Tuesday, July 19, 2011

Menyoal Gejala Tim Ahli di Indonesia

Indonesia dan Fenomena “Tim Ahli”

Oleh Stanley R. Rambitan

Alasan yang disampaikan Ketua DPR, Marzuki Ali, bagi pembangunan gedung baru yang kontroversial itu adalah karena penambahan staf ahli (Kompas (Selasa, 7 September 2010,1); jadi, bukan lagi karena gedung lama sudah over capacity atau miring. Jumlah staf ahli sekarang ini sekitar 2-3 orang (ditambah beberapa asisten dan tenaga administrasi) untuk setiap anggota DPR dirasa kurang sehingga perlu ditambah. Untuk itu, nanti diperlukan ruangan yang lebih besar dari sekarang ini yang hanya sekitar 30 sampai 40 M², yaitu 120 M². Penambahan staf ahli; apa urgensinya? Alasan Marzuki Ali seperti dikutip dalam Kompas tersebut adalah “untuk membantu kerja wakil rakyat guna meningkatkan kinerja dan produktifitas”. Pernyataan ini menggambarkan bahwa kinerja dan produktifitas anggota DPR saat ini lemah dan tidak produktif. Dan inilah memang yang sudah sering menjadi sorotan dan kritik banyak kalangan bahwa DPR saat ini malas dan tidak produktif. Buktinya, dalam waktu hampir setahun hanya 10 undang-undang yang dihasilkan dari yang seharusnya 70.

Tapi apakah karena kinerja buruk dan produktifitas rendah, lalu staf ahli harus ditambah dan karena itu perlu tambahan ruang kerja sampai seluas 120 meter persegi? Saya melihat alasan ini sebagai sebuah cara berpikir dengan logika naif yang mungkin didorong oleh pikiran “aji mumpung” sebagai “wakil rakyat” yang punya hak dan layak mendapatkan fasilitas yang mewah. Atau, cara dan kemampuan berpikir itu adalah karena mereka sedang mengalami apa yang disebut oleh J. Kristiadi seebagai sindrome inkontinensi atau “gejala ketidakmampuan akal sehat seseorang mengontrol naluri dasar manusia yang cenderung mengumbar kenikmatan ragawi sehingga yang bersangkutan gagal mencapai nilai kehidupan yang lebih tinggi” (Kompas, Selasa, 7 September 2010, 15). Karena itu, mungkin tidak hanya staf ahli di bidang hukum, ekonomi, politik dsb yang diperlukan atau perlu ditambah, tetapi juga para ahli filsafat (untuk melatih berpikir dengan logika yang tepat dan benar) dan psikologi atau kebatinan (untuk menyembuhkan jiwa yang sakit dan batin yang tidak stabil). Adanya staf ahli di sekitar anggota DPR dan para pejabat negara mulai dari Presiden (plus Menteri), Gubernur, Wali Kota atau Bupati, tampak menjadi tren saat ini dan sepertinya itu sudah diterima oleh banyak kalangan. Setiap anggota DPR saat ini memiliki minumal 2-3 staf ahli (dan akan ditambah lagi, mungkin kalau gedung baru sudah selesai dibangun?!). Presiden memiliki beberapa staf ahli, di samping Menteri dan Dewan Pertimbangan Prsiden. Demikian seterusnya untuk Menteri, Gubernur, Bupati atau Walikota (hanya Camat, Lurah/Kades dan Ketua RT/RW yang belum tampak ada staf ahlinya). (Saya sendiri, ketika sedang melaksanakan tugas belajar di negeri Belanda, pernah menjadi anggota Tim Ahli bidang Teologi pada organisasi Persekutuan Kristen Eropa).

Alasan pengadaan staf ahli bagi pejabat negara adalah karena kebutuhan dan hak, apalagi itu dikatakan demi kinerja yang baik dan produktifitas yang tinggi. Para staf ahli ini bertugas memberi masukan: nasihat, pertimbangan atau usulan dalam seorang pejabat ini melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Mereka harus selalu siap dan disiapkan untuk berada di dekat pejabat itu. Dengan keharusan atau kebutuhan ini maka tidak jarang para staf ahli turut serta ketika pejabat melakukan tugas di tempat lain, termasuk ke luar negeri, dengan biaya negara. Kebutuhan adanya staf ahli tentu ada karena para pejabat dianggap atau memang tidak memiliki keahlian dan kemampuan di segala bidang. Dan ini sangat logis dan masuk akal, bahwa seseorang, siapa pun itu, tidak mampu memiliki keahlian di segala bidang dan pekerjaan. Namun, paling tidak atau minimal, para pejabat negara ini sudah harus memiliki kemampuan intelektual yang layak. Dan karena itu, yang logis adalah setiap orang yang menjadi pejabat publik (anggota DPR, atau pejabat di pemerintahan) sudah memiliki kemampuan intelektual (pengetahuan dan wawasan) yang layak atau dapat diandalkan untuk melaksanakan tugasnya; untuk memberikan ide-ide, mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tetap dan benar (atau paling tidak sesuai akan sehat) tanpa harus dibantu oleh atau dengan mempekerjakan staf ahli yang bekerja secara penuh waktu dan dibayar oleh negara. Dan, akan sangat tidak logis dan tidak masuk akal apabila ada pejabat negara yang tidak memiliki kualifikasi seperti itu. Misalnya, akan sangat aneh jika seorang Presiden tidak memiliki kemampuan untuk memahami keadaan dan pergumulan negara atau masyarakatnya; atau dia tidak mampu berpikir logis dan sesuai akal sehat di dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa, dan tidak mampu merumuskan kebijakan-kebijakan menyangkut kepemimpinannya; agak aneg apabila seorang presiden tidak mampu membuat pidato berdurasi lima belas menit danpidatonya itu harus dibuat oleh tim ahlinya; akan terasa aneh jika seorang Gubernur atau Bupati tidak mengetahui tentang ekonomi kerakyatan, sumber daya alam atau potensi daerahnya dan apalagi bagaimana mengembangkan dan memajukan daerahnya; dan akan sangat aneh misalnya jika ada anggota DPR yang tidak tahu apa isi sila ke-empat Pancasila, atau kapan UUD 45 disahkan dan diterima; atau ada anggota DPR yang tidak tahu apa tugas-tugas DPR. Keanehan-keanehan itu, walaupun itu aneh tetapi nyata, itu terjadi. Yang aneh menjadi tidak aneh, yang tidak layak dijadikan layak.

Sebenarnya, para pejabat negara ini sudah harus memiliki kemampuan sesuai dengan jabatannya, dan tidak perlu lagi staf ahli. Bukankah jabatan baru sebagai anggota DPR, Presiden, menteri atau Gubernur, hanyalah jabatan lebih tinggi dari jabatan yang diemban sebelumnya. Di jabatan sebelumnya mereka tidak memerlukan staf ahli. Misalnya, ketika sebagai jenderal di TNI, Jenderal SBY tidak mempekerjakan staf ahli seperti sekarang sebagai presiden karena tentu ia sudah memiliki kualifikasi sebagai jenderal; hanya ada karyawan sekretariat dan para ajudan; ketika sebagai professor hukum di perguruan tinggi, Prof. Gayus Lumbuun tidak mempekerjakan staf ahli hukum, tetapi hanya mempekerjakan asisten professor; ketika sebagai Direktur perusahaan atau pengacara, mereka tidak mempekerjakan staf ahli, tetapi hanya seorang atau beberapa sekretaris; ketika sebagai artis atau ibu rumah tangga, dia tidak mempekerjakan staf ahli, tetapi hanya asisten atau pembantu rumah tangga. Mereka ini lalu mencalonkan diri dan menduduki posisi yang baru, atau naik jabatan, sebagai presiden, anggota DPR, gubernur, dsb karena kesadaran bahwa mereka sudah memiliki kemampuan lebih dan layak sesuai dengan kualitas jabatan yang mereka emban. Karena itu, sebenarnya mereka tidak perlu lagi membutuhkan staf ahli yang dipekerjakan secara penuh waktu, apalagi yang berjumlah banyak dan dibayar negara. Di samping hal ini menunjukkan ketidak mampuan mereka mengemban tugas, ini juga akan menyebabkan kerugian waktu, tenaga dan uang dengan jumlah besar. Coba dihitung, untuk anggota DPR yang berjumah 560 orang dengan masing-masing mempekerjakan staf ahli sekitar 3 orang (atau 1680 orang) dan tenaga sekretariat sekitar 2 sampai 3 orang (jadi sekitar 1120 ampai 1680 orang); berapa uang negara yang harus dikeluarkan untuk mereka; juga kerugian dari lembaga atau pihak-pihak yang seharusnya menerima pekerjaan dari para staf ahli, seperti peruguruan tinggi dan mahasiswa. Untuk para pejabat pemerintahan, bagaimana, seperti biaya para tim ahli presiden, menteri, gubernur dan bupati/wali kota? Silahkan dihitung sendiri. Tapi yang pasti, biaya per tahun para staf ahli, asisten, ajudan dan pegawai sekretariat itu sama dengan biaya membayar atau menambah gaji beribu-ribu guru di pedesaan, membangun atau merenovasi beratus-ratus sekolah, beribu-ribu kilo meter jalan di daerah terpencil, rel dan kereta dari bandara Soekarno-Hatta ke berbagai stasiun kereta di Jakarta dan sekitarnya, atau membangun pabrik pengolahan kelapa sawit untuk mempekerjakan 2 juta TKI yang sekarang berada di Malaysia.

Sebenarnya, yang masuk akal adalah jika dirasa ada kekurangan para pejabat negara sehingga knierja dan produktifitas mereka tidak sesuai harapan, itu menyangkut kualitas diri dan kemampuan mereka. Dan ini adalah masalah pribadi. Yang patut dilakukan adalah sadar diri dan bekali diri. Jika tidak sanggup, harus mundur. Jika tidak mau mundur, karena sudah terlanjur menjadi pejabat negara, belajar keras, dengan usaha sendiri, bukan dengan memanfaatkan fasilitas negara. Apalagi dengan mau menggampangkan pekerjaan dan mengatasi kekurangan dengan mempekerjakan staf ahli. Dan jika nanti hendak mencalonkan diri sebagai pejabat negara, harus sudah sadar akan kualitas dan kemampuan diri. Jangan sampai, seperti yang terjadi, karena hendak mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai untuk menjadi anggota DPR, banyak artis yang ramai-ramai mengikuti kursus kilat menjadi politisi. Ini aneh tetapi nyata; politisi karbitan.

Staf ahli memang diperlukan, tetapi tentu tidak perlu setiap anggota DPR memilikinya, apalagi sampai berjumlah 3-5 orang ditambah beberapa asisten dan tenaga administrasi. Untuk memenuhi kebutuhannya, dijadikanlah satu lembaga staf ahli bersama. DPR dapat mengadakan (dengan mengubah peraturan) lembaga atau tim ahli dalam sebuh lembaga misalnya Dewan Pertimbangan DPR (serupa dengan Dewan Kehormatan DPR yang sudah ada). Jika terlalu luas dalam lingkup DPR, dibuatlah lembaga atau dewan atau tim pertimbangan itu di masing-masing Komisi (dengan jumlah anggota sekitar 4 atau 5 orang). Sebenarnya juga kekurangan dalam bidang keahlian masing-masing anggota DPR sudah dapat diatasi melalui adanya komisi-komisi. Demikian juga untuk Presiden, tidk perlu ada staf ahli karena sudah ada lembaga para ahli bagi presiden, yaitu Dewan Pertimbangan Presiden. Jika begitu, maka tidak perlu ada staf ahli-staf ahli yang bekerja sendiri-sendiri untuk setiap anggota DPR, presiden, menteri, gubernur dst, yang dibiayai negara.

Para pejabat negara sudah seharusnya adalah orang-orang yang berkualitas, yang ahli pada bidangnya. Dengan begitu, mereka tidak lagi harus membutuhkan orang lain yang dipekerjakan secara penuh waktu untuk diri mereka sendiri. Saya kira, akan aneh atau bisa memalukan jika seorang Prof. Gayus Lumbuun atau Dr. Benny Kaharman masih membutuhkan staf ahli di bidang hukum. Kecuali jika Prof. Gayus berniat untuk korupsi dan mau belajar cara mengkorupsi dengan hasil puluhan miliar rupiah. Beliau akan butuh tenaga ahli dari “Professor” Gayus Tambunan. Tetapi saya yakin, beliau tidak akan punya niat demikian. Dengan tidak dibutuhkannya para staf ahli (atau tambahannya) untuk masing-masing anggota DPR, maka tentu gedung mewah 36 lantai itu tidak akan tidak jadi dibangun. Semoga.

Stanley R. Rambitan

Dosen Ilmu Agama-Agama dan Filsafat Timur

Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

No comments:

Post a Comment