Thursday, July 21, 2011

Dinamika Gereja

Dinamika Gereja dan Pelayanannya

Pokok-pokok Pikiran tentang Keberadaan, Pergumulan dan Pelayanan Gereja[1]

Oleh: Pdt. Stanley R. Rambitan

Apa itu Gereja?

Kata “gereja” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Portugis igreja yang diambil dari bahasa Yunani ekklesia, yang berarti “kumpulan orang” (Kis. 19:32, 39-40). Di sini, gereja berarti orang. Arti hurufiah yang lain darikata gereja adalah tempat orang berkumpul, atau rumah Tuhan (Kyriake Oikia), atau synagoge (Kis. 1:14; 2:46; dan Roma 15:6).

Makna kata gereja secara tradisional kristiani dan yang umum dikenal adalah “kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan dan masuk ke dalam terang Tuhan Yesus dan yang yang mendapatkan keselamatan. Pemahaman yang realistis tentang gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Tuhan yang ingin beribadah kepada Allah; yang mengungkapkan imannya dalam ibadah itu melalui doa, pujian-sembahan dan permohonan, nyanyian puji-pujian, pemberian persembahan dan yang ingin mendengar dan merenungkan Firman Tuhan, serta yang ingin mendapatkan berkat Tuhan dari ibadah itu. Gereja yang tampak dalam ibadah ini berdasar pada kata-kata Yesus “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20).

Fungsi Gereja

Gereja menjadi tempat umat bertemu dan berkomunikasi dengan Tuhan. Sehubungan dengan ini, gereja juga menjadi jembatan atau alat penghubung antara Allah dengan manusia pada umumnya atau dunia (termasuk di dalamnya, umat agama atau kepercayaan lain, adat istiadat dan kebudayaan pada umumnya). Di samping itu, secara khusus, gereja juga menjadi tempat orang-orang mengungkapkan diri atau imannya, saling menyapa, mendengar dan menjawab, saling memberi dan menerima. Jadi gereja memiliki makna dan fungsi teologis atau ilahiah (yaitu kehadiran Allah dan hubunganNya dengan umat) dan sosiologis-kemanusiaan yaitu sebagai organisasi atau organisme yang berisi orang-orang beriman.

Di dalam Alkitab, status dan fungsi gereja digambarkan dengan simbol-simbol seperti tubuh Kristus, di mana Kristus menjadi Kepala (1 Kor.12:12; Ef.1:22; 4:15; 5:23; Kol.1:18; 2:19), persekutuan dalam satu roh (1 Kor.12:3; Gal.5:16; Ef.2:16, 18), jemaat yang berkumpul (Mat.18:20; 1 Kor.1:2; Kol.4:16; 1 Tes.1:1, dsb), jemaat yang beriman atau yang mengaku (Mrk 8:29; Rm 10:9-10; 1 Kor.1:3; Fil2:9-11), jemaat yang bersaksi (1 Tim 2:4; Mat.10:1; Mrk 6:7; Mat 28:19-20, dsb) dan jemaat yang melayani (Rm 15:8; Fil 2:7; Luk 22:27 dan Yoh 12:26). Secara fungsional, gereja mengandung makna dan tugas pembentukan dan pengembangan spiritual atau kerohanian dan etika-moral, baik bagi warganya maupun

masyarakat atau dunia. Makna dan tugas inilah yang secara umum dan tradisional kita kenal sebagai tri tugas panggilan gereja, yaitu persekutuan (Koinonia), pelayanan (Diakonia) dan kesaksian (Marturia). Fungsi-fungsi atau tugas panggilan gereja di atas, dalam praktek bergereja dijabarkan dalam berbagai kegiatan, yaitu ibadah (termasuk ibadah kelompok kategorial), pemberitaan Firman, baptisan, perjamuan kudus, doa-doa, pengajaran atau katekisasi, pekabaran injil atau evanglisasi, penggembalaan dan diakonia.

Penatalayanan Gereja

Gereja adalah sebuah organisme yang dipercaya sebagai milik dan dikepalai oleh Yesus Kristus (Kolose 1:18). Gereja bukanlah milik perorangan atau sekelompok orang yang betugas dan melayani untuk kepentingan mereka. Gereja bertugas untuk memuliakan Tuhan dan membawa keselamatan yang dari Tuhan kepada jemaatNya dan umat manusia. Dengan mempertimbangkan faktor dinamika gereja di mana pluralitas anggota yang memiliki keinginan masing-masing, dan faktor keteraturan sebuah kumpulan orang-orang percaya ini, maka gereja tentu memerlukan pengaturan. Pengaturan gereja memiliki cara yang berbeda dengan pengaturan sebuah lembaga manusiawi atau sosial umum yang menerapkan prinsip-prinsip managerial yang baku. Pengaturan gereja tentu menyesuaikan dengan ciri, sifat dan dasar gereja. Gereja adalah persekutuan yang berciri manusiawi tetapi juga ilahiah. Dasar dan sifat pelayanannya adalah cinta-kasih, kemurahan dan kerelaan hati dan pelayanan kepada Tuhan dan jemaatNya. Yang menjadi ciri utama pengaturan gereja adalah cinta-kasih dan pelayanan itu. Karena itu, dalam hal istilah, kata yang lebih cocok dipakai untuk menyebut pengaturan gereja bukanlah penataan atau pengaturan atau manajemen, tetapi penata-layanan. Dengan istilah penata-layanan ini, pemutlakan atau absolitisme pelaksanaan peraturan di dalam gereja menjadi tidak pantas atau tidak sesuai (dengan sifat gereja).

Penata-layanan bukanlah hal baru dalam kehidupan keagamaan Kristen. DalamAlkitab contoh pemakaian penataan dalam mengelola umat. Ini telah diperlihatkan dalam cerita Musa yang dinasihati oleh Yitro untuk menata kepemimpinan umat (Kel 18:13-27). Juga di dalam Perjanjian Baru, pengaturan tentang jabatan-jabatan gereja juga sudah diberlakukan. Jabatan yang pertama yang diperkenalkan oleh Yesus adalah sebagai diakonos, yaitu pelayan. Yesus sendiri adalah pelayan (Flp.2; Luk. 22:27; Mrk 10:43). Sebagai pelayan, Ia merendahkan diriNya; Yesus membasuh kaki murid-muridNya. Inilah yang diberi contoh oleh Yesus kepada murid-muridNya, yaitu menjadi pelayan dan merendahkan diri dalam melayani orang lain. Di jaman Yesus, ada jabatan-jabatan lain rasul, nabi, guru, penilik jemaat (atau penatua atau presbiter) (Rm 12; Ef. 4; 1 Kor.12; 1 Tim.2; 5:17; 2 Tim 2:2; Tit 1:9,dsb).

Dalam perkembangan kemudian, ada jabatan-jabatan yang tidak dipergunakan lagi dan digantikan oleh jabatan-jabatan baru yang lebih ditonjolkan. Sebutan untuk jabatan-jabatan yang tidak dipakai lagi adalah nabi dan rasul. Sedangkan, jabatan-jabatan yang kemudian dipakai adalah uskup, presbiter dan diaken. Dalam tradisi gereja protestan, jabatan uskup tidak dipakai lagi dan hanya menggunakan jabatan presbiter/penatua dan diaken. Presbiter atau penatua dan diaken bukanlah jabatan-jabatan yang dibedakan secara kualitatif dan struktural; bahwa presbiter bukanlah jabatan yang lebih tinggi dari diaken. Kemampuan mereka adalah sama. Hanya, status jabatan mereka dibedakan oleh fungsinya masing-masing. Presbiter bertanggung jawab untuk pendidikan-pengajaran atau pemberitaan firman dan pengelolaan gereja, sedangkan diaken bertugas untuk melayani jemaat yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan sosial-psikologis atau material-spiritual. Kedua jabatan ini digabungkan dalam satu lembaga gerejawi yang disebut Majelis Gereja/Jemaat. Jadi di dalam gereja kemudian terdapat dua kelompok yaitu Majelis Gereja dan Warga Gereja. Majelis Gereja bertanggung jawab atas penyelenggaraan kehidupan bergereja. Inilah yang diwarisi sampai sekarang ini oleh gereja-gereja protestan aliran utama di Indonesia.

Di samping penata-layanan dalam pelaksanaan tugas-tugas oleh pejabat-pejabat gereja itu, yang perlu juga ditata adalah cara-cara pengaturan gereja dan khususnya dan yang utama ajaran-ajaran gereja. Hal ini untuk memberikan pegangan yang jelas dan pasti kepada jemaat tetang apa yang dipahami oleh gereja tentang mekanisme kerja gereja atau pengorganisasiannya dan pokok-pokok iman. Pokok-pokok atau inti ajaran iman Kristen memang sama,yaitu tentang karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Tetapi itu dapat ditafsirkan, dipahami dan diungkapkan secara berbeda-beda di dalam kehidupan bergereja oleh individu-individu/anggota gereja; apalagi jika hal itu digali dari cerita-cerita atau pernyataan-pernyataan di dalam Alkitab yang masih perlu ditafsirkan. Dalam hal ini, gereja perlu menentukan garis utama penata-layanannya dan pokok-pokok ajarannya sehingga tidak terjadi pertentangan-pertentangan.

Dinamika Gereja

Gereja sebagai oraganisasi atau organisme ilahiah dan manusiawi tentu memiliki dinamika sendiri. Dinamika gereja adalah gerakan-gerakan atau ungkapan-ungkapan prilaku hidup dan iman orang-orang di dalamnya. Dasar, sifat dan tujuannya adalah ajaran-ajaran Tuhan yang diimani, yaitu cinta kasih dan pelayanan demi kemuliaan Tuhan dan kedamaian-ketentraman dan keselamatan umatNya. Dengan dasar pemikiran ini maka banyak orang yang memahami gereja sebagai tempat mendapatkan kedamaian dan keselamatan; bahwa orang-orang di dalam gereja adalah “orang-orang suci” yang “berhati malaikat”.

Namun, di dalam praktek, sebagai organisasi/organisme yang terdiri dari kumpulan orang-orang, tidak jarang gereja menjadi tempat orang mengungkapkan dirinya dengan memperlihatkan prilaku hidup atau beriman seturut dengan keinginan atau kehendak pribadi-pribadi atau kelompok yang memiliki pemahaman, idealisme dan keinginan sendiri yang kadang kali tidak sejalan dengan pribadi-pribadi atau kelompok lainnya. Tidak jarang,ungkapan-ungkapan keinginan itu tidak sesuai dengan ciri dan sifat cinta-kasih dan pelayanan itu. Tidak jarang gereja menjadi ajang ekspresi diri yang egosentris dan egoistis. Sikap atau prilaku seperti ini yang membawa malapetaka, yaitu kerusuhan dan perpecahan di dalam gereja. Jadi memang, gereja tidak hanya menjadi tempat berdiamnya dan diperolehnya kedqamaian dan ketentraman, tapi juga tempat di mana orang menemukan ketidak-damaian dan ketidak-tentraman. Hal ini perlu diperhatikan oleh setiap orang yang terlibat di dalam kehidupan dan pelayanan gereja.

Dinamika gereja ditentukan oleh tempat atau lokasi (dengan pengaruh unsur-unsur budaya, sosial, politik dan relasi-relasi dengan umat lain) dan kondisi internal gereja/warga jemaat (dengan latar-belakang sosial-ekonomi dan pendidikan tertentu). Dari sini ini, kita mengenal jemaat dengan latar belakang suku tertentu dan yang nasional-umum; jemaat kota (kota metropolitan, kota besar, kota sedang, kota kecil) dan jemaat desa (desa yang mudah dijangkau dan yang terpencil); jemaat dengan ekonomi lemah dan kuat; jemaat yang mayoritas kaum intelektual dengan pendidikan tinggi dan yang rata-rata berpendidikan rendah; jemaat dengan ciri khas golongan/pekerjaan tertentu dan yang umum. Dalam lingkup yang lebih kecil, dalam satu jemaat, kita juga menemukan beragamnya latar-belakang keberadaan, pemikiran dan keinginan dan ekspresi-ekspresi diri masing-masing warga jemaat. Para penata-layan gereja tentu perlu memperhatikan hal ini. Demi efektifitas pelayanan, bentuk-bentuk pelayanan yang dilakukan di masing-masing jemaat dan juga individu-individu warga ini tentu akan berbeda satu dengan yang lain.

Profil Ideal Para Pelayan

Dalam kehidupan bergereja, seperti sudah disinggu dalam pemahasan di atas, masing-masing individu anggota jemaat memiliki ungkapan-ungkapan diri dan keinginannya sendiri. Terhadap para penata-layan jemaat, umumnya warga menghendaki figur-figur dengan perilaku dan penampilan yang ideal dari segi kemampuan dalam pelayanan praktis seperti pengetahuan Alkitab dan ajaran Kristiani, kesalehannya, komitmen dan dedikasinya. Secara rinci profil yang diharapkan kalangan umum jemaat adalah orang yang berpengetahuan dan keterampilan (tentang Alkitab, tentang ajaran dan praktek/ibadah gereja dan pengetahuan umum), berhikmat, rendah hati, tidak sombong, pengasih-penyayang, berani, setia, sabar, takut pada Tuhan dan dengar-dengaran pada FirmanNya, tidak pemarah, tegas, rajin, rela berkorban, penggembira dan selalu bersuka cita dalam melakukan pelayanan. Tentu keberadaan, ciri dan sifat pelayan yang diharapkan itu tidak dapat ditemukan di dalam satu orang pelayan. Atau dengan kata lain, secara realistis, profil ideal itu tidak dapat dipenuhi oleh seseorang. Ini adalah hal yang sulit, sama halnya dengan tidak mudahnya melaksanakan tugas pelayanan. Tetapi tentu orang-orang yang terlibat dalam pelayanan itu diberi Tuhan kemampuan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Dan inilah pengharapan iman seorang Kristen apalagi seorang yang melayani Tuhan.

Sebagai pahala untuk pelayan Tuhan dan jemaatNya, kita meyakini bahwa kepenuhan kemanusiaan yang dari Tuhan, suatu kebahagiaan sejati Dia telah berikan. Firman Tuhan katakan “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1 Kor.15:58).

Demikianlah pokok-pokok pikiran untuk dapat menjadi pemikiran atau pertimbangan dan bahan percakapan dalam kehidupan bergereja. Sekian. /srr/mei2006


[1] Makalah ini disampaikan pada acara Pembinaan Warga Gereja GKO Perum. Klender, Rabu, 18 Oktober 2006 (dan merupakan revisi dari makalah yang disampaikan pada acara Pembinaan Anggota Majelis POUK Bojong Indah Jakarta Barat, Senin, 8 mei 2006)

No comments:

Post a Comment