Tuesday, July 19, 2011

Valentine Day

Merayakan Hari Valentine: Bolehkah dan Bagaimana?

Oleh: Stanley R. Rambitan

Perayaan Hari Valentine mulai dilaksanakan pada akhir abad ke-5 atau tahun 496 M, ketika Paus Gelasius menetapkan tanggal 14 Februari sebagai hari untuk menghormati SantoValentine di lingkungan gereja Katholik.[1] St. Valentine diakui sebagai pejuang dan sekaligus menjadi martir “Cinta” dan perkawinan, walaupun dia sendiri tidak mendapatkan atau mengalaminya sebagaimana manusia umumnya. Peran dan perjuangan Valentine itu dilakukan ketika ia membela kaum muda-mudi atau pria dan wanita yang saling jatuh cinta dan ingin menikah. Ketika itu, kaisar Claudius yang lalim melarang pertunanganan atau pernikahan kalangan muda-mudi karena anggapannya bahwa jika sudah menikah mereka tidak mau lagi menjadi tentara dan dikirim ke medan peperangan. Padahal, pada saat itu, kekaisaran Romawi sedang membutuhkan tambahan tentara. Valentine yang menjadi imam di salah satu biara di Roma menolak kebijakan kaisar itu. Ia tetap menerima dan memberkati perkawinan pasangan yang akan menikah. Ia menikahkan mereka secara diam-diam di tempat tersembunyi, yaitu di ruang bawah tanah yang hanya diterangi cahaya lilin kecil; dan hanya pasangan itu dan Valentine yang hadir. Cukup lama Valentine melakukan pemberkatan perkawinan yang bertentangan dengan kebijakan kaisar. Ia menjadi semakin dikenal dan dihormati oleh banyak orang, khususnya kaum muda-mudi yang dinikahkannya. Namun demikian, kemudian praktek ‘ilegal” Valentine diketahui oleh kaisar. Ia lalu ditangkap dan dipenjarakan. Ketika di dalam penjara, Valentine dikunjungi oleh banyak orang, termasuk putri kepala penjara. Di bawah kekuasaan Claudius II, yaitu pada tanggal 14 Febriari 269 M, Valentine dihukum mati dengan cara leher/kepalanya dipancung. Pada hari itu, sebelum pelaksanan hukuman dilakukan, Valentine menulis surat kepada putri kepala penjara yang sering menjenguknya dan telah menjadi teman akrabnya, dengan catatan akhir atau tanda tangan “From Your Valentine” atau “Dari Valentinemu”. Kematian Valentine yang mati syahid atau martir karena memperjuangkan “Cinta” dan perkawinan telah membuat banyak orang dan gereja Katholik menghargai dan menerima dia sebagai orang suci dan Paus Gelasius kemudian menjadikan tanggal kematiannya sebagai hari peringatan bagi pejuang dan perjuangan untuk cinta. Karena itu, hari Valentine dipahami juga sebagai “Hari Cinta-Kasih”.

Dari latar belakang atau sejarah penghargaan terhadap St.Valentine yang kemudian menjadikan hari kematiannya sebagai hari perjuangan cinta kasih, jelas bahwa perayaan hari Valentine mengandung makna kemanusiaan dan perjuangan hak-hak asasi manusia. Unsur atau hak asasi manusia yang sangat hakiki atau yang terutama setelah hak untuk bernafas atau hidup, yaitu cinta, atau hak untuk mencintai dan dicintai serta mewujudkan cinta itu dalam penyatuan dua insan dalam sebuah perkawinan sangat dihargai dan diperjuangkan. Cinta dan perkawinan merupakan pemberian Tuhan; ia sudah menjadi kodrat manusiawi dan ilahi. Perjuangan Valentine memperlihatkan bahwa kodrat atau cinta itu harus diberi harga yang sangat tinggi dan harus diperjuangkan sekalipun dengan taruhan nyawa. Hal ini mengingatkan kita pada cerita Romeo dan Juliet, dua sejoli yang karena cinta mau sehidup dan semati berdua. Yang sangat mengharukan dari perjuangan Valentine adalah ia memperjuangkan cinta dan perkawinan untuk orang lain sekalipun ia sendiri sebagai manusia normal tidak bisa mengalaminya. Hal ini karena kebijakan gereja yang mengharuskan seorang imam/pastor untuk selibat atau tidak menikah dengan seorang wanita (mungkin jatuh cinta dapat dialami tetapi tidak dapat diwujudkan dalam perkawinan). Cinta kasih dan komitmennya sudah diberikan kepada Tuhan sepenuhnya.

Dari pemaparan di atas, jawaban terhadap pertanyaan: “Bolehkah orang Kristen merayakan Hari Valentine?”, di sini secara pribadi dan secara teologis, saya menyatakan bahwa jawabannya adalah “BOLEH!” tidak ada yang keliru secara prinsipil bagi manusia sebagai mahluk sosial dan kultural untuk merayakannya. Juga tidak ada alasan teologis atau ajaran Kristen untuk menolaknya. Terlepas dari berbagai cerita mitologis[2] yang mengitari atau melatar belakangi cerita tentang perayaan Hari Valentine, secara prinsipil perbuatan merayakan hari perjuangan terhadap cinta-kasih itu dapat diterima dan bahkan harus didukung. Dalam berbagai budaya dan agama, perayaan-perayaan serupa juga ada dan didukung, seperti Hari Ibu (Mother’s Day), Hari Ayah (Father’s Day), Hari Buruh, Hari HAM, dan Hari Natal, Hari Paskah atau Hari Lebaran. Hanya persoalan prinsipil yang perlu dijawab adalah: apakah seseorang yang merayakan Hari Valentine benar-benar sudah melaksanakan maknanya secara sungguh-sungguh, setia dan setiap saat, atau hanya pada hari perayaan itu, sama dengan ketika banyak orang merayakan hari Ibu atau Hari Bapak, atau Hari Kemerdekaan, atau bahkan hari natal dan hari Paskah yang kebanyakan hanya menjadi ‘lip service” dan indah di lingkup dekorasi? Sebenarnya praktek hidup Valentine itu harus menjadi teladan bagi siapa saja yang merayakan Hari Valentine, yaitu mengungkapkan dan mendukung cinta kasih dan berkomitmen terhadapnya di dalam hidup sehari-hari dan kepada siapapun dengan tulus hati dan bahkan rela berkorban. Ini sebenarnya yang dilakukan oleh Allah Bapa melalui dan di dalam Yesus Kristus: karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga dikaruniakanNya (pen: sekaligus dikorbankanNya) anakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Sekian.



[1] Pada saat itu gereja Khatolik masih merupakan satu gereja; belum terbagi menjadi gereja Katholik Roma dan Orthodoks Timur; dan kemudian juga gereja Protestan yang memisahkan diri dari gereja Roma Katholik.

[2] Di jaman Romawi kuno, tanggal 14 Februari dirayakan sebagai hari penghormatan atau pemujaan terhadap Dewi Juno yang percayai sebagai Ratu dari dewa-dewi Romawi, yang juga dikenal sebagai dewi bagi perempuan dan perkawinan. Hari berikutnya, tanggal 15 Februari diadakan pesta Lupercalia, di mana para pria mengundi gadis-gadis untuk menjadi pasangannya. Nama gadis-gadis itu ditulis dikertas dan dimasukkan di stoples lalu setiap pria muda mengambil satu kertas dari situ. Gadis yang namanya didapatkannya akan menjadi pasangan selama perayaan itu; ada yang kemudian jatuh cinta dan menikah. Dari mitologi dan perayaan ini maka banyak orang yang menganggap bahwa perayaan Hari valentine tanggal 14 Februari itu adalah perayaan penyembahan berhala karene itu mereka menolaknya.

*Tulisan ini telah diterbitkan di dalam majalah Gema Wacana, GKJ Bekasi.

No comments:

Post a Comment