Thursday, July 21, 2011

Konflik Palestina-Israel-pctr



BPK Gunung Mulia-GKI Pondok Indah

Acara : Bedah Buku

Tempat : GKI Pndok Indah

Waktu : Sabtu, 21 Mei 2011

Judul Buku : Palestina Milik Siapa?

(Terjemahan dari judul asli: Whose Land, Whose Promise? –terbit 2003)

Pengarang : Gary M Burge

Penerbit : BPK Gunung Mulia

Tahun Terbit : Februari 2010 (Cet. Ke-1); Agustus 2010 (Cet. Ke-2)

Pembahas : Stanley R. Rambitan

=================================================================

Palestina Milik Siapa?

Sumber: www…

Persoalan Israel-Palestina merupakan masalah yang kontroversial, provokatif dan sensitif, tidak saja bagi bangsa Palestina dan Israel sendiri, tapi juga bagi masyarakat di Timur Tengah, Amerika Serikat-Eropah, dan bahkan bagi banyak orang Indonesia, khususnya di kalangan Islam dan Kristen. Dikatakan kontroversial dan provokatif karena masalah Israel-Palestina berhubungan erat dengan soal kebenaran (tentang kepemilikan, atau siapa yang benar) baik secara historis-faktual dan legal, maupun teologis. Dengan soal kebenaran ini, konflik Israel-Palestina lalu cenderung membawa berbagai pihak yang terlibat, yang ikut berusaha mencari solusi, dan pihak-pihak yang berusaha berwacana tentang konflik, kepada keberpihakan; apakah setuju/membela atau menolak/menyalahkan Israel atau Palestina. Isu ini juga mengandung sensitifitas yang tinggi, khususnya ketika aspek keagamaan-teologis ditonjolkan (walau tidak jarang salah dipahami). Sentimen keagamaan dapat dengan mudah terusik dan dapat mengarahkan kepada konflik antar umat beragama ketika orang memandang dan mengajarkan bahwa konflik Israel-Palestina adalah konflik Israel-Arab, atau khususnya Yahudi (termasuk Kristen) melawan Islam. Di Indonesia, pandangan seperti ini tidak jarang kemudian menjadi salah satu pendorong sikap antipati atau sentimen antar umat beragama.

Gary M. Burge, dengan bukunya Palestina Milik Siapa? Fakta Yang Tidak Diungkapkan kepada Orang Kristen tentang Tanah Perjanjian, (buku asli: Whose Land, Whose Promise? Atau, judul versi perdananya: Who are God’s People in the Middle East? What Christians Are Not Being Told about Israel and the Palestinians) mempelihatkan segi kontroversial, provokatif dan sensitifitas masalah atau konflik Palestina-Israel. Judul buku itu “Palestina milik Siapa?” sudah memperlihatkan soal kontroversial itu. Dalam bukunya ini, Burge membahas tentang persoalan-persoalan yang menyangkut atau yang diakibatkan oleh konflik Palestina-Israel, pembahasan teologis-alkitabiah tentang Tanah Perjanjian dan status hak Israel saat ini, serta harapan-harapan dan jalan keluar yang dapat diikuti untuk menyelesaikan masalah kedua bangsa itu.

Isi buku Burge ini merupakan pergumulan pribadi yang berdasarkan pada pengalaman aktualnya di dalam kehidupan dan bersama bangsa Palestina dan Israel, dan pada perenungan-perenungan teologis (etis dan kemanusiaan)-nya sebagai seorang Kristen dan teolog dari kalangan Injili. Pada satu pihak, Burge, sebagai seorang Kristen Injili, mengakui kebenaran Alkitab, khususnya yang mengajarkan tentang Israel sebagai pewaris Tanah Perjanjian; tetapi di lain pihak, Burge tidak dapat menerima kenyataan tentang konflik Palestina-Israel yang berakibat buruk pada manusia Palestina dan juga gereja di sana, khususnya akibat perbuatan Israel yang brutal, diskriminatif dan tidak berprikemanusiaan. Jadi ada dilema atau pertentangan di dalam dirinya yang kemudian mendorong Burge untuk mencari jalan keluar baik secara teologis, yaitu di satu sisi mengungkap makna teologis dari Tanah Perjanjian dan hak Israel, dan di sisi lain berusaha membangkitkan kesadaran umat Kristen untuk menunjukan solidarisas mereka dan memberikan bantuan kepada warga Palestina.

Dalam pembahasan awal, Burge menceritakan berbagai peristiwa buruk yang terjadi di Palestina-Isrel yang kebanyakan merupakan pengalaman langsung dirinya sendiri, seperti tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan tentara Israel terhadap penduduk Palestina, buruknya keadaan pengungsi, penangkapan dan perlakuan buruk terhadap anak, remaja atau warga Palestina, pengusiran warga Palestina dari rumah-rumah mereka yang kemudian diambil alih dan diduduki oleh warga Yahudi, atau penghancuran rumah-rumah penduduk Palestina yang kemudian diganti dengan rumah-rumah untuk pemukiman baru warga Yahudi. Warga Palestina tampak tidak berdaya menghadapi kekuatan brutal dan semena-mena dari penguasa Israel. Di banyak tempat di bukunya, Burge memperlihatkan peristiwa-peristiwa buruk yang disaksikan atau dialaminya sendiri. Pola-pola tindakan Israel dalam hal ini adalah blokade terhadap jalan ke daerah pemukiman warga Palestina sehingga ekonomi tidak berjalan dan rakyat kelaparan, deportasi warga Palestina ke luar daerahnya dan kemudian dilarang masuk kembali, pengusiran dari rumah-rumah mereka, penghancuran rumah-rumah dengan menggunakan bom atau buldozer dan diganti dengan bangunan-bangunan baru untuk pemukiman bangsa Yahudi, dan penangkapan-penangkapan warga Palestina yang kadang tidak beralasan dan tidak diproses secara hukum atau melalui pengadilan. Di sini diskriminasi kebangsaan atau rasial terjadi. Burge sempat menyingkung bahwa pola kekerasan Israel ini dapat merupakan tindakan pembasmian etnik (ethnic cleansing) atau sama dengan pola apartheid di Afrika Selatan. Dan karena itu, sebenarnya kasus-kasus kekerasan di Palestina-Israel dapat disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena itu memang, sebagaimana keluhan Burge, apakah layak dan dibenarkan bahwa bangsa, yang dipercayai sebagai bangsa pilihan dan umat kepunyaan Allah, melakukan kejahatan seperti itu.

Dari pemaparan Burge, kita dapat melihat ada dua masalah utama dalam konflik Palestina-Israel, yaitu pertama soal kedaulatan (sovereignity), dan kedua, soal kemanusiaan (humanity) -dan ketidak-adilan. Yang pertama, tampak pada pendudukan atau okupasi Israel terhadap tanah Palestina dengan cara kekerasan. Masalah kedua tampak pada penindasan atau penganiayaan dan bahkan pembasmian secara sistematis dari pihak Israel terhadap rakyat Palestina yang mendiami tempat-tempat yang kemudian diambil alih oleh penguasa Israel, khususnya di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Sumber: www…

Burge tampak tidak mengkritik secara terang-terangan terhadap masalah pengambil alihan, penguasaan dan pendudukan tanah Palestina oleh Israel sejak tahun 1948 (jadi negara Israel modern), dengan daerah kekuasaan yang semakin meluas dari tahun ke tahun sampai saat ini (lihat gambar di atas). Sikap Burge ini didasarkan pada pemahaman teologinya bahwa Israel memang layak dan berhak memiliki tanah itu karena tanah itu diberikan Tuhan kepada Abraham, leluhur bangsa Israel; bahwa Israel memang sebagai pewaris sah tanah itu. Burge memang sebagai seorang Kristen Injili tampak menerima dengan tanpa syarat Alkitab sebagai dasar pandangannya tentang Israel sebagai umat pilihan dan Palestina sebagai Tanah Perjanjian sehingga pendudukan Israel di tanah Palestina saat ini tidak dilihatnya sebagai masalah. Keyakinan atau iman Burge ini kemungkinan yang telah membuatnya sebagai seorang akademisi menghindari atau tidak memiliki keberanian untuk mempertanyakan apalagi membahasnya secara mendalam tentang relevansi dan kelayakan alasan teologis itu bagi pendudukan Israel di tanah Palestina saat ini. Burge menghindari untuk mengatakan bahwa alasan teologis-alkitabiah bagi penguasaan tanah Palestina oleh Israel saat ini sudah tidak logis, irasional dan tidak dapat diterima. Hal ini karena sebenarnya pendudukan Israel itu lebih beralasan kebutuhan akan tanah untuk hidup. Banyak orang memahami betul istilah “sebidang tanah untuk bangsa tanpa tanah”, bagi Israel. Karena itu, kasus pendudukan Israel di Palestina dikategorikan secara politis dan hukum sebagai penyerobotan atas tanah Palestina. Contoh yang diberikan Burge, yaitu Raja Ahab yang merebut ladang anggur Nabot, atau kasus Daud yang merebut istri Uria, adalah sepedan dengan kasus Israel dan Palestina saat ini.

Pertanyaan “Palestina milik siapa?”, tampak dijawab oleh Burge dengan pembahasan tentang Tanah Perjanjian, yang dapat disimpulkan bahwa bangsa Israel memiliki hak untuk tinggal atau hidup di dalamnya karena tanah itu adalah pemberian Tuhan melalui leluhur mereka yaitu Abraham, Ishak, Yakub, dan kemudian diusahakan melalui Musa, Yosua, Saul, dan lalu dibangun oleh Daud dan Salomo. Jadi bagi Burge, pendudukan atau penguasaan daerah di Palestina oleh Israel bukan menjadi persoalan karena pendudukan itu memiliki jaminan atau legitimasi teologis-historis. Apalagi memang, (walaupun ini tidak dibahas oleh Burge), menyangkut siapa yang memiliki tanah itu sejak awal tidaklah diketahui. Bangsa Palestina pun secara historis-antropologis bukan penduduk asli daerah Palestina. Mereka berasal dari daerah Asia Kecil yang bermigrasi ke daerah Palestina (awalnya di daerah Jalur Gaza dan sekitarnya saat ini) sebelum Abraham memasuki tanah Kanaan. Jadi bangsa Palestina juga merupakan pendatang di daerah itu, sama dengan leluhur bangsa Israel, yaitu Abraham. Bedanya, jika Abraham datang dari daerah Mesopotamia atau sebelah Timur Laut Palestina, leluhur bangsa Palestina datang dari daerah sebeluh Barat Laut Palestina, yaitu sebagian daerah Yunani dan Turki saat ini. Jadi bangsa Israel dan bangsa Palestina bukan penduduk asli daerah Palestina dan karena itu mereka masing-masing secara historis-antropologis bukan pemilik tanah Palestina. Hal-hal terakhir ini tidak menjadi sorotan Burge ketika membahas tentang tanah Palestina, dan oleh siapa kepemilikannya. Ia hanya melihatnya dari sisi teologis-historis bahwa tanah itu adalah tanah pemberian Tuhan kepada leluhur Israel, dan tanah itu adalah Tanah Suci (tetapi yang menurut Burge, tanah yang berlumuran darah juga). Burge memang tidak menyoroti status tanah Palestina secara historis dan hukum. Bahwa sesuai kenyataan, baik sebelum Abraham sampai saat ini, Palestina sudah didiami oleh orang-orang Palestina. Saat ini, secara faktual dan legal, penduduk Palestina memiliki hak atas tanah dengan bukti-bukti surat kepemilikan, tetapi yang dalam banyak kasus tidak dipedulikan oleh penguasa Israel.

Yang tampak penting bagi Burge adalah walaupun Israel memiliki hak teologis-historis terhadap tanah Palestina, tetapi tanah itu tidak boleh dikuasai dan dihidupi sendiri oleh bangsa Israel; Israel tidak boleh beranggapan bahwa bangsa lain tidak boleh hidup di daerah itu; apalagi jika dengan maksud itu Israel harus mengusir penduduk Palestina dengan cara kekerasan, ilegal dan tidak manusiawi. Burge memberi penghargaan dan pengakuan yang kuat terhadap hak penduduk yang sudah tinggal di situ sebelum dan sesudah Israel menguasainya (bahkan sampai ke masa Abraham dulu; bahwa Abraham pun harus membeli tanah di situ). Dan karena itu, bagi Burge, yang penting bagi Israel di dalam penguasaan Tanah Perjanjian itu adalah sikap atau prilaku mereka, yaitu harus sesuai dengan kehendak Allah, khususnya, mereka harus memperlakukan penduduk setempat secara baik, tidak diskriminatif dan tidak melakukan kekerasan dan pembasmian

Tanah Perjanjian dan sikap baik yang diharapkan dari bangsa Israel terhadap penduduk Palestina dibahas oleh Burge dengan memberikan contoh-contoh prilaku itu di dalam sejarah leluhur bangsa Israel yaitu mulai dari Abraham, Musa-Yosua, Hakim-Hakim, Saul, Daud dan Salomo dan Nabi-Nabi, secara kronologis, sebagaimana terdapat di dalam Alkitab. Di sini Burge hendak memperlihatkan bahwa sikap para leluhur Israel itu terhadap penduduk Kanaan/bangsa Palestina adalah positif. Mereka menerima keberadaan bangsa Palestina dan memperlakukan mereka sebagaimana perlakuan terhadap bangsa Israel sendiri. Inilah yang harus dilakukan oleh bangsa Israel di Tanah Perjanjian. Tetapi di dalam kenyataannya, bangsa Israel melakukan kesalahan atau dosa dan karena itu hak mereka atas tanah diambil dan bahkan mereka dihukum oleh Tuhan; salah satunya dengan mengeluarkan mereka dari tanah itu dan membuang di Babel. Bagi Burge, hak atas Tanah Perjanjian berhubungan dengan sikap hidup yang benar yang juga merupakan perjanjian dengan Tuhan. Walaupun Israel diberi hak atas tanah itu tetapi jika mereka melanggar perjanjian atau berbuat dosa maka hak itu akan diambil Tuhan; bahwa perbuatan dosa mengakibatkan hilangnya tanah-milik pusaka. Dan dengan begitu, bangsa Israel tidak layak disebut sebagai pemilik Tanah Perjanjian itu. Untuk saat ini, Burge menilai bahwa prilaku Israel di Tanah Perjanjian, dengan perlakuan buruknya terhadap penduduk Palestina, adalah salah dan dosa.

Sehubungan dengan Tanah Perjanjian ini, Burge selanjutnya membahas ajaran-ajaran di dalam Perjanjian Baru, terutama Yesus, Paulus, Petrus dan kitab-kitab seperti Yohanes, Kisah Rasul dan Ibrani. Burge memperlihatkan bahwa Yesus sendiri tidak mementingkan Tanah Perjanian atau khususnya kota suci Yesusalem. Yang penting bagi Yesus adalah menyembah Allah di dalam diri-Nya (Kristus) bukan di Yesusalem. (Bahkan Burge memperlihatkan bahwa sehubungan dengan Yesus, kota/daerah yang penting adalah Galilea), bukan Yerusalem; dan bahwa Yesus sendiri mengatakan bahwa Yerusalem akan hancur. Jadi Yesus tidak mementingkan Tanah Perjanjian atau Tanah Suci atau kota Yerusalem. Yang penting adalah beriman kepadaNya. Demikian juga Paulus yang tidak mengutamakan tanah Perjanjian dan bangsa pilihan. Ia berbicara tentang Israel yang baru serta bumi dan dunia yang baru. Dalam pembahasannya tentang kitab-kitab tersebut, Burge juga demikian, membuktikan bahwa Tanah Perjanjian dan Israel sebagai bangsa pilihan tidaklah penting. Yang penting adalah beriman kepada Kristus dan hidup sesuai dengan FirmanNya, membawa Injil kepada semua orang tanpa memandang suku, ras, latar belakang sosial, ekonomi ataupun agama.

Burge memberi tanggapan terhadap padangan, khususnya dari kalangan Kristen Injili di Amerika Serikat, yang mendukung pendudukan Israel di Palestina. Pandangan itu adalah bahwa pertama, bangsa Israel memiliki hak untuk memiliki tanah Palestina karena tanah itu diberikan Tuhan. Kedua, bahwa kehadiran Israel di tanah perjanjian dan peperangan yang dilakukan terhadap penduduk Palestina adalah tanda-tanda akhir jaman. Dan dengan begitu, tindakan Israel dibenarkan secara teologis. Bagi Burge, ini tidaklah benar. Karena, apakah dengan hak waris Tanah Perjanjian itu dan ide datangnya akhir zaman, Israel lalu dapat dengan semena-mena melakukan kejahatan terhadap bangsa lain atau penduduk Palestina, dan kemudian umat Kristen mendukungnya. Bagi Burge, perbuatan apapun, yang menimbulkan penderitaan, kesengsaraan dan kematian manusia adalah kejahatan dan dosa. Untuk perbuatan itu, Israel harus bertobat. Jika tidak maka hukuman Tuhan akan menimpa Israel pada saatnya nanti, seperti Tuhan menghukum mereka di masa lampau.

Di bagian-bagian akhir pembahasan, Burge memperlihatkan bahwa walaupun terjadi penindasan terhadap rakyat Palestina dan khususnya orang-orang Kristen, tetapi masih ada harapan untuk perbaikan. Bahwa di kalangan Kristen, masih ada orang-orang yang dengan sabar, rabah dan mau mengusahakan kehidupan yang baik atau lebih baik. Khususnya di dalam kehidupan Kristiani, ada orang-orang yang masih setiap melakukan tugas pelayanannya. Dan untuk itu, Burge mengajak bangsa-bangsa lain, khususnya umat Kristen untuk membantu gereja-gereja di Palestina. Burge menginformasikan berbagai lembaga yang melakukan pelayanan -bantuan dan kerja sama- dengan bangsa Palestina, khususnya gereja-gereja, terutama dalam pendidikan, dengan hasil-hasil yang sudah mulai kelihatan.

Dari pembahasa bukunya, dapat disimpulkan bahwa garis besar pemikiran Burge yang dapat disebut sebagai tesisnya adalah bahwa Palestina sebagai Tanah Perjanjian adalah tanah yang diberikan kepada leluhur bangsa Israel (Abraham, dst). Bagsa Israel sebagai pewaris tanah itu memiliki hak untuk tinggal di dalamnya. (Jadi sebuah negara Israel di Palestina bagi bangsa Israel tidak dapat diperdebatkan lagi; karena hal itu adalah hak bangsa Israel. Apalagi mereka secara faktual membutuhkan tanah, yang diusakan mereka sampai terwujudnya negara Israel 15 Mei 1948). Burge mendukung hal ini, yaitu hak bangsa Israel untuk memiliki dan tinggal di tanah Palestina. Namun demikian, menurut Burge, hak atas tanah itu tidak serta-merta membuat Israel memilikinya secara mutlak. Kepemilikan itu tergantung pada sikap atau prilaku hidup bangsa Israel. Jika mereka berbuat baik maka mereka dapat tinggal di tanah itu. tetapi jika mereka berbuat lalim atau jahat maka hak mereka atas tanah itu dicabut dan bahkan mereka tidak boleh tinggal di tanah itu (bukti adanya pembuangan di Babel). Selanjutnya, dalam pembahasan Burge, walaupun di dalam Perjanjian Lama, Tanah Perjanjian merupakan hal yang sangat penting karena merupakan keselamatan bagi bangsa Israel, tetapi di dalam Perjanjian Baru, sebagaimana khususnya dalam ajaran Yesus dan Paulus, Tanah Perjanjian atau Tanah/Kota Suci tidaklah berarti. Yang penting adalah iman kepada Yesus dan hidup dengan baik dan benar.

Namun demikian, latar belakang persoalan dan kebutuhan Israel modern untuk memiliki tanah, bagi Burge, adalah hal yang tidak dapat ditolak. Mereka membutuhkan tanah; apalagi di dalam Alkitab dan sejarah, bangsa Israel diberi tanah, sebagai Tanah Perjajian, yaitu di Palestina. Jadi kehadiran bangsa Israel di Palestina saat ini yang menjadi negara adalah hak teologis dan historis. Itu tidak dapat ditolak. Namun, cara atau prilaku bangsa Israel di dalam memperoleh tanah itu dan apalagi dalam mereka memperlakukan penduduk setempat dengan kekerasan, brutal dan tidak berkeadilan dan berprikemanusiaan adalah salah, atau dosa. Prilaku dosa Israel ini yang harus ditentang. Apalagi (ekslusifisme-injili dari Burge terlihat di sini) bahwa banyak orang Kristen yang menjadi korban dan tindakan dosa Israel. Orang-orang Kristen Palestina-Arab, menurut Burge perlu mendapat perhatian, khususnya dari kalangan Kristen sendiri (lebih-lebih yang di Barat-USA).

Burge menyesalkan adanya kangan Kristen dari kalangan Injili, terutama kelompok Zionis Kristen yang mendukung secara total pendudukan Israel di Palestina, termasuk tindakan-tindakan kekerasan terhadap penduduk setempat, apalagi dengan alasan-alasan rasial dan keagamaan, seperti perang dan pembasmian terhadap orang-orang Arab-Islam. Burge menggambarkan bahwa di Palestina, yang menjadi korban kebrutalan Israel adalah orang-orang Kristen juga; orang Kristen ini memiliki ikatan spiritual dengan orang Kristen Amerika dalam iman kepada Yesus, yang merupakan iman orang-orang Kristen injili itu juga. Mungkin, pertanyaan Burge kepada mereka adalah: Di mana rasa solidaritas iman Kristiani (dan tentu juga kemanusiaan) saudara-saudara? Terhadap kondisi buruk orang-orang Palestina (baik Islam maupun Kristen), Burge mengharapkan adanya kesadaran khususnya dari umat Kristen (Amerika) untuk memiliki simpati-empati dan mau membantu penciptaan keadaan yang lebih baik di Palestina. Burge memperlihatkan melalui data-data bahwa jumlah penganut Kristen semakin berkurang karena penindasan oleh Israel. Banyak yang harus mengungsi ke luar Palestina.Walaupun berbagai penderitaan dialami umat Kristen Palestina, Burge memperlihatkan masih adanya harapan perkembangan gereja di sana. Masih ada orang-orang Kristen yang memiliki komitmen dan dedikasi tinggi. Di sisi lain, Burge juga memperlihatkan adanya lembaga-lembaga yang membantu pengembangan masyarakat di sana.

Satu hal yang tidak diperlihatkan secara detail oleh Burge adalah usaha-usaha oleh siapapun, khususnya dari pihak gereja, untuk memperjuangkan keadaan yang lebih baik di Palestina melalui jalur politik dan hukum. Mungkin ini memang bukan menjadi perhatian utama dalam pembahasannya. Memang Burge membahas sedikit tentang dilema negara Israel; bahwa bangsa Israel sebagai masyarakat modern menginginkan terciptanya negara Israel yang demokratis, tetapi juga di pihak lain mereka berkeingainan bahwa negara itu menjadi negara eksklusif Yahudi. Dan cita-cita ini tampak tidaklah mungkin terjadi karena tanah Palestina-Israel sekarang didiami oleh masyarakat yang plural dengan penduduk mayoritas Arab-Palestina. Jalan satu-satunya untuk menciptakan negara demokratis tapi juga ekslusif Yahudi adalah dengan menjadikan tanah Palestina-Israel ini hanya didiami oleh orang Yahudi; dengan begitu bangsa Palestina/asing harus dikeluarkan atau dibasmi. Mungkinkan itu yang sedang dilakukan sekarang oleh penguasa Israel, ethnic cleansing, atau khususnya pembasmian etnik Arab-Palestina di tanah itu? Sebenarnya, Martin Buber, seorang filsuf Yahudi kelahiran Jerman, yang disebut juga oleh Burge dalam bukunya, yang ketika pindah ke Israel-palestina lalu mendiami rumah hasil penyerobotan atau pengambil-alihan rumah milik penduduk Palestina, mengusulkan bahwa negara Israel yang sebaiknya terbentuk adalah yang demokratis dan pluralis. Itu berarti negara Israel ini terdiri dari bangsa Yahudi, Palestina-Arab dan juga bangsa lain.

Hal yang perlu disasalkan dari tulisan Burge ini adalah bahwa ia tidak memberikan informasi yang berimbang tentang kekerasan yang terjadi dalam kondlik Palestina-Israel itu. Dalam kenyataan, kekerasan yang terjadi tidak saja dilakukan oleh tentara atau warga Israel tetapi juga tidak jarang dimulai atau dipicu oleh warga Palestina sendiri. Oleh karena itu, saya melihat memang, Burge menjadi provokatif, yaitu bahwa yang jahat dan salah itu hanyalah pihak Israel. Tampaknya, pandangan berat sebelah ini dipengaruhi oleh simpati-empati yang kuat terhadap penderitaan bangsa Paletina, maupun pengalaman langsungnya ketika berada di Palestina, yang salah satunya secara khusus diceritakannya pada akhir bukunya ini.

Akhir kata, buku ini sangat penting untuk dibaca, khususnya orang Kristen. Sebagaimana sub judulnya, yaitu Fakta Yang Tidak Diungkapkan kepada Orang Kristen tentang Tanah Palestina, buku ini memberikan informasi atau data yang belum diketahui oleh banyak orang sampai saat ini, yaitu tentang kejadian-kejadian yang ditandai oleh kekerasan dalam konflik Palestina-Israel. Juga Buku ini memberikan pemahaman teologis yang mencerahkan bagi kalangan Kristen, yang mungkin selama ini hanya terpaku pada konsep Israel sebagai bangsa pilihan dan Palestina adalah hak Israel sebagai Tanah Perjanjian yang diberikan Tuhan, dan karena itu Israel perlu didukung, apapun tindakannya. Bahwa, memang Israel memiliki hak untuk memiliki atau tinggal di Palestina, tetapi itu bukan berarti bahwa mereka dapat melakukan tindakan semena-mena, dengan kekerasan, apalagi dengan tujuan mengusir atau bahkan membasmi penduduk Palestina dari tanah mereka. Ini adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan. Tindakan Israel itu adalah dosa, sehingga tidak pantas untuk didukung. Apalagi pihak yang menjadi korban juga adalah sesama orang Kristen. Juga Burge memperlihatkan bahwa sebagaimana ajaran Yesus, Paulus, atau Perjanjian Baru secara umum bahwa bagi umat Kristen, Tanah Perjanjian, Tanah Suci, atau Kota Suci, bagi umat Kristen saat ini, tidaklah penting. Yang penting adalah beriman kepada Yesus Kristus dan hidup berdasarkan cinta-kasih yang diajarkanNya. Dengan maksud dan manfaat itu maka tentu buku ini sangat pantas untuk dimiliki dan dibaca. Sekian.

Jakarta, 21 Mei 2011

Stanley R. Rambitan

Dosen Ilmu Agama-Agama,

Islamologi, dan Filsafat Timur

Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

No comments:

Post a Comment