri. Seorang professor agama-agama di Jerman, Walter Freytag, mengatakan bahwa “Orang yang hanya mengetahui satu agama (yaitu agamanya sendiri) sebenarnya tidak tahu agama manapun, karena jika orang tidak berkesempatan membuktikan kekhasan suatu pokok tertentu dalam agamanya atau kepercayaannya, dengan jalan membandingkannya dengan pokok-pokok dalam agama lain, bagaimana ia dapat mengetahui bahwa unsure-unsur ini sifatnya mendasar dan hakiki bagi kepercayaannya dan tidak pula dijumpai dalam agama lain? Aku tidak dapat dikatakan memahami agama lain kalau agama tersebut belum menghadapkan semacam percobaan bagi imanku.”

Tema-tema dialog dapat berupa doktrin/ajaran dan praktek agama, seperti soal Tuhan, nabi, manusia, dosa, keselamatan, soal-soal hukum dan etika, doa, puasa, dan perbuatan baik. Juga tentu tema dialog dapat berupa masalah-masalah atau tantangan-tantangan di dalam kehidupan yang dialami atau dihadapi bersama, seperti soal kemiskinan, korupsi, lingkungan hidup, bencana alam, IPTEK, dan sekularisme-rasionalisme. Tema-tema dialog ini haruslah yang diterima sebagai persoalan bersama, baik dalam rangka perjumpaan antara agama maupun dalam rangka perjumpaan agama-agama dengan paham-paham dan praktek hidup lain dan masalah-masalah nyata di dalam masyarakat. Di sini, kesedian berdialog antar pemeluk agama yang berbeda merupakan perwujudan dari tugas dan tanggung jawab iman sekaligus tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat.

Dasar bagi Penerimaan terhadap Pluralitas dan Dialog

Dasar teologis-keagamaan bagi pengakuan dan penerimaan terhadap pluralitas agama dan kesediaan untuk berdialog adalah sebagai berikut:

1) Monotheisme, bahwa Tuhan itu hanya satu dan Ia disembah oleh berbagai bangsa dengan menggunakan bahasa, bentuk dan cara yang berbeda-beda. Bahwa Tuhan yang satu itu adalah untuk semua manusia (yang berbeda-beda itu), termasuk bagi kelompok aliran agama yang berbeda dengan kita.

2) Bahwa pluralitas-pluralisme adalah ciptaan Allah. Ia menggambarkan kemuliaan dan keindahan Tuhan itu, dan karena itu ia merupakan rahmat Allah. Menghargai pluralitas dan pluralisme adalah menghargai dan memuliakan Tuhan yang telah menciptakannya.

3) Pluralitas-pluralisme adalah kenyataan di dalam sejarah dan teologi atau ajaran agama-agama. Ketika manusia diciptakan, dan juga ketika agama muncul, ia sudah berhadapan dengan kondisi plural; karena memang, Allah telah mengadakannya. Dari sisi sejarah, agama atau aliran tertentu muncul dari dalam lingkungan atau dalam pengaruh agama yang sudah ada sebelumnya. Jadi munculnya agama atau aliran baru adalah suatu kewajaran.

4) Cinta-kasih terhadap sesama yang berbeda dalam berbagai hal, bahkan terhadap orang yang memusuhi kita, adalah hukum Tuhan dan yang menjadi dasar, pegangan dan ciri hidup dan iman orang percaya. Penerimaan terhadap pluralisme dan terhadap orang yang memeluk agama lain adalah pelaksanaan hukum Tuhan itu.

Tentu dasar-dasar pengakuan terhadap pluralitas/pluralism di atas tidak menutup atau membatasi umat untuk melaksanakan tugas-panggilan untuk mewartakan berita sika cita kepada orang lain atau tugas membawa damai sejahtera ke dalam hidup manusia dan dunia. Ke empat hal di atas merupakan cara dan perwujudan dari pelaksanaan tugas membawa damai sejahtera itu. Secara realistis, sikap masing-masing orang Kristen sangat tergantung pada visi dan misi hidupnya. Jika orang ingin menjadi manusia yang mengutamakan hidup dengan saleh dan taat pada aturan agama demi untuk kehidupan sejahtera dan selamat di “akhirat” atau “sorga” maka ada kecenderungan orang itu untuk menghadapi dan menghidupi dunia yang plural ini secara eksklusif dan bahkan dapat menjadi radikal-ekstrem. Ia melihat dirinyalah yang benar sedangkan orang lain salah. Namun, jika orang memiliki visi dan misi untuk hidup di dunia dengan bertanggung jawab dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain di dunia ini dan di akhirat, serta ada rasa keadilan dan kemanusiaan serta nasionalisme yang kuat, maka pandangan dan sikap positif terhadap pluralisme akan diutamakan. Orang akan melihat dirinya dalam fungsi sebagai pembawa damai, persaudaraan, persatuan dan kesatuan dan sebagai pihak yang ikut membangun masyarakat menjadi berbudi-luhur dan berperadaban tinggi. Orang yang bersangkutan akan melihat dirinya sebagai pembawa rahmat Allah bagi manusia dan alam semesta. Inilah yang dikehendaki Allah bagi kita umat-ciptaanNya.

Peran Kristen dalam Masyarakat Plural

Bagaimana Iman Kristen dapat berperan di dalam masyarakat plural?

Fungsi iman atau orang Kristen di dalam masyarakat adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Yesus, yaitu menjadi garam dan terang dunia. Fungsi ini dilaksanakan dengan perbuatan yang baik, yang dilihat oleh semua orang (Matius 5). Menjadi “garam” bermakna bahwa orang/iman Kristen menjadi pihak yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pengaruh ini seperti garam yaitu membuat “enak” atau menciptakan masyarakat plural menjadi rukun-harmonis, tentram, damai, makmur dan sejahtera. Menjadi “terang” bermakna membuat masyarakat mengetahui atau memiliki pengetahuan yang layak atau membuat orang memiliki wawasan yang luas tentang realita hidup (yang plural) sehingga orang dapat melihat dan menikmatinya. Dengan kata lain, menjadi terang berarti orang/iman Kristen berfungsi membuat hidup itu indah dan dinikmati. Di sini, tugas iman Kristen adalah mengajar atau mendidik orang agar memiliki pengetahuan dan wawasan itu. Untuk tugas inilah maka inisiatif mengkomunikasikan Injil dan melakukan dialog menjadi sangat penting untuk dilakukan. Sekian

Jakarta, 25 Maret 2001


[1] Tulisan ini disampaikan pada acara Seminar tentang Dialog antar Agama yang diselenggarakan oleh GPIB Pasar Minggu pada hari Jumat, 25 Maret 2011.

[2] Dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, dengan spesialisasi Ilmu Agama-agama dan Filsafat Timur.

[3] Di sini, istilah pluralitas dan pluralisme dipergunakan baik secara bersamaan untuk menggambarkan sekaligus keberadaan dan paham agama yang berbeda, maupun secara terpisah untuk menggambarkan keberadaan agama atau paham yang plural. Untuk pemakaian secara bersamaan, kedua kata itu kadang diganti dengan kata ‘keanekaragaman”.

No comments:

Post a Comment