Thursday, July 21, 2011

Kharismatik-Pentakosta dan Mainstream

Pdt. Stanley R. Rambitan[1]

Acara : Bedah Buku Bermain dengan Api: Relasi antara Gereja-gereja Mainstream

dan Kalangan Kharismatik Pentakosta (Penulis: Rijnardus A. van Kooij &

Yam’ah Tsalatsa A., Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2007)

Tempat : GKI Pamulang

Waktu : Sabtu, 2 Oktober 2010, Pkl 17.00 WIB

==================================================================

Pertama saya harus mengatakan bahwa buku Bermain dengan Api adalah buku yang sangat penting dan bermanfaat bagi orang-orang Kristen di Indonesia, terutama para aktivis atau pengurus, atau anggota majelis gereja dan para pendeta dan hamba-hamba Tuhan lainnya. Ini karena buku ini berisi data, fakta dan pengetahuan yang penting mengenai kondisi gereja atau umat Kristen di Indonesia, khususnya menyangkut keberadaan dan pengaruh aliran atau gereja Pentakosta dan Kharismatik terhadap anggota gereja-gereja lama atau mainstream. Di sini secara khusus diperlihatkan pandangan dan sikap para angggota atau aktivis dan pemimpin pihak KKP (Kelompok Kharimatik dan Pentakosta) terhadap pihak yang lain, yaitu gereja-gereja mainstream (GM), dan sebaliknya. Topik ini sebenarnya telah menjadi wacana kontroversial di kalangan umat Kristen di Indonesia sejak sekitar tahun 1980-an, ketika aliran-aliran baru, khususnya Kharismatik dan kemudian Neo-Pentakosta, bermunculan dan menarik hati banyak anggota gereja main stream. Namun, sejauh ini, di Indonesia, belum ada studi yang sistematis yaitu melalui penelitian ilmiah seperti yang dilakukan oleh van Kooij dan Tsalatsa yang kemudian tertuang di dalam buku Bermain dengan Api ini. Karena itu, buku ini memang sangat penting dan bermanfaat.

Isi buku Bermain dengan Api, khususnya bagian utama, yaitu bab 3, memperlihatkan sebuah usaha penelitian dan analisis data dengan menggunakan pendekatan sosiologis (yang memang merupakan latar belakang keilmuan para peneliti/penulis). Ia bertolak dari beberapa asumsi dasar, yaitu pertama, banyak anggota GM yang mengikuti kegiatan-kegiatan KKP (ada yang kemudian pindah ke KKP tapi ada yang tetap di GM). Kedua, ada ketegangan dalam relasi kedua pihak itu. (Hal ini dibuktikan dengan adanya pandangan dan sikap yang berbeda atau pun bertentangan dari kedua pihak). Kondisi tegang ini hendak diatasi dengan langkah-langkah pastoral sebagaimana rekomendasi-rekomendasi yang diberikan pada bab 5, dengan tujuan saling pengertian, ketenangan, persatuan dan bahkan saling mengisi dan memajukan iman. Hal yang terakhir ini tentu merupakan sebuah usaha yang patut dihargai.

Ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian secara khusus sebagai sebuah tinjauan kritis terhadap buku ini yang dibahas di bawah ini.

  1. Tinjauan Umum-Tehnis dan Metodologis

  1. Sistematika Isi Buku

Pokok-pokok pikiran banyak yang disusun secara tidak sistematis. Karena itu terjadi beberapa pengulangan sub-sub bab. Hal ini membuat pembacaan buku ini menjadi kurang menarik

  1. Masalah Terminologis

Penggunaan istilah gereja-gereja mainstream (GM) sudah dianggap sebagai kesepakatan umum, yaitu gereja-gereja anggota PGI, namun belum ada penjelasan atau pengertian yang tepat dan baku soal ini. Karena itu, diperlukan penjelasan (pada bab 1) tentang istilah GM yang dipergunakan; gereja apakah itu? Bagaimana sejarah dan corak teologinya, dsb.

  1. Klasifikasi Responden

Responden dalam penelitian yang dipergunakan oleh penulis adalah warga biasa atau awam yang terlibat di dalam KKP dan warga dan pemimpin (pendeta) baik dalam KKP maupun GM. Pandangan dan sikap dari responden ini yang diteliti dan menjadi dasar kesimpulan penulis tentang KKP dan GM serta relasi antara keduanya. Di sini, penulis tidak menggunakan kebijakan atau keputusan-keputusan resmi gereja-gereja mainstream sebagai bahan penelitian atau referensi utama. Pada hal istilah (KKP dan GM) yang dipergunakan menunjukkan representasi dari pihak-pihak itu sebagai lembaga. Dua persoalan menyangkut khususnya menyangkut pandangan dan sikap resmi gereja adalah: pertama, para responden (walaupun mereka adalah warga gereja, anggota majelis/pimpinan dan pendeta) tidak dapat disebut sebagai representasi dari gereja sebagai lembaga yang resmi. Karena itu, kesimpulan yang dibuat dari hasil penelitian terhadap responden (individual) itu tidak dapat diterima sebagai kesimpulan yang mewakili gereja-gereja secara resmi. Di sini, ada generalisasi yang tidak proporsional atau tidak tepat. Adalah lebih baik dan tepat jika para responden itu dibagi dalam beberapa klasifikasi yang khas, yaitu kaum awam, kaum awam tapi pemimpin gereja (anggota majelis), teolog/pendeta, dan gereja resmi (melalui hasil keputusan rapat majelis atau sidang sinodal; Akta dan Pokok-Pokok ajaran gereja ).

  1. Latar belakang Responden

Dalam penelitian, penulis menggunakan responden yang aktif di KKP (atau juga GM) dan melihat pandangan atau penilaian mereka (ada positif dan negatif) terhadap baik KKP maupun GM setelah mereka aktif di KKP. Yang digali dan diungkapkan penulis adalah tentang alasan mereka datang, menjadi aktif dan mendapatkan manfaat dari KKP. Namun, penulis tidak menggali dan mengungkapkan latar belakang para responden itu, khususnya menyangkut keberadaan dan pergumulan hidup mereka. Akan menjadi lengkap tulisan ini jika penulis meneliti dan mengungkapkan juga tentang siapa para pengikut KKp itu dari siapa mereka; apakah mereka adalah orang-orang yang sedang mengalami masalah atau pergumulan di dalam hidup; dan apa saja pergumulan atau masalah yang mereka hadapi. Jika ini dilakukan maka akan sangat menarik karena hasilnya dapat atau tidak dapat membuktikan asumsi-asumsi yang ada saat ini, terutama dari kalangan GM, bahwa kebanyakan orang yang pergi ke KKP adalah mereka yang sedang bermasalah atau memiliki pergumulan yang berat di dalam kehidupannya, seperti persoalan ketidak-stabilan emosi atau mental-spiritual (khususnya kalangan remaja/pemuda), ekonomi (kemiskinan atau kebangkrutan, dis/harmoni dalam keluarga atau relasi dengan orang lain, kesehatan, dan kedangkalan pemahaman teologis.

  1. Bab IV

Dalam pembedahan atau operasi tubuh, bab IV bagaikan gumpalan daging atau bahkan tumor yang ditemukan di dalam tubuh yang tidak berkaitan dengan organ-organ tubuh yang punya fungsi masing-masing. Gumpalan daging itu tidak berfungsi bagi tubuh, dan bahkan bisa mengganggu fungsi organ lain. Jadi seharusnya gumpalan itu diangkat keluar dari tubuh. Isi bab IV itu adalah uraian yang tanpa dasar atau hanya berdasar pada asumsi-asumsi yang sangat subjektif. Dengan kata lain, itu merupakan dugaan-dugaan yang belum dibuktikan melalui hasil penelitian. Juga, ada logika yang salah di dalamnya. Misalnya ada pemahaman seperti ini: Orang Tionghoa anggota KKP. Christian orang Tionghoa. Christian anggota KKP; atau: Ibadah KKP penuh orang. Mereka bersuku/ras Batak, Jawa dan Tionghoa. GM berlatar belakang Batak, Jawa dan Cina kosong. Logika ini keliru karena kesimpulan itu tidak berlaku umum dan tidak sesuai kenyataan. Tidak semua orang Tionghoa yang bernama Christian menjadi anggota KKP. Kenyataanya, banyak yang menjadi angggota GKI, GPIB dsb. Juga, tidak semua gereja Batak, Jawa dan Cina kosong karena anggotanya masuk ke KKP; buktinya ibadah-ibadah gereja-gereja GM ini penuh juga. Jadi karena persoalan ini maka sebaiknya bab IV dikeluarkan saja. Atau, jika hendak tetap digunakan, maka haruslah dilakukan penelitian sehingg kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan bersifat ilmiah. Atau, akan lebih baik jika penelitian terhadap latar belakang responden (adanya permasalahan psikis-mental-spiritual, dis-harmoni relasional, ekonomi, kesekahatan, dan kedangkalan pemahaman teologis), seperti di bahas di poin e di atas, dapat menjadi pengganti isi bab IV itu.

  1. Penulis Provokatif, dan Pendukung KKP?

Dalam pembahasan, khususnya bab IV, tampak bahwa penulis cenderung mendukung KKP. Hal ini terlihat di dalam penyajiannya tertang unsur-unsur budaya di dalam masyarakat Batak, Jawa dan Tionghoa, yang dinyatakan memiliki kesamaan dengan berbagai pandangan teologis dan praktek hidup yang dikembangkan dalam KKP. Dan karena itu banyak orang Batak, Jawa dan Tionghoa pergi ke KKP. Jika objektifitas dan logika dijunjung tinggi maka kesimpulan provokatif penulis justru dapat menjadi kebalikannya bahwa gereja-gereja berlatar belakang Batak, Jawa dan Tionghoa akan dipenuhi oleh jemaat dengan latar belakang itu karena budayanya serupa. Provokasi penulis juga diperlihatkan ketika membuat kesimpulan yang cenderung memberi penilaian dengan bentuk pertanyaan, yaitu “mana yang sedang mengalami kekeringan ritus, di KKP atau GM?” (hal. 178). Tampak bahwa penulis hendak menyatakan bahwa yang kering itu adalah GM. Ini dapat mengesankan bahwa penulis berpihak pada KKP dan memang tampak bahwa isi bab IV merupakan apologia penulis untuk KKP. Hal ini dapat menimbulkan keraguan dari pembaca terhadap objektifitas penulis dan maksud buku ini.

  1. Kesimpulan: “KKP dan GM, tegang?”

Sub judul buku ini adalah “Relasi antara Gereja-gereja Mainstream dan kalangan Kharismatik Pentakosta”. Ini mengandung arti (asumsi) bahwa antara kedua kalangan gereja itu ada relasi; dan di beberapa tempat, penulis menyatakan ketegangan itu berdasarkan perbedaan atau pertentangan pendapat dari para responden. Namun demikian, penulis tidak memberikan uraian tentang hubungan antara ke dua kalangan itu; apakah misalnya anggota dari kedua gereja itu berhubungan, dan dalam hal apa; lalu apakah kedua kalangan gereja itu berhubungan secara kelembagaan, dsb. Ada kesan bahwa hubungan yang dimaksud ada berdasarkan keterlibatan anggota GM di dalam KKP, namun itu tentu tidak dapat disebut sebagai hubungan. Karena itu, kesimpulan penulis bahwa ada ketegangan dalam hubungan antara GM dan KKP tidaklah relevan dan tepat. Sehubungan dengan itu juga, maka sub judul tersebut dapat diganti dengan “Pengaruh keterlibatan di dalam KKP terhadap pemahaman, penghayatan dan prilaku beriman/bergereja warga GM, serta pandangan dan sikap terhadap GM dan KKP.” Sebenarnya, yang diperlihatkan oleh penulis dari hasil penelitian itu terutama adalah adanya perbedaan pandangan dan sikap beragama antara yang ada di kalangan KKP (khususnya para aktivis yang masih menjadi anggota GM atau yang sudah pindah ke KKP) dan yang di kalangan GM, khususnya menyangkut pokok-pokok ajaran (mislanya baptisan percik-selam, baptisan roh, karinua roh) dan bentuk dan aktifitas pelayanan dan ibadah. Dan menjadi persoalan adalah pandangan dari satu pihak (KKP) yang berbeda itu hendak dipaksa-terapkan di dalam lingkungan pihak yang lain (GM). Inilah yang menimbulkan ketegangan dan konflik internal (khususnya di GM), tetapi bukan ketegangan antara KKP dan GM.

  1. Tinjauan Khusus-Isi-Substansial

  1. Fakta: Keberadaan dan Pengaruh KKP

Dalam uraian bab 1, penulis memperlihatkan bahwa KKP ada dan berpengaruh di dalam kehidupan beragama khususnya di kalangan Kristen. Dari akar-akar dan kelahirannya di Eropa dan Amerika, KKP telah sampai di berbagai tempat lain, termasuk Indonesia. Keberhasilan KKP itu tampak ditentukan oleh penerapan manajemen pelayanan dan perekrutan yang efektif dan kemasan isi pemberitaan (atau ajaran dan praktek beriman) yang ditawarkan. Penulis memperlihatkan penggunaan metode sel grup, pengunaaan berbagai media modern dan khotbah-khotbah yang menghibur, memberi jaminan-kekuatan dan karena itu menarik. Ini diitambah lagi dengan isi atau janji-janji teologis yang instan dan gampang, misalnya dengan teologi sukses, mujizan dan kesembuhan ilahi. Ini merupakan nilai-nilai plus KKP yang telah menarik dan mempengaruhi banyak orang (terutama kalangan Kristen sendiri) untuk masuk dan memegang ajaran-ajaran KKP.

  1. Agama dan Kompetisi

Fakta dalam sejarah manusia yaitu bahwa kehidupan adalah kompetisi. Manusia bersaing di dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam agama. Di dalam persaingan itu, manusia mencari dan mengusahakan berbagai pemenuhan hidup yang sesuai dengan keinginan atau harapannya, yaitu berbagai hal yang dapat membuat ia merasa senang, tenang dan damai. Dalam hal agama juga demikian. Suatu agama dianut karena dilihat ada manfaatnya bagi manusia yang bersangkutan, baik di dalam dan bagi kehidupan di dunia kini dan di sini, dan (untuk banyak orang) kehidupan di akhirat nanti. Manfaat ini tentu adalah yang memberi kesenangan, ketenangan dan kedamaian atau yang memberi kepuasan batin. Da, lam sejarah agama-agama, tampak bahwa satu agama muncul dan berkembang di dalam lingkungan agama yang sudah ada. Kemunculan itu memperlihatkan adanya kompetisi dalam hal ajaran dan praktek; mana yang lebih diterima dan menarik. Rasul Paulu dan para rasul lain berkompetisi ketika mereka mengajarkan dan menyebarkan Injil; di sini ada polemik dan apologia; nabi Muhammad juga harus berkompetisi melawan para tokoh dan penguasa Arab.

Kompetisi dalam agama tidak berbeda dengan suasana kompetisi dalam iklan-iklan kopi, mie, mobil dsb yang ada di televisi, koran, majalah atau internet. Keberhasilan dalam kompetisi ditentukan oleh kemampuan untuk memenangkan pasar. Ini berlaku juga untuk agama. Untuk memenangkan umat, kita perlu kompetitif. Dan jika anggota kita pergi ke tempat lain, berarti produk tempat lain itu lebih menarik dan diterima.

  1. Agama dan Manusia

Agama adalah bentuk ajaran dan praktek hidup berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan, sosok ilahi yang diakui sebagai pencipta, sumber kehidupan dunia dan sorgawi. Agama merupakan ungkapan atau ekspresi iman manusia kepada Tuhan dan tempat mendapatkan pemenuhan kebutuhan iman yaitu mental-spiritual. Secara substansial, agama menyangkut hal yang sangat personal dan subjektif. Oleh karena itu, ada pendapat bahwa agama atau iman adalah sesuatu yang menyangkut penghayatan; yaitu perasaan atau pengalaman batin. Pemahaman atau rasio itu adalah pelengkap atau nomor dua. Oleh karena itu, dalam kehidupan beragama, manusia akan lebih mengutamakan pengalaman dan pemuasan batin dari pada rasio. Dalam banyak kasus, agama memang lebih banyak menyangkut hal perasaan dan/atau suprarasional, bukan rasional. Bahkan dalam banyak hal, rasio tidak dapat dipergunakan untuk menjelaskan keberadaan dan ajaran-ajaran agama. Oleh karena itu, benarlah hasil penelitian yang diungkapkan oleh penulis buku ini bahwa banyak oang yang tertarik kepada KKP karena ajaran-ajarannya lebih menyentuh perasaan, atau lebih menonjolkan pengalaman iman/rohani dengan Tuhan; yang kemudian dianggap sebagai tempat di mana Roh Kudus ada. Sedangkan di kalangan GM dianggap lebih mengutamakan rasio atau pemahaman iman dan kehidupan sebagai orang Kristen dan karena itu dianggap kering atau “tanpa Roh Kudus”.

Hal utama yang perlu diperhatikan menyangkut agama adalah apakah ia menarik, memberi kepuasan batin atau tidak. Kalau ya, maka diikuti, tapi jika tidak, maka ditinggalkan, dan manusia akan mencari yang lain. Dalam usaha pencarian itu, banyak manusia yang lebih memilih proses yang mudah dan instan. Mungkin ini pengaruh globalisasi dan budaya modern/postmodern dan kerumitan hidup yang di alami sehari-hari. Orang tidak mau mendapatkan sesuatu dengan waktu yang lama dan membutuhkan usaha atau kerja keras. Karena itu, yang instan dan mudah-lah yang diminati dan sesuai keinginan. Pertobatan dan diampuni dengan mudah dan cepat, diberkati dengan mujizat sehingga bisnis sukses, keluarga cepat rukun, dan sakit disembuhkan dengan segera). Kecenderungan ini yang diperlihatkan oleh penulis menyangkut ketertarikan umat kepada KKP. Ini karena, KKP menjanjikan hal-hal yang instan dan mudah itu (lihat bab 3), serta pengalaman iman (baptisan roh, mendapat karunia-karunia, dan sarana pengungkapan diri-iman) yang langsung menyentuh perasaan-batin.

  1. Agama: Tempat Pemenuhan Kebutuhan Batin dan Problematikanya

Pemenuhan kebutuhan batin secara instan dan mudah (yang umumnya melawan akal sehat) yang ditawarkan KKP bukan tidak bermasalah. Ia tetap memiliki masalah, sejalan dengan persoalan yang dihadapi manusia yang tiada henti selama manusia masih hidup. Demikian juga dengan kepuasan batin manusia, ia tidak berhenti pada satu tahap dan seterusnya akan puas terus. Dilema pada manusia adalah ia tidak pernah merasa puas. Ungkapan bahwa manusia tidak pernah puas itu benar. Kepuasan itu tidak abadi, termasuk dalah beragama. Kebiasan berpindah-pindah dalam hal agama, terutama karena mencari pemenuhan kepuasan perasaan-batin, akan menyebabkan orang yang bersangkutan akan terus mencari yang memuaskan hati. Atau ketika masalah tidak jadi terselesaikan, keluarga tetap berantakan, bisnis tidak maju, sakit tidak jadi sembuh, maka kepuasan tidak didapatkan dan yang ada adalah kekecewaan. Dengan kata lain, ketika seseorang tidak lagi merasa puas di suatu tempat, karena kecenderungan mencari yang memuaskan ini sudah menjadi kebiasaan maka ia akan mencari kepuasan itu di tempat lain lagi. Beberapa kasus menunjukkan, ada orang-orang yang demikian, yang kecewa dan lalu kembali lagi ke gereja asal.

Sebagai bandingan dan sandingan terhadap corak beragama secara instan dan mudah ini adalah yang menonjolkan pemahaman, penghayatan dan praktek beragama atau memahami Tuhan dan kehendaknya sesuai logika dan akal sehat. Sebagaimana diperlihatkan dari penelitiannya, GM lebih mengutamakan pemahaman dan prilaku iman sesuai akal sehat, pelayanan sosial dan etika pribadi dan sosial. Mujjizat-mujizat yang spektakuler atau melalui pengalaman langsung, seperti kesembuhan ilahi, baptisan roh, dsb, tidak ditonjolkan (bukan ditolak seperti yang disampaikan penulis, lihat hal.182-3). Corak beragama GM ini bagi banyak kalangan merupakan hal yang dan menarik. Karena itu, dapat disaksikan bahwa di banyak gereja GM, ibadah-ibadah yang dilakukan tetap dipenuhi oleh umatnya. Ditambah lagi, bahwa ada kalangan yang lebih mengutamakan pengukapan kepercayaannya melalui cara-cara yang bukan seperti KKP maupun GM. Kalangan ini lebih mengutamakan pengembangan spiritualitas dengan gaya mistik, yaitu lebih mengutamakan praktek agama yang personal-individual dan refleksi pribadi misalnya dengan cara puasa dan semedi. Di sini dapat disimpulkan bahwa dalam hal corak beragama manusia itu beragam sesuai dengan latar belakang budaya-agama, pola pikir, pergumulan atau permasalahan yang dihadapi dan kemampuan dalam memahami dan mempraktikan ajaran agama yang dianut.

  1. Ide KKP dan GM Bersatu, melalui Dialog dan Kerja Sama

Karena penulis buku melihat ada masalah antara KKP dan GM, maka usul atau rekomendasinya adalah komunikasi atau dialog dan kerja sama. (Lihat kesimpulan dan rekomendasinya. Pertanyaan yang muncul adalah: Mungkinkah, dialog dan kerja sama efektif dan akan menyelesaikan “ketegangan”? Dengan keyakinan iman bahwa Tuhan akan menolong dan optimisme manusia yang menghendaki kebaikan, mungkin banyak orang akan akan menjawab “Ya, mungkin dan bisa!” Dengan petimbangan ini maka tampaknya usul atau rekomendasi penulis buku dapat mudah dilaksanakan.

Namun demikian, ketika memahami pergumulan agama-agama di dalam sejarahnya yang juga menyadari persoalan-ketegangan itu di dalam perjumpaan dan hubungan mereka, juga dengan melihat pergolakan dan masalah hubungan antar aliran di dalam sejarah agama Kristen, maka jawaban yang diberikan dapat berbeda; bisa “mungkin tapi sulit” atau sama sekali “tidak mungkin”. Apalagi dengan melihat pengalaman keberadaan, sepak-terjang dan karakter agama-agama atau khususnya aliran-aliran di dalam kekristenan (KKP dan GM) di Indonesia, maka dialog dan kerja sama sangat sulit atau hampir tidak mungkin dapat efektif untuk terjadinya persatuan. Dialog dan kerja sama dapat berfungsi efektif sampai pada taraf pengakuan dan penerimaan terhadap keberadaan dan aktifitas (bukan kebenaran) pihak lain. Inilah yang disebut dengan toleransi, dan yang telah menjadi bukti dan hasil dari berbagai dialog dan kerja sama yang dilakukan antar umat berbeda agama atau aliran selama ini.

  1. Sikap Gereja

Berdialog dan bekerja sama adalah penting dan perlu dengan hasil saling mengakui dan menerima keberadaan pihak lain (misalnya KKP terhadap GM dan sebaliknya). Namun, bagaimana menghadapi perbedaan dan bahkan pertentangan pandangan di kalangan warga, pimpinan dan organisasi (khususnya di GM). Dalam perjumpaan antar agama atau aliran, sikap-sikap yang umum diambil adalah; konfrontatif, submisif, kompromis dan akomodatif-adaptif (Bahan Kuliah Agama Suku dan Kebatinan).

1. Kontradiktif: menolak karena dianggap tidak benar/tidak tepat/tidak baik; dengan sikap itu lalu agama suku mempertahankan diri. Di Indonesia, sikap ini umumnya diperlihatkan masyarakat suku pada perjumpaan pertama-tama dengan agama-agama yang datang kemudian seperti Hindu-Buddha, Islam dan Kristen. Ketegangan dan konflik antara keduanya terjadi. Misalnya antara kaum adat dan kalangan kaum agamawan. Atau misalnya dalam sejarah Islam di Nusantara, yaitu perang Paderi yang semula merupakan pertentangan atau konflik antara kaum adat dan agama Islam (para Paderi)=yang kemudian Belanda melibatkan diri); juga kasus pembunuhan dua misionaris pertama di Sumatera Utara; dsb. Penganut agama suku yang menolak agama yang baru masuk itu tetap memeluk paham agama-adat yang asli dan tidak mengikuti dan menganut agama yang baru. Di jaman ini, kita masih melihat model ini pada masyarakat suku Badui di Banten, .. Jadi di alam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, masih ada suku yang menganut dan mempraktekan agama sukunya tanpa terpengaruh oleh agama lain.

2. Submisif; menerima atau mengalah atau mendevaluasi diri; agama lain dinilai memiliki kelebihan; lebih tepat, lebih benar, lebih baik; diakui sebagai pemenuhan kebutuhan rohani dan dianggap sebagai suatu kemajuan. Alasan lain juga adalah bahwa ketundukan masyarakat suku terhadap agama baru terjadi karena agama baru ini dianut oleh penguasa dan telah menjadi agama yang dominan atau agama penguasa. Akibat dari sikap ini, agama suku tertekan; jiwa merasa tertindas namun tetap harus tunduk pada ajaran dan praktek agama baru. Contoh agama ini adalah tunduknya Kejawen terhadap agama Hindu-Buddha. Di dalam praktek hidup beragama, khususnya dalam hal upacara-upacara formal, yang menonjol adalah bentuk-bentuk agama Hindu-Buddha, tetapi bentuk keagamaan batinnya berisi pemahaman dan penghayatan keagamaan yang lain, misalnya adanya perbedaan dalam konsep tentang Tuhan-ketuhanan yang dihayati.

3. Kompromis; toleran, saling menerima-menghargai status, peran dan kualitas agama lain. Masyarakat suku dengan sikap demikian menghasilkan sikap menerima kedua agama yang ada dengan cara : 1) menerima ajaran-ajaran dogmatis agama baru, tapi juga mempercayai ajaran-ajaran agama suku; 2) melaksanakan upacara-upacara keagamaan baik dari agama yang baru maupun agama aslinya. Contoh sikap seperti ini masih ditemukan di banyak kalangan atau umat yang secara resmi menyatakan diri beragama Hindu-Buddha, Islam dan Kristen. Misalnya, ada yang sudah beragama Kristen tetapi masih percaya pada ilmu gaib dan perdukunan, menyimpan benda-benda fetis atau totem dan masih mengadakan upacara-upacara yang diwarisi dari agama asli.

4. Akomodatif atau adaptif. Sikap ini mendorong ke arah dan usaha akulturasi atau inkulturasi atau indegenisasi. Dalam usaha ini terjadi proses sinkretisasi dari unsur-unsur yang berasal dari dua pihak; jadi ada sinkretisme-integrasi. Sikap ini menghasilkan paham-paham atau ajaran dan praktek beragama yang baru; jadi ada agama baru yang dihasilkan dari perpaduan antara unsur-unsur agama suku dengan agama baru yang masuk dan diterima. Misalnya: agama Hindu-Bali; Kaharingan-Dayak; Wiwitan-Sunda dan Kebatinan-Jawa.

Sikap-sikap itu dapat disejajarkan dengan sikap gereja (GM) yang berjumpa dengan paham atau kelompok yang berbeda (KKP). Masing-masing sikap itu di dalam wacana teologis dianggap mengandung, merupakan masalah atau menimbulkan masalah baru. Dalam hal ini, usulan saya, di samping dialog dan kerja sama sebagaimana yang diusulkan oleh penulis buku, adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang adanya berbagai agama atau aliran keagamaan yang plural, yang masing-masing menganggap diri memiliki kebenaran mutlak. Untuk tujuan ini, gereja perlu mengadakan studi-studi agama-agama dan aliran-aliran keagamaan, khususnya di dalam agama Kristen.

Pemahaman yang benar dan tepat tentang agama atau aliran lain akan membuat orang memiliki pengetahuan dan karena itu juga apresiasi yang besar terhadap pihak lain, serta dapat memperkaya pemahaman dan praktek iman pribadi atau kelompok sendiri. Saya yakin inilah yang dilakukan oleh gereja ini (GKI Pamulang) dengan program Pendidikan Teologi Jemaat, seperti yang diselenggarakan saat ini. Sekian.

Jakarta, 2 Oktober 2010


[1] Stanley R. Rambitan adalah Pendeta GKJ dan Dosen Ilmu Agama-Agama dan Filfasat Timur pada STT Jakarta

1 comment:

  1. Titanium Strength | Training of Iron-Steel
    Iron-Steel is urban titanium metallic the strongest strength titan metal and titanium astroneer weight of iron, babyliss pro titanium the fundamental characteristic of strength and strength since its introduction. Learn to become is titanium a conductor an expert

    ReplyDelete